Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Belajar dari Seorang Oma
Sepulang gereja, kami (aku dan istriku Susan) bertemu dengan seorang Oma berambut putih, berdiri di area parkir mobil. Kebaktian sudah usai beberapa menit. Kami berbincang-bincang dan sang Oma menceritakan sesuatu yang mencengangkan kami. Kami bertanya, mengapa Oma ini tidak antri seperti beberapa ibu-ibu lain (terutama para janda) yang hari ini menerima bingkisan Natal 2009.
Semua janda-janda di gereja mendapat bingkisan. Kami heran, mengapa Oma ini tidak ikut antri. Bahkan, beberapa orang-orang yang biasa mengurus para lansia, menyarankan supaya Oma ini mendaftarkan diri untuk memperoleh bingkisan-bingkisan itu. Tapi Oma ini menolak. Apakah ini kesombongan? Bukan. Oma ini menyatakan bahwa dia sudah mendapat berkat yang "cukup" dari Tuhan, jadi tidak perlu mengantri seperti itu. Dia bahkan merasa malu, karena dia punya cerita pada masa mudanya, dia juga banyak memiliki keinginan (rakus/serakah).
Oma ini bercerita bahwa beberapa waktu silam, dia akan operasi mata (katarak). Oleh karena Bapak dan Ibu Gembala gereja kami (Pendeta dan Ibu Pendeta) adalah orang yang perhatian, maka mereka menanyakan apakah Oma ini perlu bantuan keuangan? Ya, siapa yang tidak mau dibantu soal uang. Oma ini dengan halus menolak, dengan mengatakan bahwa ia masih memiliki "tabungan". Dia masih punya uang pensiun, dan dia pasti akan mendapat bantuan dari berbagai pihak. Bahkan siang tadi dia katakan bahwa Tuhan sudah menyediakan seseorang untuk mengantarkannya pulang ke rumah dari gereja. Bagi Oma ini, itu sudah menghemat uang Rp. 6.000. Uang itu, nanti akan dibelikan minyak tanah untuk memasak makanannya hari ini. Kami berdua seperti "ditampar" mendengar kesaksian Oma tersebut. Bukankah hidup kami sebagai seorang muda, (saya 42, istri 41, anak 15) selalu meminta-meminta dan meminta segala kebutuhan hidup di bumi yang sementara ini kepada Tuhan Yesus? Bisakah kami mencontoh Oma ini?