Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Melangkah Memasuki Tahap Baru

Saya jatuh cinta dengan sepatu baru saya. Sepatu saya tiba melalui paket pos minggu lalu, dan saya tidak sabar untuk mencobanya. Sebab, itu bukan sembarang sepatu, melainkan sepatu tap hitam untuk drama yang saya mainkan. Saya bahkan tergoda untuk tidur dengan sepatu tersebut.

"Sepatu tap", bagi siapa saja yang tidak mengerti teater, adalah sepatu kulit yang kuat dengan hak setebal dua inci, dengan bagian tumit yang lunak untuk menari. Sepatu ini adalah sepatu standar bagi para aktris dan penari di mana saja, dan hampir selalu digunakan setiap kali dilakukan pertunjukan teater, untuk setiap desain kostum, setiap karakter, demikian namanya. Dan, saya tidak memiliki sepasang sepatu itu selama hampir 20 tahun.

Hari ini, sepatu itu melambangkan tahap kehidupan baru, kelahiran kembali dari bagian hidup yang lama terbengkalai. Sepatu tersebut, secara harfiah, membantu saya melangkah kepada diri saya kembali. Saya mencintai teater sejak berperan sebagai Mrs. Santa Claus ketika saya duduk di kelas tiga, pada acara pawai Natal. Setelah mendengar suara tepuk tangan, saya menjadi ketagihan. Saya berpartisipasi dalam drama yang tak terhitung jumlahnya selama berada di SMA dan perguruan tinggi, dan bahkan membentuk beberapa komunitas teater setelah lulus.

Kemudian, saya memasuki masa dewasa yang "sebenarnya" -- bekerja, bergereja, memiliki anak-anak, suami, teman-teman, membayar kredit rumah, cicilan mobil, mendongengkan cerita sebelum tidur, tugas-tugas rumah -- dan saya tidak dapat mencari cara untuk menyediakan waktu untuk melakukan latihan teater pada waktu malam selama delapan minggu dan pertunjukan selama 3 kali akhir pekan. Meskipun saya rindu berakting, saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa bagian dari hidup saya sudah berakhir.

Namun, setiap kali saat melihat sebuah pertunjukan drama, bahkan jika itu hanya acara pementasan drama kelas dua yang berjudul The Grouchy Ladybug (Kepik yang Bersungut-sungut -red.), saya ingin berada di atas panggung, untuk berpartisipasi dalam proses kreatif, dan menyanyi dengan orkestra lengkap yang mendukung saya. Jadi, musim semi ini saya berusaha mengumpulkan keberanian saya dan mengikuti audisi untuk sebuah pertunjukan. Dan, saya berhasil mendapatkan sebuah peran. Saya sedikit bingung untuk berperan sebagai ibu dari seorang anak laki-laki seusia anak kuliah, terutama karena sejak terakhir kali saya berada di panggung, saya memerankan anak berusia 16 tahun, tetapi saya tetap senang.

Sepanjang tahun-tahun yang penuh dengan kesibukan tersebut, saya memutuskan untuk mengesampingkan mimpi dan gairah hidup saya demi melayani orang lain. Namun, saya merugikan diri sendiri. Hidup ini bukanlah tindakan menyeluruh atau tidak sama sekali. Saya salah karena berpikir bahwa orang yang saya cintai hanya dapat bertahan jika saya membiarkan mereka menyedot semua kehidupan saya. Namun, keyakinan ini merupakan kutukan umum yang dirasakan oleh kaum wanita. Kita menganggap satu-satunya cara untuk menjadi teman, anak perempuan, ibu, istri, atasan, rekan kerja yang baik, baik dalam hal apa pun, adalah dengan mengesampingkan setiap kepentingan kita dan mendedikasikan diri untuk orang lain. Kita berpikir bahwa untuk memiliki mimpi-mimpi, harapan-harapan, dan rencana-rencana kita sendiri berarti bersikap egois.

Namun, ketika rasul Paulus menulis dalam banyak suratnya tentang karunia Allah kepada kita sebagai individu, ia menekankan pentingnya hal tersebut bagi kesehatan spiritual jemaat. Setiap karunia memiliki nilai dan tujuan karena masing-masing berasal dari Allah, jelas Paulus. "Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang." (1 Korintus 12:4-6)

Saya tidak lagi percaya bahwa saya bersikap "egois" untuk menghargai mimpi dan karunia yang diberikan Allah saya. Bahkan, saya mungkin akan lebih egois ketika berpikir bahwa saya sangat penting bagi kehidupan dan kesejahteraan orang lain sehingga mereka tidak akan mampu mengatasi jika saya tidak ada di sana untuk menunjukkan kepada mereka cara mengatasinya. Saya tidak "melayani" orang-orang tersebut sama sekali ketika saya menyerahkan semua hal penting bagi saya demi mereka.

Dan, saya tidak menggambarkan kepada orang lain pentingnya mengembangkan karunia kita. Putri saya yang berusia 11 tahun memiliki rencana yang besar untuk hidupnya. Kalau seseorang dapat menjelaskan bagaimana menjadi seorang dokter hewan atau seorang bintang teater Broadway, ia bisa. Tentu saja, kenyataan pada masa dewasa akan mematangkan mimpi-mimpi tersebut. Akan tetapi, saya tidak pernah menginginkannya meninggalkan mimpi-mimpi itu semua. Saya tidak menginginkannya meragukan bahwa mimpi-mimpinya penting. Dan, saya tidak pernah menginginkannya melupakan siapa dirinya dan bagaimana Allah menciptakannya menjadi sebagaimana dirinya sekarang. Saya ingin putri saya berjalan ke mana Allah memimpinnya, entah ke panggung atau ke rumah sakit hewan. Dan, jika dia mengenakan sepatu tap ketika ia sedang melakukan perannya, hal itu tidak menjadi masalah bagi saya.

Apakah mimpi dan hasrat yang harus Anda sisihkan demi melayani orang lain? Bagaimana Anda dapat menghubungkannya dengan diri Anda sekaligus memuliakan Allah dan berguna bagi orang lain?

(t/ N. Risanti)

Diterjemahkan dari:

h

Nama situs : Today’s Christian Woman
Alamat URL : ttp://www.todayschristianwoman.com/articles/2010/october/steppingnewstage.html
Judul asli artikel : Stepping Into a New Stage
Penulis artikel : Carla Barnhill
Tanggal akses : 27 Oktober 2014
Tipe Bahan: 

Komentar