Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

SEPULUH FAKTOR PENGUAT KELUARGA

Disusun oleh:
Yvonne Sumilat
Marlen J. Mirah
Nova Sorta U.M
Sylvia Jacob

BAB I

PENDAHULUAN

"Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik." (Amsal 24:3-4)

Amsal menulis bahwa untuk membangun rumah tangga perlu hikmat, kepandaian, dan pengertian. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang yang berumah tangga memiliki hikmat, kepandaian, dan pengertian. Dalam dunia modern hampir semua bidang ada sekolahnya, tetapi sayang belum ada sekolah untuk menjadi suami atau sekolah untuk menjadi istri bahkan tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua.

Jikalau seseorang akan menikah ia tidak pernah dimintai persyaratan ijazah yang menyatakan ia terampil atau mahir untuk menjadi suami/istri maupun menjadi orang tua. Ia juga tidak akan ditanya berapa banyak buku yang ia sudah baca sebagai bekal untuk membangun rumah tangganya. Padahal untuk mencapai rumah tangga yang bahagia atau sukses sangatlah ditentukan oleh peranan suami atau istri yang menjadi orang tua bagi anak-anak mereka.

Oleh sebab kurangnya hikmat, kepandaian, dan pengertian, maka tidaklah mengherankan bahwa banyak keluarga yang mengalami kegagalan dalam mengasuh atau mendidik anak dan mengalami ketidakharmonisan antara suami istri bahkan berakhir dengan perceraian, walaupun pada awalnya mereka mengharapkan kebahagiaan dalam keluarganya.

Walaupun tidak ada sekolah khusus untuk menjadi suami/istri dan untuk menjadi orang tua, namun kita bisa mencari ilmu untuk hal tersebut. Tentu saja ada banyak cara untuk mendapatkan ilmu tersebut, di antaranya melalui membaca buku-buku tentang keluarga, melalui ceramah-ceramah, melalui diskusi setelah menonton film bersama, melalui bimbingan pranikah yang diadakan oleh gereja, nasihat-nasihat dari pendeta/rohaniwan dan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam berumah tangga, dan bisa juga melalui pengalaman diri sendiri yang mana kita dididik dan dibesarkan oleh orang tua kita masing-masing. Tentu ada acara yang lainnya. Setiap suami/istri harus berusaha mengetahui bagaimana seharusnya menjadi suami/istri yang baik dan setiap orang tua harus berusaha mengetahui bagaimana seharusnya menjadi orang tua yang baik.

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai 10 Faktor Penguat Keluarga. Pembahasan hal ini tentu saja sangat menarik dan relevan baik bagi yang belum menikah maupun bagi yang sudah menikah. Uraiannya merupakan pembahasan singkat dari buku-buku yang dibaca dan dari hasil wawancara. Perlu disampaikan bahwa buku-buku referensi terbatas pada buku-buku yang bernafas kristiani namun untuk wawancara dilakukan terhadap keluarga Kristen dan keluarga Muslim. 10 Faktor Penguat Keluarga yang akan diuraikan dalam Bab II dipilah secara garis besar sebagai berikut:

I. Faktor penguat keluarga yang timbul dari suami istri atau hubungan suami istri:

  • 1. Komitmen
  • 2. Kedewasaan
  • 3. Finansial
  • 4. Kemampuan menghadapi krisis

II. Faktor penguat keluarga yang timbul dari anak-anak atau hubungan orang tua anak:

  • 5. Pendidikan orang tua terhadap anak

III. Faktor penguat keluarga yang timbul dari semua anggota keluarga atau hubungan antar semua anggota keluarga:

  • 6. Menjalankan peran/tanggung jawab
  • 7. Kasih
  • 8. Kerohanian
  • 9. Kebersamaan
  • 10. Komunikasi

Di antara 10 Faktor Penguat Keluarga tersebut semua saling berkaitan dan semuanya penting. Tentu saja ada banyak faktor yang lain yang bisa menjadi faktor penguat keluarga namun artikel ini hanya memilih 10 hal tersebut sebagai faktor penguat keluarga.

BAB II

10 FAKTOR PENGUAT KELUARGA

Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa keluarga yang kuat adalah keluarga yang tidak bercerai atau dengan kata lain keluarga tersebut tahan bantingan di dalam mengarungi samudera rumah tangga yang mana harus menghadapi kegelapan, angin ribut, badai, dan gelombang. Berbicara mengenai keluarga yang kuat tentu saja tidak cukup hanya mengkategorikannya ke dalam status tidak bercerai. Karena kenyataannya banyaklah keluarga yang rapuh dan hancur atau bahkan sudah tidak berbentuk lagi sebagai suatu keluarga walupun status suami istri dalam keluarga tersebut bukanlah status cerai. Keluarga yang kuat bisa digambarkan sebagai rumah yang kuat yaitu fondasi dan lantainya harus kuat, pilar-pilar dan temboknya harus kuat, dan juga atap serta gentengnya harus kuat. Sebagaimana rumah yang kuat harus memiliki ketahanan yang kuat di setiap sisi-sisinya demikian pula keluarga yang kuat, ia harus memiliki kekuatan di setiap aspek. Berikut ini paparan tentang 10 Faktor Penguat Keluarga:

I. Faktor penguat keluarga yang timbul dari suami istri atau hubungan suami istri:

1. KOMITMEN

Pernikahan pertama di dunia ini adalah pernikahan Adam dan Hawa. Pernikahan itu diciptakan oleh Allah dan pernikahan itu merupakan rencana Allah yang indah bagi manusia. Setiap pemuda pemudi mendambakan kebahagiaan dalam pernikahannya. Jusuf Roni mengatakan bahwa pernikahan itu bagaikan pemandangan sebuah gunung. Dipandang dari jauh gunung itu kelihatan indah sekali, elok, sedap dipandang mata. Akan tetapi, begitu kita mendekati dan mendaki gunung itu, sudah lain pemandangannya, penuh onak duri, semak belukar dan binatang buas, serta jurang-jurang yang dalam. Demikian juga dalam kehidupan rumah tangga, dipandang dari jauh pernikahan itu indah dan elok serta menawarkan kebahagiaan yang luar biasa. Namun, sebenarnya di dalam pernikahan itu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh suami istri. Dari 100 pernikahan yang terjadi di negara maju seperti Amerika, 50 terancam perceraian; 45 di antaranya diselesaikan dengan perceraian.

Banyak keluarga yang hancur oleh karena suami istri tidak lagi memiliki komitmen yang sungguh untuk mempertahankan kesatuan keluarga Norman Wright mengemukakan bahwa salah satu faktor yang berubah pada lembaga pernikahan saat ini adalah hilangnya tekad untuk mempertahankan pernikahan. Memiliki istri atau suami lebih dari satu bukanlah hal yang aneh. Dewasa ini banyak orang memasuki pernikahan dengan sikap: Jika tidak cocok, mereka dapat mengakhiri hubungan tersebut dan mencoba lagi dengan orang lain. Banyak orang yang sangat tidak sabar dengan pernikahan. Dr. Stinnett melakukan penelitian terhadap 3.000 keluarga dan ia mencatat enam hal yang membuat keluarga kokoh dan bahagia. Dari enam hal tersebut yang menjadi urutan pertama adalah memiliki komitmen pada keluarga.

Dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa keluarga yang bertahan lama merupakan keluarga yang sejak awalnya telah bertekad untuk bersatu dan tidak akan bercerai apa pun yang terjadi. Komitmen ini terus dipelihara dan dipupuk dalam keluarga sehingga menjadi keluarga yang kokoh.

Dalam keluarga muslim menurut ajaran Islam, suami istri dilarang mengatakan niatnya untuk cerai walaupun itu hanya sekadar cetusan emosi tatkala marah. Jikalau sudah mengatakan "minta cerai" maka harus memanggil penghulu untuk membersihkan kembali pernikahan itu.

2. KEDEWASAAN

Suami istri yang berumah tangga haruslah pribadi yang memiliki kedewasaan. Kedewasaan mengandung pengertian tidak egois, tidak menang sendiri. Dalam pernikahan setiap problem yang timbul merupakan suatu ujian untuk menguji kedewasaan suami istri.

Dewasa juga mengandung pengertian mandiri sebagaimana Tuhan menetapkan sejak awal bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya (Kejadian 2:24). Hal ini juga yang menjadi prinsip dari keluarga yang diwawancara, bahwa semua masalah dihadapi oleh suami istri secara mandiri dan tidak minta pulang ke rumah orang tua. Dalam keluarga ini, suami dibuang oleh orang tua/ keluarganya oleh karena ia menikah dengan orang yang tidak seagama. Namun, kondisi ini ternyata mendatangkan berkat bagi kebahagiaan keluarga mereka dan menolong mereka untuk dewasa serta mandiri dalam menghadapi problem keluarga mereka.

3. FINANSIAL

Perihal ekonomi merupakan perihal yang begitu riil, yang tidak bisa dihindari, yang perlu dilihat. Suami istri seharusnya bisa hidup bersama dengan harmonis baik dalam keadaan kaya maupun miskin. Janganlah pada waktu kaya suami istri tidak lagi saling mencintai, tidak lagi rukun bahkan suami mencari istri lain. Janganlah pada waktu miskin istri menjadi minder dan bahkan menginginkan suami orang lain yang kaya.

Dari wawancara didapatkan informasi bahwa pertengkaran sering terjadi ketika gaji suami pas-pasan bahkan kadang-kadang kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istri menjual barang untuk mendapatkan uang bahkan pernah menjual rambut untuk mendapatkan uang makan, tetapi suami tidak mau mengerti bahkan marah-marah. Suatu ketika suami disediakan makan dengan piring seng karena piring kaca sudah dijual, suami tersinggung karena merasa diperlakukan seperti kucing. Pertengkaran terjadi lebih hebat lagi.

4. KEMAMPUAN MENGHADAPI KRISIS

Krisis akan timbul jika seseorang tidak siap untuk menghadapi problemnya. Ada beberapa hal yang bisa mengakibatkan timbulnya krisis dalam keluarga yaitu:

  • 4.1. Terjadinya hal-hal yang tidak terduga mungkin itu kecelakaan.
  • 4.2. Suami yang mengalami kegagalan bahkan kehilangan pekerjaannya.
  • 4.3. Lahirnya seorang anak bisa membuat hubungan suami istri menjadi renggang.
  • 4.4. Bosan terhadap suami/istri sehingga tidak punya lagi perasaan segar dan tidak bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran suami/istri dalam kehidupannya. Tidak menghargai apa yang dilakukan suami/istri dan menganggap itu hanyalah kewajiban saja.
  • 4.5. Cara mendidik anak yang berbeda sehingga bisa menimbulkan benturan antara suami dan istri.
  • 4.6. Bahaya mid-life yaitu pada saat pria sudah memasuki usia empatpuluhan, ia sudah mempunyai kestabilan yang dulunya belum ia capai. Dia sudah memiliki kematangan dan pengalaman hidup. Mid-life crisis mengakibatkan pria menjadi bosan dengan segala sesuatu. Mid-life crisis jika menuju kepada kehidupan seks dan pernikahan, itu akan menjadi fakta yang paling kejam yang dialami oleh wanita.
  • 4.7. Sakit yang tak kunjung sembuh mengakibatkan uang terkuras untuk biaya pengobatan dan juga menimbulkan keletihan untuk merawatnya.

II. Faktor penguat keluarga yang timbul dari anak-anak atau hubungan orang tua- anak

5. PENDIDIKAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

Banyak anak kecil di bawah usia 5 tahun tidak bisa tertawa karena adanya tindak kekerasan terhadapnya. Pengasuhan anak merupakan hal yang sangat sulit, mendatangkan putus asa, dan kadang-kadang membingungkan. Namun orang tua haruslah mencobanya dengan berbagai cara dan pengorbanan untuk mendidik dan mengasuh anak. Tentu saja hal itu membutuhkan keluwesan, kemauan, dan kerja sama. Apa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, itu akan menghasilkan tuaian pada masa yang akan datang. Jikalau orang tua menanam hal yang benar dan baik pada anaknya, maka ia akan menuainya dengan sukacita. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis dalam Amsal 22:6, "Didiklah anak muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu."

Orang tua harus mengenal anaknya dan untuk mencapai hal ini dibutuhkan waktu, pengamatan yang seksama, pengkajian terus-menerus, berdoa, konsentrasi, dan kebijakan.

Orang tua membantu anak-anak untuk mengetahui siapa mereka. Hal itu akan membuat anak-anak mencintai dan menerima dirinya sendiri sebagiamana apa adanya. Ketika mereka terjun dalam masyarakat yang mencoba untuk mengubah diri mereka, mereka tetap setia dengan diri mereka sendiri, mereka merasa yakin dan aman dalam Tuhan.

Oleh karena dosa keturunan, maka anak-anak bisa melaukan kejahatan tanpa ada yang mengajarkannya. Orang tua harus menghadapi dan bereaksi terhadap kecenderungan jahat yang ada dalam kehidupan anak-anak. Orang tua yang gagal melakukannya dengan konsisten dan bijak akan menghadapi masa depan yang penuh penderitaan. Orang tua harus membimbing anak untuk mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Orang tua harus memikirkan kebahagiaan keturunan. Statistik membuktikan banyak keluarga yang pecah belah dan tidak bahagia menghasilkan anak yang kurang ajar. Banyak anak yang menjadi pencopet, yang tidak beres dalam masyarakat, berasal dari keluarga yang broken-home. Orang tua harus menciptakan keluarga bahagia untuk memberi kekuatan membesarkan anak-anak mereka. Tidak berarti keluarga yang bahagia juga akan menghasilkan anak-anak yang bahagia 100%. Juga tidak berarti keluarga yang kurang bahagia anaknya juga tidak bahagia. Tentu tidak. Namun, bagaimanapun orang tua harus memikirkan anak-anaknya. Kerusakan yang dialami, kesedihan dan luka yang ditanggung oleh anak karena suami istri bercekcok sulit untuk diobati oleh apa pun.

Dari hasil wawancara didapatkan bahwa orang tua menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak mereka sejak kecil. Sekarang mereka menuai hasilnya. Semua anaknya sarjana, sukses dalam akademis dan anak-anak mereka tidak pernah terlibat dalam kebiasaan merokok atau minum alkohol ataupun hal-hal lain yang tidak patut. Suami istri harus ada kerja sama dalam membina anak. Pendidikan anak bukan hanya tugas ibu atau bukan hanya tugas ayah. Jikalau suami istri berselisih mereka menyelesaikannya di dalam kamar tanpa sepengetahuan anak-anak sehingga anak-anak tidak mengalami luka hati akibat pertengkaran orang tua. Hal ini memberikan kesan kepada anak-anak bahwa keluarga mereka bahagia dan mereka aman dan senang tinggal di rumah.

III. Faktor penguat keluarga yang timbul dari semua anggota keluarga atau hubungan antar semua anggota keluarga:

6. MENJALANKAN PERAN/ TANGGUNG JAWAB

Menurut Nathan Ackerman, pakar masalah-masalah keluarga, gambaran peran suami dan istri yang diharapkan oleh keluarga seringkali tidak jelas. Akibatnya masalah kerjasama, pembagian kerja, dan pembagian kuasa acapkali membingungkan. Suami bersaing dengan istri dan takut tidak menjadi orang tua terbaik di mata anak-anak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, mereka saling melempar tanggung jawab dalam mengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan timbulnya perselisihan, mengurangi kualitas dukungan dan sharing, dan juga mengakibatkan susutnya rasa saling memahami. Konsekuensinya adalah terjadi kerenggangan emosi yang terus meningkat dalam hubungan sebagai orang tua.

Peran suami, pertama, suami harus penuh pengertian. Artinya, ia harus mau mendengar pendapat istrinya, berkemauan untuk berpikir bersamanya, peka terhadap perasaan, kehendak, dan gagasan-gagasannya. Kedua, suami adalah pelindung istri. Para suami tidak akan membiarkan istrinya terlalu lelah bekerja. Ia tidak akan membiarkan anak-anak tidak menghormati ibu mereka. Ketiga, para suami harus ingat bahwa para istri mempunyai hak-hak rohani yang sama dengan mereka.

Istri yang baik harus dengan sukarela tidak mementingkan dirinya, ia harus murni dan penuh hormat. Ia tidak melakukan hal yang merendahkan suami atau membuatnya merasa tidak aman atau malu. Ia memperhatikan kesejahteraan suaminya dan membangunnya. Ia layak dipercaya dan setia.

Urutan otoritas dalam keluarga yaitu Allah kepala Kristus, Kristus kepala pria, pria kepala perempuan, dan ibu bapa kepala anak-anak. Bila urutan otoritas ini tidak dipatuhi dan tidak dimengerti maka kekacauan akan timbul. Dengan mengerti hal ini maka banyak kekacauan dan keributan tidak perlu terjadi.

Dari uraian di atas sudah jelas mengenai peran/tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga. Dalam keluarga yang sehat, anak-anak juga memiliki peran/tanggung jawab. Tentu saja tanggung jawab yang diberikan kepada anak-anak itu disesuaikan dengan kemampuannya dan kematangannya. Anak-anak yang sudah terlatih dengan tanggung jawab di rumah, mereka akan lebih mampu mandiri dan lebih siap untuk berpisah dengan orang tua (misalnya sekolah di luar kota). Anak-anak yang dibebaskan dari tanggung jawab di rumah, mereka akan mengalami kesulitan ketika kelak mereka berumah tangga.

7. KASIH

Salah satu kebutuhan emosional yang paling penting adalah kasih sayang. Setiap orang mendambakannya. Tempat terbaik untuk menunjukkan, menumbuhkan, memupuk, mengembangkan, dan mempraktekkan kasih sayang adalah di dalam keluarga. Dengan demikian, setiap anggota keluarga berkembang dengan cara yang sehat dan dengan demikian dapat mengesampingkan banyak sekali masalah di dalam kehidupan ini.

Memberi dan menerima kasih sayang harus berlaku bagi setiap orang di dalam keluarga. Orang tua harus saling menunjukkan kasih. Anak-anak harus menunjukkan kasih kepada orang tua, demikian juga sebaliknya. Kakak beradik harus saling mengasihi. Dengan demikian di dalam diri setiap anggota keluarga akan tumbuh rasa menghargai diri sendiri dan memiliki sikap/pandangan yang sehat terhadap diri sendiri. Suasana ini akan menumbuhkan rasa saling menghargai dan saling mempercayai. Pada waktu anak dewasa, pengalamannya di dalam keluarga yang penuh kasih sayang akan membuat ia sanggup membuka dirinya kepada orang lain.

Tanpa adanya kasih, keluarga menjadi hambar. Hubungan yang dilandasi kasih Allah harus dipelihara. Biasanya setelah sekian lama menikah kasih suami istri menjadi luntur. Suami istri bisa menjadi bosan. Kasih manusia terbatas. Oleh sebab itu, keluarga Kristen harus dilandasi dengan kasih Allah.

Dalam wawancara sebuah keluarga, suami istri mengatakan bahwa wujud cinta itu adalah saling melayani, saling menghargai, dapat dipercaya dan terbuka. Sehingga dengan demikian tidak membuka cela bagi masuknya orang ketiga.

8. KEROHANIAN

Dalam keluarga tentu ada berbagai macam masalah. Jikalau semua anggota keluarga membawa permasalahan mereka kepada Tuhan, keluarga itu mengalami pertolongan Tuhan. Dengan ditunjang oleh kehidupan doa yang aktif maka jarang timbul pertengkaran antara anggota keluarga. Ayah harus menetapkan waktu khusus untuk mulai berdoa bersama. Doa bersama dilakukan tidak menunggu datangnya kesulitan.

Paul Tournier mengatakan, "Hanya jika suami istri berdoa bersama di hadapan Allah, barulah mereka menemukan rahasia keharmonisan yang sejati, di mana perbedaan temperamen, gagasan, dan kesukaan semakin memperkaya pernikahan, bukannya mencelakakan. Dalam keadaan demikian tidak ada tempat bagi mereka yang memaksakan kehendak kepada orang lain. Sebaliknya, bersama-sama mereka mencari kehendak Allah, yang akan menjamin bahwa setiap orang mampu mengembangkan kepribadian seutuhnya. Ketika setiap orang dalam pernikahan rindu duduk tenang di hadapan Allah untuk melihat kesalahannya sendiri, mengaku dosa, dan minta ampun kepada yang lain, maka tidak ada lagi persoalan dalam pernikahan. Masing-masing belajar berbicara dengan bahasa yang biasa dipakai pasangannya dan berusaha memahaminya sebelum berbicara. Lebih dari itu, suami dan istri akan menemukan kembali utuhnya rasa saling percaya, karena dalam doa bersama mereka belajar jujur satu sama lain. Kejujuran inilah yang harus dipertahankan jika suami istri yang sangat berbeda hendak memadukan karunia mereka dan tidak ingin memakainya untuk saling menjatuhkan.

Bukan hanya suami istri yang harus memiliki kerohanian yang baik, anak-anak pun harus mengenal Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya sejak dini. Anak-anak harus diajarkan bagaimana berdoa. Orang tua harus membawa anak-anak mereka ke Sekolah Minggu sejak dini. Orang tua juga berkewajiban mengajarkan kepada anak-anak tentang Sepuluh Perintah Allah, tentang cerita atau ayat Alkitab dan juga mengajarkan lagu pujian kepada Tuhan.

9. KEBERSAMAAN

Salah satu kegembiraan kehidupan keluarga yang sehat ialah bekerja dan bermain bersama-sama. Jika orang tua menyediakan waktu untuk bersama-sama dengan anak-anak, maka itu berarti orang tua sedang merealisasikan kasihnya. Orang gemar menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang dikasihinya dan seharusnya orang-orang itu adalah keluarganya sendiri.

Dari wawancara diungkapkan bahwa seletih apa pun dalam pekerjaan, ayah selalu menyediakan waktu untuk memandikan anak-anak. Hal ini membuat istri senang dan anak-anak gembira diperhatikan oleh ayah.

10. KOMUNIKASI

Cecil Osborne memaparkan beberapa hal yang membuat suami dan istri frustasi. Istri membuat frustasi suami dengan cara "mengambil alih" dan menguasai suaminya, atau cenderung emosional saat berdiskusi. Di sisi lain suami membuat frustasi istrinya jika suami gagal mengerti emosi istri yang mudah berubah. Suami tidak memahami "hal-hal kecil" yang seringkali merupakan "masalah penting bagi wanita". Kemacetan komunikasi dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan. Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang mengenal yang lain, berhubungan satu dengan yang lain, dan mengerti arti kehidupan pasangannya yang sebenarnya.

Hubungan yang mendalam, khususnya dalam hubungan pernikahan, harus didasarkan kepada keterbukaan dan kejujuran yang sepenuhnya. Hal ini mungkin sulit untuk dicapai karena mengandung risiko yaitu risiko ditolak. Akan tetapi, hal ini penting agar hubungan dalam pernikahan dapat bertumbuh. Komunikasi yang dalam adalah komunikasi yang melibatkan emosi dan perasaan pribadi secara jujur dan sepenuhnya.

Ada tiga senjata yang digunakan orang untuk membela diri mereka dalam berkomunikasi. Pertama, ledakan marah. Kedua, air mata. Air mata seringkali menjadi penghalang bagi terciptanya komunikasi yang baik. Senjata air mata ini kebanyakan digunakan oleh kaum wanita. Senjata ketiga adalam diam. Diam adalah senjata yang sering dipakai oleh orang-orang Kristen yang lebih tua.

Semua anggota keluarga haruslah berkata-kata lembut, maka itu akan menciptakan suasana keluarga yang indah. Apa salahnya suami istri saling mengatakan, "Aku cinta padamu". Apa salahnya suami memanggil "sayang" kepada istrinya dan sebaliknya.

Tentu saja dalam keluarga yang sehat komunikasi yang baik bukan hanya terbatas pada hubungan suami istri saja, melainkan juga menyangkut orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua, anak terhadap anak (kakak beradik).

Hasil wawancara: jika suami istri saling terbuka satu dengan yang lain, maka tidak akan ada orang ketiga yang ikut campur atau membuat masalah baru dalam keluarga. Kejujuran sangat diperlukan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan atau kekecewaan di antara anggota keluarga.

BAB III

KESIMPULAN

Ternyata untuk mewujudkan keluarga yang kuat bukanlah hal yang mudah. Sebagimana yang dikatakan oleh Amsal dalam pendahuluan bahwa dalam keluarga dibutuhkan hikmat, kepandaian, dan pengertian. Suami dan istri sebagai pendiri keluarga haruslah memiliki hikmat, kepandaian, dan pengertian. Peranan suami dan istri sangatlah penting dan dominan dalam memberikan pengaruh terhadap keluarga itu sendiri. Artinya, keluarga itu menjadi keluarga yang kuat atau rapuh, bahagia atau tidak bahagia, sangatlah ditentukan oleh suami dan istri serta peranan mereka dalam keluarganya.

Kuat tidaknya sebuah keluarga diuji dengan waktu. Sampai berapa tahunkah keluarga tersebut tetap utuh. Selain ujian waktu, kekuatan keluarga diuji dengan mampu tidaknya keluarga tersebut mengatasi masalah demi masalah.

Dari buku-buku referensi didapatkan bahwa anak-anak dan peranan mereka sedikit sekali dibicarakan dalam kaitan pembahasan keluarga bahagia.

Keluarga yang kuat tentunya akan memberikan pengaruh yang positif bagi anak-anak dalam keluarga tersebut. Dalam keluarga yang kuat, semua anggota keluarga merasa at home. Sehingga ini menutup peluang bagi terciptanya perselingkuhan maupun terjadinya kenakalan anak-anak yang disebabkan oleh pergaulan di luar rumah.

Dari penguraian dalam Bab II mengenai 10 faktor penguat keluarga, maka kami melihat bahwa semua faktor tersebut seharusnya dimiliki oleh setiap keluarga terutama bagi keluarga Kristen. Jikalau ada faktor yang tidak dimiliki oleh sebuah keluarga maka tentu saja keluarga tersebut mengalami kekurangan faktor penguat. Sepuluh faktor penguat ini merupakan faktor-faktor yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Dari keluarga-keluarga yang kami wawancara kami mendapatkan bahwa faktor-faktor tersebut ada dalam keluarga mereka, walaupun mereka tidak bisa mengungkapkannya secara gambling.

Dalam keterbatasan manusia tentu saja ada cela-cela yang memungkinkan terjadinya kegagalan. Namun, dengan bersandar kepada Tuhan, maka Tuhan akan terus menambahkan hikmat, kepandaian, dan pengertian untuk menolong keluarga-keluarga supaya tetap utuh dan kuat. Karena apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia.

Daftar Pustaka:

1. Narramore, Clyde M. Lika-liku Problema Rumah Tangga. Bandung: Kalam Hidup, 1990.

2. Roni, K.A.M. Jusuf. Keluarga Kristen Bahagia. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1992.

3. Swindoll, Charles R. The Strong Family. Batam: Interaksara, 1995.

4. Tim, La Haye. Kebahagiaan Pernikahan Kristen. Jakarta: BPK Gunung MUlia, 1985.

5. Tong, Stephen. Keluarga Bahagia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995.

6. Wright, H. Norman. Komunikasi Kunci Pernikahan Bahagia. Yogyakarta: Yayasan Gloria, 1997.

Komentar