Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Ruangan Bayi - Refleksi Seorang Ibu

"Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di Surga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di Surga." (Matius 18:10)

Kebanyakan gereja memunyai ruangan bayi yang kedap suara di bagian belakang aula. Di tempat kami, ruangan itu berupa ruang sederhana berukuran sekitar 3,6 x 1,5 m dengan panel kaca dan pintu geser dari kayu yang sudah reot. Dan yang saya tahu, rasanya pintu itu selalu dalam keadaan rusak.

Dan ruangan kami itu tidak kedap suara. Ah, betapa banyaknya orang tua muda yang telah merasakan "nikmat"nya duduk dalam ruangan ini bersama anak-anak mereka yang masih kecil dan ribut selama kebaktian.

Inilah ruangan tempat Anda duduk bersama Si Kecil dan mengalami kesulitan dalam mendengarkan khotbah selama kira-kira tiga tahun sampai para batita ini masuk ke kelas sekolah minggu. Saya baru saja melewatinya dan akhirnya dapat menarik nafas lega karena anak bungsu saya sekarang sudah masuk TK.

Sekarang saya dapat merasakan nikmatnya mendengarkan khotbah dari awal sampai akhir, tidak perlu lagi memberi makan, menghibur, ataupun melerai perkelahian.

Saya sering merasa kasihan kepada pengkhotbah malang yang harus terus mempertahankan konsentrasinya dalam menyampaikan khotbah, sementara ia harus menyaksikan para orang tua berusaha mencegah anak-anak mereka yang penuh semangat berlompatan di bangku-bangku gereja.

Baru beberapa bulan yang lalu, waktu saya sedang asyik mencari ayat Alkitab, anak saya yang berumur dua tahun menggelantungkan dirinya pada ke empat bangku bagian belakang sambil meneriakkan "Spiderman!" dengan gegap gempita sebelum terjatuh dengan keras ke lantai.

Dia terlalu malu untuk menangis keras-keras, jadi dengan malu-malu dia memanjat ke pangkuan saya waktu seluruh jemaat menoleh ke arah si "pembuat keonaran". Namun dengan "gagah berani" sang pembicara melanjutkan khotbahnya di tengah-tengah kikikan tawa tertahan jemaat.

Si Kecil, tentu saja tidak memahami etika yang benar dalam gereja, terutama perlunya suasana tenang dan khidmat. Di dalam ruangan bayi ada dunia lain, tempat mereka harus mempelajari aturan-aturan ini sejak awal, yang nampaknya tidak pernah perlu dilakukan dengan tergesa-gesa.

Saya yakin bahwa kedua anak saya adalah yang paling nyaring suaranya di antara semua penghuni ruangan bayi itu sampai saat ini. "Bukan, itu punyaku!" atau "Aku mau..." di sela-sela raungan keras hampir selalu terdengar dalam ruangan bayi pada setiap hari Sabat ketika nilai-nilai kekristenan sedang diuraikan dari atas mimbar.

Dengan sedikit ketekunan, ada sesuatu yang akhirnya dapat tertanam. Di sinilah Si Kecil mulai mempelajari pelaksanaan ibadah formal dengan menyanyikan pujian, berdoa, dan duduk dengan tenang sementara seseorang berbicara di atas mimbar.

Bukan hanya itu, melainkan juga memberikan hasil sampingan berupa Si Kecil belajar saling berbagi (mainan tentu saja) dan bergiliran tanpa harus beradu tinju. Memang tampaknya Si Kecil tidak mempelajari apa-apa waktu dia bermain, ngobrol, dan berunding dengan teman-teman seruangannya, tapi sesungguhnya dia belajar.

Dan bukan hanya itu, Si Kecil pun memperhatikan setiap gerakan Anda dan meniru Anda dengan "membaca" Alkitab dan berdiri untuk "menyanyikan kidung pujian". Maka sangatlah penting bagi kita para orang tua untuk memberikan contoh yang baik. Jika kita ngobrol saat kebaktian, kita menunjukkan kepada Si Kecil bahwa dia pun boleh melakukan hal yang sama.

Menurut pengalaman saya yang terbatas, dibutuhkan latihan selama dua sampai tiga tahun dan banyak rambut uban para orang tua sebelum anak-anak dapat duduk dengan lumayan diam dan tenang di sepanjang kebaktian. Hal ini dapat dipastikan kecuali mereka mewarisi sifat pendiam (Aduh! Tapi bila melihat anak-anak kami, rasanya sifat ini tidak "mampir" pada generasi anak-anak kami).

Akan tetapi mulai saat itu pun, banyak perkara yang tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Minggu lalu, waktu Perjamuan Kudus, saya merasa cukup bangga terhadap anak bungsu saya karena dia mengambil sendiri roti dan anggur dengan tingkah yang cukup sopan. Semuanya berjalan dengan lancar, sampai dia melihat seorang teman, berjalan menghampirinya, menyentuhkan cangkir anggurnya pada cangkir temannya sambil berseru keras-keras, "Cheers!" Wah, wah, ibu ini serasa kembali lagi dari awal...

Diambil dari:

Judul majalah : Warta Sejati, Edisi 41/Mei-Juni 2004
Judul artikel : Ruangan Bayi - Refleksi Seorang Ibu
Penulis artikel : Audrey Chan - Leicester, United Kingdom
Penerbit : Departemen Literatur Gereja Yesus Sejati Indonesia, Jakarta 2004
Halaman : 12--13
Tipe Bahan: 

Komentar