Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

The Hiding Place

Akhirnya, Gestapo Nazi mengetahui juga adanya tempat persembunyian di dalam rumah keluarga Ten Boom yang digunakan untuk menyembunyikan orang Yahudi yang tengah dikejar-kejar Nazi. Orang-orang Yahudi ini mereka tampung di dalam rumah itu secara rahasia, menunggu kesempatan untuk menyelundupkan mereka ke luar kota, ke daerah yang lebih aman.

Sekarang seluruh keluarga Ten Boom itu digiring ke mobil tahanan. Sebelumnya, Bapak Ten Boom telah ditantang oleh perwira Gestapo dengan pertanyaan, "Apa kata Alkitabmu tentang keharusan tunduk pada pemerintah?"

Bapak Ten Boom dengan tenang menjawab, "Kadang-kadang kita diharuskan memilih antara Tuhan dan manusia."

Maka berdasarkan inilah keluarga Ten Boom telah memilih jalan yang pahit dan mengundang maut ke dalam rumah mereka. Mereka, oleh karena imannya yang teguh, telah memberanikan diri menentang kebiadaban Nazi yang meneror setiap orang yang berani mengulurkan tangan kepada orang-orang Yahudi semata-mata karena dorongan kasih-Nya!

Berkatalah perwira itu lagi, "Asalkan Anda berjanji tidak berbuat yang bukan-bukan, Anda akan saya bebaskan dari tuduhan."

Dan inilah jawaban bapak Ten Boom yang sudah kakek-kakek itu, "Bila saya dibebaskan, saya akan tetap membuka pintu saya bagi siapa pun yang butuh pertolongan."

Maka tanpa ampun lagi, keluarga itu pun diangkutlah ke rumah tahanan. Bapak Ten Boom tak lama kemudian meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di tanah pemakaman pengemis oleh karena tak ada lagi sanak keluarga yang bisa mengurusi jenazahnya. Kedua anak perempuannya, Betsie dan Corrie, dibawa ke kamp konsentrasi di Ravensbruck. Mereka dan semua tahanan lainnya diharuskan kerja paksa dari pukul 05.30 sampai pukul 19.00 dengan imbalan bubur cair! Selama 7 hari dalam seminggu.

Tak ayal, Betsie yang tidak begitu kuat, sempoyongan mengangkut keranjang besar berisi tanah urukan. Dan ia, setengah bergurau, setengah mengeluh, berucap kepada seorang penjaga, "Cuma sebeginilah yang bisa saya kerjakan, bila lebih tentu saya akan ambruk."

Ia yang mengharapkan pengertian dan belas kasihan, terpukau melihat penjaga itu menghampirinya dengan wajah bengis. Kemudian cambuk berkali-kali menghantam tubuhnya. Ia pun terjatuh, sementara Corrie dengan sebuah beliung di tangannya, berlarian hendak menyerang penjaga itu. Corrie dengan susah payah berhasil dicegah oleh teman-temannya. Ia mendekap Betsie yang terkulai. Ia menangis menyaksikan keadaan Betsie yang begitu lemah, tapi harus mengalami penyiksaan.

Tapi apa yang dibisikkan Betsie? "Jangan membenci, Corrie. Jangan membenci." Sebuah kalimat yang menyentuh hati Corrie dan yang selanjutnya menjadi pegangan bagi Corrie untuk mengadakan penginjilan ke seluruh dunia. Pertama-tama (seusai Perang Dunia II) ke negeri Jerman. Padahal Betsie sementara itu telah meninggal dunia di dalam kamp konsentrasi. Namun, Betsie itu pulalah yang telah berpesan terakhir kali, "Beritakan kepada seluruh dunia, bahwa betapapun dalamnya lembah kesengsaraan seseorang, tangan kasih Yesus masih tetap akan mampu menjangkaunya dan menariknya keluar. Beritakanlah, karena kita sendiri sudah mengalaminya dan melihat kebenaran-Nya."

Beruntunglah Betsie yang telah sempat menjadi pelita di dalam kamp yang penuh kengerian, penyiksaan, dan penderitaan itu. Beruntung pulalah Corrie, yang sampai usianya yang lebih dari 80 tahun, telah diberi kesempatan mengunjungi lebih dari enam puluh negara dengan pemberitaannya tentang kasih yang mahabesar itu. Kasih-Nya itu yang telah memungkinkan tangan Corrie terulur kepada si penjaga yang dulu telah menyiksa kakaknya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Untaian Mutiara
Penulis : Betsy T.
Penerbit : Gandum Mas, Malang
Halaman : 26 -- 28

Dipublikasikan di: http://kesaksian.sabda.org/the_hiding_place

Komentar