Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Perkawinan yang Langgeng
Dari kesaksian berikut ini kita bisa belajar bahwa dalam sebuah perkawinan ada tiga hal yang harus diperhatikan agar dapat mewujudkan perkawinan yang langgeng, yaitu:
-
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasangan kita.
-
Kesepakatan untuk mencocokan berbagai hal dengan pasangan kita sehingga menumbuhkan rasa saling mengerti.
-
Gereja mempunyai peran penting dalam pernikahan terutama dalam memberikan konseling pernikahan.
Dengan demikian maka sebuah pernikahan yang langgeng bukan lagi hanya sebuah harapan bagi setiap pasangan tetapi setiap pasangan dapat mewujudkannya dengan memperhatikan ketiga hal diatas.
Perkawinan, seperti halnya persahabatan, harus dibina; diperlukan adanya kesabaran, ketekunan, pengertian, dan kesepakatan dengan orang yang benar-benar saudara nikahi -- jadi bukan dengan orang yang saudara mungkin tadinya ingin nikahi.
Saya dan suami saya, Hugh, sudah menikah selama lebih dari 40 tahun sampai kematiannya. Kami menyadari bahwa perkawinan yang langgeng tidak mudah dicapai; perkawinan harus terus dibina, bahkan setelah banyak tahun sekalipun.
Suatu hal yang sangat penting bagi saya adalah saat kami menikah di gereja, dan kami mengucapkan janji kami "dalam suka maupun duka, dalam sakit maupun sehat, sampai maut memisahkan kita." Saya mengucapkan janji ini di hadapan Tuhan, dan sering kali pernyataan itulah yang membuat saya bertahan.
Semua perkawinan adalah laksana bayi. Perkawinan mengalami masa pertumbuhan dan perubahan yang menyakitkan; dan sebelum saudara sampai ke tingkat yang berikutnya, saudara belum bisa menemukan manfaat dari semua rasa sakit itu.
Ketika saya bertunangan dengan Hugh, seorang saudara sepupu saya (sekarang hampir berumur 90 tahun) yang sangat saya kasihi berkata, "Nah, seks hanyalah sepertiga dalam perkawinan; dan itu merupakan sepertiga yang sangat penting. Tetapi yang dua-per-tiga lagi juga sangat penting, dan kadang-kadang apa yang engkau lakukan dengan yang dua-per-tiga itu bisa membuat perkawinan berhasil atau hancur."
Sebagian besar dari yang dua-per-tiga itu adalah KOMUNIKASI. Waktu yang paling penting dalam keluarga kami adalah makan malam. Sudah merupakan tradisi dalam keluarga kami untuk menyisihkan waktu dan duduk bersama saat makan malam. Kadang-kadang pukul 5 sore dan kadang-kadang pukul 9 malam, kami makan bersama-sama dengan piring terbaik yang kami miliki. Memecahkan roti bersama merupakan saat yang suci, saat saling menghormati.
Tetapi perkawinan bukan hanya untuk diri kita sendiri; perkawinan juga untuk orang lain. Kita tidak bisa bertumbuh dan memelihara pernikahan kita hanya dengan menyendiri, karena, terutama sebagai orang Kristen, kita sadar bahwa kita merupakan bagian dari suatu keseluruhan yang jauh lebih besar. Inilah salah satu perkara yang diajarkan suami saya, sebab saya adalah anak tunggal dan tidak biasa bergaul dengan orang banyak. Tetapi sebagai pasangan suami-istri kami tetap membuka pintu kami. Kami mempunyai apartemen yang cukup besar di New York, dan kami membuka tempat kami bagi kawan anak-anak kami yang datang ke kota itu dan tidak mampu menginap di hotel. Kami tidak menutup pintu rumah kami bagi dunia luar, sebab bagian dari pernikahan kami adalah pelayanan.
Sekarang saya melihat sisa dari yang dua-per-tiga itu sebagai KECOCOKAN: Apakah kalian menyukai orang-orang yang sama? Apakah kalian menyukai musik yang sama, pengarang yang sama? Apakah yang menjadi kesenangan kalian? Jikalau saudara berdua sepakat tentang hal-hal ini, maka saudara tidak perlu kuatir mengenai dugaan orang lain atas diri saudara.
Pernah ketika Hugh sedang memotong rumput di halaman, seorang wanita yang mengetahui bahwa kami sering tinggal di New York, berhenti dan berkata kepadanya bahwa ia sedang memikirkan untuk pindah ke sana. "Ceritakan padaku tentang tempat berhura-hura malam hari itu," katanya. Hugh hanya tertawa karena tempat-tempat itu tidak menjadi kegemaran kami. Saya tidak mungkin berhasil dengan seorang laki-laki yang hanya pergi ke sana kemari untuk mencari hiburan sepanjang waktu.
Di dalam pernikahan juga sangat penting bila bisa bersenang-senang bersama, memiliki rasa humor yang sama, dan juga sanggup untuk secara hati-hati saling menertawakan. Kita perlu menerima kekurangan dan kegagalan kita sendiri, karena kita semua mempunyainya. Dan tertawa bersama kadang-kadang merupakan cara terbaik untuk mengatasi keadaan yang serba salah.
Saya tidak pasti apakah saya akan berhasil bersama seorang yang menjadi lawan politik saya. Saya bukan seorang ekstrimis kanan atau kiri, tetapi saya menghargai kepercayaan yang kami punyai bersama. Saya akan banyak mengalami kesulitan bila menikah dengan seorang ekstrimis. Saya pun tidak mungkin menikah dengan seorang ateis. Walaupun pengakuan iman Hugh dan saya berbeda, tetapi itu iman yang sama. Saya dilahirkan dan dibesarkan di gereja Episkopal, dan gereja itu sekarang sangat penting bagi saya. Walaupun saya meninggalkan gereja itu setelah menyelesaikan Sekolah Dasar saya di sekolah Anglikan, saya toh kembali lagi; dan pengakuan iman saya bersifat simbolis dan sakramental. Hugh berasal dari latar belakang gereja Southern Baptist yang keras dan kemudian pindah ke gereja United 'Church of Christ'. Jadi apabila kami berada di New York pada musim dingin, kami menjadi orang Episkopal; dan di Connecticut pada musim panas kami menjadi anggota gereja 'Congregational'. Cara kedua aliran ini dalam menghampiri Allah memang berbeda, tetapi Allah yang kami sembah adalah Allah yang sama, jadi ini bukan merupakan beban bagi kami.
Tetapi pasangan suami-istri tidak akan bisa mencapai kesepakatan tanpa kerja keras dan konseling. Saya menyarankan agar pada masa bertunangan pasangan-pasangan itu mengikuti pendidikan menjelang pernikahan dan juga konseling, yang mungkin diberikan oleh pasangan suami-istri yang sudah lama menikah, sudah mengalami berbagai masalah, dan sudah menjadi semakin menyatu. Saya juga berpendapat bahwa konseling perkawinan yang berkesinambungan, pembicaraan dengan seorang pakar mengenai soal-soal yang terjadi berulang kali, dapat sangat bermanfaat.
Saya mengenal seorang pendeta 'Church of England' yang bukan hanya memberikan konseling kepada pasangan-pasangan yang akan menikah, melainkan setiap tahun pada hari ulang tahun pernikahan mereka ia mengirimkan sepucuk surat kepada mereka -- ia terus mengikuti kehidupan mereka. Dan sangat sedikit dari pasangan-pasangan yang ia nikahkan itu melakukan perceraian. Saya yakin ini sebagian dikarenakan oleh lanjutan perhatian yang ia berikan itu.
Panjangnya konseling pernikahan kami sendiri menggembirakan. Kami berdua adalah aktor yang sedang memainkan lakon karangan Philip Barry, The Joyous Season, yang lama dipertunjukkan di Chicago. Kami sudah merencanakan untuk menikah di New York tetapi kami memutuskan untuk tidak menunggu. Maka pada suatu hari Minggu kami mencari sebuah gereja dan berjalan memasuki halaman gereja St. Chrisostom. Pada waktu kami berbicara dengan pendeta di situ, ia bertanya, "Apakah kalian pernah menikah sebelumnya?" Kami jawab belum pernah. Konseling pernikahan kami demikian panjang. Bagaimanapun, kami telah berhasil dalam perkawinan kami, tetapi tentu akan lebih mudah jalannya seandainya kami telah mendapat bantuan yang lebih banyak sebelumnya supaya kami mengetahui apa yang kira-kira akan kami hadapi.
Konseling pernikahan terutama sangat menolong bagi mereka yang berasal dari keluarga berantakan yang semakin banyak jumlahnya saat ini. Saya pikir kaum muda perlu diberi pandangan yang realistis tentang wujud perkawinan itu, bukan gambaran tentang kesempurnaan yang luar biasa. Seorang perempuan muda yang naif bertanya, "Maksudmu, kalian bertengkar setelah menikah?" Tentu ada pertengkaran, tetapi ada cara-cara bertengkar yang berbeda: yang pertama adalah bersifat keji dan tidak adil, sedangkan yang kedua adalah membiarkan perbedaan pendapat dikemukakan supaya bisa diatasi dengan cara yang sehat. Mengemukakan segi pandangan yang berbeda memungkinkan adanya titik temu yang melahirkan ide dan keputusan. Jikalau tidak pernah ada titik temu dalam pertengkaran saudara sebelum perkawinan, itu hendaknya dijadikan satu peringatan.
Saya mempunyai teori bahwa banyak pasangan muda yang hidup bersama sebelum pernikahan sekarang ini bukan karena memberontak melawan moralitas generasi orangtua mereka, tetapi melawan kedursilaan generasi tersebut. Begitu banyak di antara mereka berasal dari keluarga yang orangtuanya sudah menikah di gereja dan membuat janji-janji yang indah, kemudian mereka bercerai dan menikah lagi, atau tidak setia tetapi masih tetap dalam hubungan pernikahan. Saya kira kaum muda tidak menyukai kemunafikan seperti itu.
Ketika mereka membuat janji-janji, mereka ingin memastikan bahwa janji itu benar. Sudah tentu beberapa di antara mereka tidak menganggap pernikahan itu serius, tetapi saya kira hal itu disebabkan karena pengharapan mereka tentang cinta yang abadi dan kreatif bersama seseorang selama perjalanan hidup ini sudah dipadamkan. Mereka belum melihat contoh-contoh perkawinan semacam itu yang cukup berhasil.
Pada segi yang lain, saya melihat gereja menjadi lebih penting bagi beberapa pasangan, lebih terlibat dalam pernikahan dan kelanjutan kehidupan keluarga mereka. Gereja menyuguhkan program-program seperti Konsultasi Pernikahan, misalnya, dan kebanyakan kelompok jauh lebih bersifat oikumene daripada biasanya. Orang-orang tidak dihalangi ketika mereka datang minta pertolongan hanya karena mereka berasal dari gereja yang berbeda; pernikahan campuran antar gereja tidak terlihat aneh, dan beberapa pasangan melakukan kompromi seperti halnya Hugh dan saya.
Saya yakin perkawinan dalam keadaannya yang terbaik merupakan ikon Ketuhanan, gambar Trinitas. Perkawinan memberikan suatu cara duniawi bagi kita untuk mengetahui bagaimana rupa Allah Pencipta itu. Jadi merupakan suatu sakramen, suatu gambaran yang dapat dilihat mengenai hal-hal yang tidak bisa dilihat. Saya yakin bahwa pada saat dua orang dijadikan satu dalam sakramen ini mereka menjadi lebih berarti daripada sekadar perpaduan diri mereka berdua. Seperti sebuah ikon, pernikahan yang baik berguna untuk menyatakan kepada dunia tentang kemungkinan adanya kesatuan rohani. Pernikahan merupakan tanda pengharapan, dan ini sangat diperlukan pada zaman kita ini.
Selalu pasti ada sisi yang menyangkut penjelmaan dua orang, daging dan darah, bagaimanapun juga, secara tidak sempurna menunjukkan pada hal-hal yang suci ini. Jika perkawinan kita telah diberkati dengan waktu yang panjang, itu bukan karena kekuatan kita. Itu hanya karena kasih karunia Allah. Kita tidak pernah mencapai sesuatu dengan kekuatan kita sendiri. Jikalau Roh Kudus tidak bekerja, maka tidak akan ada yang bisa terjadi.
Saya ingat, sekitar ulang tahun perkawinan kami yang ke-35, hari bersalju dan saya sedang dalam perjalanan ke suatu tempat dengan taksi. Saya mengatakan kepada supir taksi bahwa saya dan suami saya sudah menikah selama tiga puluh lima tahun, dan bagi seorang aktor dan seorang penulis, ini benar-benar merupakan rekor. Sopir itu mengangkat tangannya dari kemudi, berpaling dan berkata, "Bu, itu bukan rekor - itu adalah mukjizat!" Dan ia betul sekali.
Diambil dari:
Judul buku | : | Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen |
Judul artikel | : | Perkawinan yang Langgeng |
Penulis | : | Madeleine L'Engle |
Penerbit | : | Kerjasama antara Penerbit Gandum Mas, Malang; Yayasan Kalam Hidup, Bandung; YAKIN, Surabaya; 2002 |
Halaman | : | 874 -- 878 |
Dipublikasikan di: http://c3i.sabda.org/15/may/2003/konseling_perkawinan_yang_langgeng
Komentar