Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Utang Telah Menjadi Gaya Hidup?

Utang! Aktivitas ini, sepertinya tidak bisa lagi dipisahkan dan kehidupan masyarakat kita. Mulai dari kelas bawah, menengah, hingga atas, pasti akrab dengan aktivitas yang awalnya menyenangkan, tapi bila tidak dikelola, akhirnya menyengsarakan itu.

Masyarakat kita yang makin materialis dan cenderung menilai segala sesuatu, termasuk kesuksesan dengan hal-hal yang bersifat materi, mau tidak mau akan mendorong orang untuk materialis juga. Dengan begitu, orang menjadi susah untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada pada dirinya. Masing-masing berlomba-lomba menunjukkan kemapanan hidup dengan membeli barang-barang konsumtif.

Peluang ini rupanya dilihat oleh kapitalis yang tak habis-habisnya menggoda konsumen. Lihatlah, serbuan iklan di media setiap hari yang menawarkan berbagai barang konsumtif: handphone, televisi, motor, mobil, dengan model terbaru. Dengan munculnya model terbaru, model yang lama pun terasa tak "up to date" lagi. Akibatnya, orang pun tergiur untuk terus menggantinya dengan model terbaru karena takut ketinggalan zaman, tidak ikut tren.

Inilah kebutuhan yang memang sengaja diciptakan kapitalis. Mereka memang sangat lihai menciptakan citra pada produknya, hingga akhirnya orang merasa membutuhkan barang itu. Padahal, sebenarnya barang yang ia miliki masih bagus. Misalnya: dulu, punya handphone yang berlayar satu warna dengan nada dering biasa sudah cukup. Sekarang, model seperti itu dianggap kuno. Akibat tawaran maut itu, kini orang membeli barang tak lagi hanya berdasarkan fungsi, tetapi juga mempertimbangkan fashion.

"Virus" ini menyebar ke berbagai kalangan, termasuk kalangan bawah yang penghasilannya terbatas. Lalu, kalau uangnya kurang bagaimana? Jangan khawatir! Bagai gayung bersambut, tawaran itu didukung oleh lembaga yang memberi kredit. Dengan uang terbatas, barang idaman dapat dimiliki dengan gampang. Misalnya, hanya dengan uang muka sebesar Rp 750 ribu, sepeda motor seharga 10 juta sudah bisa dibawa pulang. Coba kalau menabung. Belum tentu dalam setahun uang sebanyak itu bisa terkumpul.

Tak hanya itu, metode berutang pun kini makin variatif. Jika dulu kita mengenal sistem berutang yang konvensional, antara lain lewat bank atau koperasi, kini ada agen-agen yang menawarkan utang dengan cara mudah. Tak perlu disurvei, tak perlu tunggu berhari-hari. Hanya dengan menyerahkan syarat standar seperti fotokopi KTP dan kartu keluarga, surat keterangan kerja, slip gaji, maka dalam waktu kurang lebih satu jam dana yang dibutuhkan segera cair. Bunga pinjaman pun sedikit lebih rendah dari bank, yaitu sekitar 2,4 persen per bulan.

Mereka yang berdompet tebal pun tidak terlepas dari utang. Hanya saja, caranya mungkin lebih halus dan keren. Tak percaya? Coba saja tengok dompet mereka yang berkantong tebal. Pasti Anda akan menemukan sederetan kartu plastik berjejal di sana. Dengan kartu kredit, tanpa membawa uang di dompet mereka bisa belanja sana-sini. Tinggal gesek sreeek ... belanjaan senilai jutaan itu langsung berpindah tangan. Nah, tinggal nanti di akhir bulan mereka terima tagihannya. Memang, salah satu fungsi kartu kredit antara lain sebagai pengganti uang tunai. Tetapi mengambil barang dengan menunda pembayarannya sama saja juga utang kan?

Itulah yang terjadi dalam masyarakat kita. Begitu dekatnya aktivitas ini dengan kehidupan keseharian kita, berutang seakan menjadi sebuah gaya hidup. Apalagi sekarang ini, harga barang kebutuhan yang terus merangkak naik terasa makin tak imbang dengan pendapatan yang jalan di tempat. Sangat beralasan jika utang dijadikan solusi yang dianggap paling tepat.

Yang paling sering terjadi dan dilakukan banyak orang adalah berutang untuk memenuhi berbagai keinginan. Nah, ini yang paling sulit karena sifat alami manusia adalah punya banyak keinginan. Parahnya, banyak manusia tidak dapat membatasi keinginan mereka. Padahal keinginan itu biasanya lebih besar daripada kemampuan ekonomi. Akibatnya, orang pun "terpaksa" berutang demi memenuhi keinginan yang tidak terjangkau oleh penghasilan itu.

Sering kali, utang memang disebabkan oleh masalah gaya hidup. Ada tiga gaya hidup yang berkaitan dengan uang. Pertama, orang yang pengeluarannya selalu lebih besar dari pada penghasilan. Biasanya mereka melakukan itu demi memenuhi tuntutan lingkungan. Mereka tak segan berutang untuk membiayai gaya hidup ini, hingga tanpa sadar suatu kali mereka dapat terjebak masalah.

Kedua, orang yang selalu menghabiskan pendapatannya tanpa menyisakan sedikit pun untuk menabung. Bagi orang seperti ini, berapa pun jumlah uang yang di dapat tak berpengaruh. Jika yang masuk lebih banyak, biasanya yang keluar pun lebih banyak. Akibatnya, jika terjadi hal-hal yang mendadak dan darurat, mereka kebingungan karena tidak memiliki simpanan. Ketiga, orang yang memiliki tujuan dalam keuangan. Artinya, mereka tahu dengan pasti berapa jumlah uang dan untuk tujuan apa uang itu dikeluarkan. Dengan begitu, pengeluaran tidak akan melebihi pendapatan mereka.

Dari ketiga gaya hidup itu, yang paling banyak tampak adalah yang pertama dan kedua. Mengapa itu bisa terjadi? Selain karena tidak bisa mengelola anggaran dengan baik pada dasarnya manusia memang tidak pernah merasa puas. Ia selalu dicobai dan terbelenggu dari satu keinginan kepada keinginan yang lain. Tak ada habisnya. Karena itu, kita harus dengan sangat tegas berkata, gaya hidup konsumtif adalah lawan yang harus kita perangi!

Orang sebenarnya tidak perlu berutang seandainya ia bisa mengelola anggaran dengan baik. Artinya, ia bisa menyesuaikan antara pendapatan dan pengeluaran. Penghasilan yang kita peroleh adalah berkat dari Tuhan yang harus kita kelola dengan baik. Sayangnya, manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas. Dan, ketidakpuasan adalah penyakit utama semua manusia. Kita hanya memfokuskan diri pada apa yang tidak kita miliki, sehingga hanya melihat kekurangan yang ada dalam diri kita. Ada saja kebutuhan yang belum dipenuhi.

Ketidakpuasan itu ada karena kita memiliki iri hati, selalu membandingkan apa yang sudah kita miliki dengan apa yang dimiliki orang lain. Karena selalu merasa "rumput tetangga lebih hijau", kita menjadi tak bisa melihat berkat Tuhan yang telah dicurahkan dalam hidup kita. Sebaliknya, kita justru akan dikejar-kejar oleh kebutuhan untuk memenuhi keinginan kita yang tidak ada habisnya. Itulah yang sering kali membuat kita menjadi depresi hingga harus berutang. Bukan karena tidak cukup, tetapi karena kita sendiri yang tidak pernah bisa bilang cukup! Sebetulnya ketidakpuasan itu ditimbulkan gara-gara terlalu banyak menggunakan uang bukan untuk sesuatu yang sudah direncanakan Tuhan.

Begitu dekatnya kita dengan aktivitas ini hingga merasa bahwa utang adalah sesuatu yang wajar. Benarkah demikian? Lalu apa maksud Alkitab yang melarang kita berutang seperti yang tertulis di dalam Roma 13:8? Jika dilihat dari konteksnya, ayat itu tidak menunjuk soal larangan untuk meminjam uang pada orang lain. Tema besar dari perikop itu adalah tentang kewajiban yang harus dipenuhi orang Kristen terhadap pemerintah, salah satunya membayar pajak. Selain itu, Paulus juga menegaskan tentang pentingnya menghormati hak seseorang. Salah satunya adalah memberi hormat kepada orang yang berhak mendapatkannya.

Siapa yang berutang menjual kebebasannya (Amsal 22:7). Jadi, kendati firman Tuhan tidak pernah melarang kita untuk meminjam uang, Alkitab menunjukkan bahwa meminjam mendatangkan pengaruh negatif. Oleh karena itu, utang bisa membawa kebaikan tetapi bisa juga keburukan. Sekali lagi, kalau bisa jangan berutang, tetapi jangan juga merasa berdosa kalau berutang untuk hal yang baik. Meski begitu, itu pun harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang.

Dengan begitu, utang yang dimaksudkan untuk membantu kita keluar dan masalah keuangan akhirnya tidak menjadi jerat baru, yang membuat kita makin terpuruk. Namun, hal yang lebih mendasar dari semua itu adalah bagaimana kita mampu mencukupkan diri pada semua yang ada. Karena apa pun yang kita miliki itu, suatu saat akan kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Kita ini hanyalah pengelola uang yang sebenarnya bukan milik kita. Kesuksesan hidup seseorang tidaklah tergantung pada seberapa banyak barang yang ia miliki, melainkan pada seberapa banyak yang bisa ia berikan pada orang lain. Dan, itu tidak sekadar materi, tetapi juga nilai-nilai hidup dan kebaikan.

Diambil dari:

Judul majalah : Bahana, Edisi Mei 2005, Volume 169
Penulis : Benny Santoso, S.T., M. Com
Penerbit : Yayasan ANDI, Yogyakarta
Halaman : 42 -- 44
Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar