Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Sebuah Hadiah Untuk Antonio

Ia berjalan takut-takut menaiki tangga depan, seorang anak yang sangat kecil dan kotor, pakaiannya compang-camping, tidak bersepatu, dengan sebuah kotak sepatu kotor yang terikat pada tali kulit tergantung di bahunya. Ia terlihat sangat kecil -- hanya sedikit lebih besar dari anak saya yang berusia 5 tahun. Ia berusaha menggapai bel pintu. Saya memerhatikan saat pembantu saya yang berkewarganegaraan Honduras dan bertubuh besar membukakan pintu.

"Si?" (Ada apa?) ia bertanya.

"Zapatos?" (Sepatu) anak itu berbisik.

"No!" (Tidak!) jawab pembantu saya.

Ada sesuatu tentang wajah cokelat anak tersebut yang menuruni tangga teras rumah dan pandangan tajam pembantu saya yang mengusik naluri keibuan saya.

"Tunggu, Elena," saya memotong. "Saya memiliki beberapa sepatu yang perlu disemir."

Mengapa anak ini? Pikir saya saat memilih sepatu-sepatu yang akan disemir. Apa yang mendorong saya menerima anak kecil ini, yang sangat mirip dengan ratusan pengemis anak-anak lain yang mengetuk pintu rumah saya setahun sejak keluarga kami pindah ke Honduras? Mengapa sikap tidak terlalu peduli yang selama ini saya tanamkan untuk dapat bertahan secara emosional di negara miskin ini tiba-tiba hancur oleh seorang anak yang mencari pekerjaan? Itu dia! Ia tidak meminta-minta. Sekali pun ia mungkin tidak jauh berbeda dengan anak-anak jalanan lainnya. Ia meminta pekerjaan -- bukan pemberian.

Saya tidak bisa berhenti membandingkan anak tersebut dengan Brian, anak kami yang sehat dan terawat dengan baik. Memikirkan sekiranya anak saya sendiri yang berada dalam posisi menyedihkan sehingga harus hidup di jalan adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti oleh pemikiran orang Amerika kelas menengah ke atas seperti saya. Saya tidak dapat menerima pemikiran tersebut. Mungkin lebih mudah membayangkan Brian dalam sebuah permainan drama anak-anak, dengan kotak semir sepatu yang ia bawa, kemudian dengan senang hati ia menawarkan apakah ada tetangga yang ingin disemir sepatunya dengan bayaran murah. Tetapi, sulit bagi saya untuk membayangkan jika Brian harus melakukan semua itu demi memperoleh makanan setiap harinya -- dan mungkin ia akan kelaparan jika tidak melakukannya. Pikiran tersebut begitu memilukan sehingga saya mengumpulkan semua sepatu yang sudah tidak terpakai.

Dalam bulan-bulan berikutnya Antonio menjadi pengunjung mingguan rumah kami. Ia menyemir setiap sepatu dengan teliti, menggunakan jarinya untuk mengambil semir dari kalengnya. Saya tidak pernah melihat semir sepatu yang dijual dalam wadah sekecil itu, dan saya menyadari bahwa Antonio pasti membeli perlengkapannya dari pendapatannya yang sangat sedikit.

Brian menyukai Antonio dan lebih berhasil dari anggota keluarga yang lain untuk membuat Antonio merasa nyaman dan tersenyum, sekali pun Brian tidak pernah bisa mengalihkan perhatian Antonio saat sedang bekerja.

Elena, yang senantiasa baik, selalu membawakan sepiring besar nasi, kacang-kacangan, tortila, dan sisa lauk. Elena kerap berbincang-bincang dengan Antonio saat makan. Elena pun akhirnya tahu bahwa sekali pun tubuh Antonio tidak lebih besar dari Brian, tetapi sebenarnya ia telah berusia 11 tahun, anak sulung dari 5 bersaudara, tidak memiliki ayah, dan tinggal dengan ibu yang cacat. Ia adalah tulang punggung keluarganya. Saya hampir tidak dapat percaya bahwa anak kecil ini hanya setahun lebih muda dari anak kami yang lain, Bruce, yang terlihat jauh lebih dewasa dan kuat.

Ketika bulan Desember tiba, kami sekeluarga, termasuk Elena, mendiskusikan apa yang akan kami berikan kepada Antonio sebagai hadiah Natal. Ini bukanlah hal yang sulit, karena sedikit sekali yang ia miliki. Namun, kami ingin memberikan sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan sangat ia sukai. Ternyata, ini merupakan keputusan sulit, karena selama beberapa bulan ia bekerja bagi kami, Antonio tidak pernah menyinggung tentang sesuatu yang ia inginkan. Kami memutuskan Elena yang akan menjadi detektif dan mencoba mencari tahu keinginan Antonio yang terdalam. Bruce dan Brian yakin Antonio pasti menginginkan mainan atau permen, tetapi Elena melaporkan bahwa impian Antonio adalah memiliki celana panjang baru.

"Ah, itu mudah," ujar Bruce. "Saya memiliki satu laci pakaian yang sudah tidak muat." Saya setuju dengan pendapatnya. Pakaian adalah pilihan saya sejak awal, dan kami akan memberikan beberapa pakaian bekas Bruce kepada Antonio. Tetapi, kami ingin memberikan sesuatu yang ekstra, sesuatu yang baru.

Kemudian, kebijaksanaan Elena muncul.

"Nyonya," katanya, "Jangan berikan mainan kepadanya. Ia adalah anak kecil yang sudah dewasa dan punya integritas. Berikanlah sesuatu yang dapat ia gunakan."

"Aku tahu, Ibu!" teriak Bruce. "Mari kita berikan perlengkapan menyemir yang baru kepadanya. Miliknya sekarang sudah sangat tua dan jelek."

Keputusan telah diambil. Sekarang kami harus merencanakannya. Kotak perlengkapan semir tersebut harus cukup besar sehingga bisa menampung kaleng-kaleng semir, ditambah sikat, kain, dan perlengkapan lain yang belum dimiliki Antonio. Kotak tersebut juga harus berwarna cerah dan menyenangkan. Elena kenal seorang tukang kayu yang dapat membuat kotak seperti itu bagi kami.

Minggu itu penuh dengan sukacita. Kami semua melibatkan diri dengan senang hati. Ketika sang tukang kayu memperlihatkan kotak yang belum dicat, kami sangat bersemangat untuk mengecatnya dan memburu semua perlengkapan yang akan dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Kami memilih kaleng semprot cat warna hijau, dan kaleng-kaleng semir terbesar dalam berbagai warna. Itu adalah salah satu saat paling menyenangkan yang pernah saya alami, seluruh anggota keluarga bekerja sama untuk membahagiakan seseorang. Bahkan Brian pun turut ambil bagian. Setelah Bruce mengecat kotak tersebut, Brian menghabiskan waktu berjam-jam mengambil gambar-gambar burung dan bunga-bungaan untuk dipotong dan ditempelkan pada bagian luar kotak. Setelah semuanya selesai kami berdiri mengelilingi kotak tersebut sambil mengaguminya. Kami sangat yakin bahwa tidak akan pernah ada kotak perlengkapan menyemir yang lebih bagus dari yang kami buat.

"Ibu, ini hebat!" ucap Bruce sambil mengerutkan dahi. "Tetapi, bagaimana jika seseorang mencurinya?"

Saya bangga menyadari bahwa anak saya usia 12 tahun yang manja dan ada kalanya egois ternyata peduli pada nasib anak Honduras yang miskin. Saya dapat mengerti kekhawatirannya. Di tempat yang diliputi kemiskinan, anak kecil kerap diinjak-injak oleh anak yang lebih tua dan lebih besar. Kami harus menyiapkan rencana untuk melindungi Antonio.

Menggunakan cat hitam, kami menuliskan nama ANTONIO CRUZ pada kotak tersebut. Kami yakin label tersebut dapat menghalangi niat buruk pencuri-pencuri.

Saya tidak tahu bagaimana kami berhasil menyimpan rahasia tentang kotak perlengkapan semir tersebut sampai malam Natal tiba, tetapi kami berhasil. Pada tanggal 24 Desember, Bruce membersihkan semua sepatu di rumah sehingga tidak ada pekerjaan yang menanti Antonio. Ketika saya memberikan kepada Bruce upah sebesar yang biasa saya berikan kepada Antonio, ia meletakkannya dengan rapi di atas hadiah yang terbungkus rapi di bawah pohon Natal. Brian melompat-lompat ketika bel berbunyi. "Oh, semoga saja ia menyukainya," cetusnya.

Elena membuka pintu dan mempersilakan Antonio masuk. Ia berdiri, terdiam. Ia tidak pernah melangkahkan kakinya ke dalam rumah kami. Ia selalu bekerja di tangga depan rumah. Elena menuntunnya ke ruang keluarga tempat tumpukan hadiah-hadiah di bawah pohon Natal besar kami. Tiga orang memandanginya dengan senyuman lebar, tetapi ia masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Antonio," ucap saya. "San Nicolas (Sinterklas) datang lebih cepat dari biasanya dan meninggalkan beberapa hadiah untukmu." Saya membungkuk dan mengambil beberapa hadiah yang telah terbungkus. Kami membungkus setiap perlengkapan masing-masing karena kami ingat bahwa membuka hadiah adalah ritual yang menyenangkan.

Ia tertegun, berdiri dekat pintu, matanya terbuka lebar, tanpa senyuman. Ia terlihat ketakutan, bukan bahagia.

"Ayo buka! Ayo buka!" teriak Brian yang melihat Antonio tidak bergerak sama sekali. Dengan bantuan kami, akhirnya ia membuka paket berisi pakaian-pakaian secara perlahan. Ia berusaha untuk tidak merobek kertas kado yang digunakan, ia juga berusaha membungkusnya kembali. Ekspresinya tidak berubah. Saya mendorong hadiah-hadiah kecil lainnya kepadanya, membantu membukakan bungkusnya. Tetapi, sekali lagi, matanya tidak terlihat senang.

"Ini hadiah terbaik," teriak Bruce sambil mengambil kotak perlengkapan semir dan hampir melemparkannya kepada Antonio. Kami benar-benar terpana seperti maniak terhadap anak yang kecil dan pendiam itu. Kami mengelilinginya saat ia secara perlahan membuka hadiah tersebut. Tetapi, ia tetap tidak menunjukkan kebahagiaan.

"Ucapkan terima kasih, Antonio," potong Elena dengan gaya bicara sopannya yang khas.

"Gracias," bisik anak tersebut seraya bergerak kembali ke arah pintu.

Bruce memandang saya dengan pandangan bingung. Saya tahu benar apa yang ia rasakan karena saya pun merasakan kekecewaan yang sama. Apa yang salah?

Saya merasakan bahwa teman kecil kami akan tetap merasa kikuk jika kami membiarkannya terlalu lama. Akhirnya saya membantu ia mengumpulkan semua hadiahnya, menyerahkan uang Bruce ke tangannya, dan membukakan pintu agar ia dapat pergi. Elena pun kembali dari dapur bersama makan malam untuknya yang telah terbungkus alumunium foil, semua hidangan dengan porsi dua kali lipat dari biasanya.

Antonio hampir berlari menuruni tangga tanpa memandang ke belakang sekali pun. Ia benar-benar ingin pergi secepatnya.

Apa yang akan saya katakan kepada anak-anak? Pikir saya. Mereka telah berusaha sebaik-baiknya dan memberi dengan sangat ikhlas.

Di ruang keluarga saya memeluk kedua anak saya yang terlihat kecewa. "Bergembiralah!" ucap saya. "Saya yakin Antonio menyukai hadiah-hadiah yang kalian berikan. Hanya saja kita berharap bahwa ia akan terlihat bersemangat, seperti jika kita yang memperoleh hadiah-hadiah tersebut. Mungkin ia tidak dapat mengekspresikan kebahagiaannya seperti kita. Saya yakin bahwa di dalam hatinya ia merasa sangat senang, tetapi yang paling penting adalah kita semua merasa bahagia karena telah melakukan semua ini untuknya."

Tepat setelah saya berbicara, kami melihat sosok Antonio melalui kaca besar rumah kami. Ia duduk di trotoar di seberang jalan. Ia meletakkan semua hadiah yang ia terima di sampingnya. Ia mengambilnya satu per satu, menggoyangkannya, menimang-nimang, dan menciumnya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tidak dapat saya gambarkan. Sinar matahari Honduras yang panas bercahaya saat sinarnya terpantul pada air mata yang mengalir menuruni pipi Antonio.

"Feliz Navidad, Selamat Natal, anak-anak," ujar saya, sambil memeluk mereka, "dan untukmu juga, Antonio."

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku : Guideposts Bagi Jiwa: Kisah-kisah Iman Natal
Judul buku asli : Guideposts for The Spirit: Christmas Stories of Faith
Penulis : Betty R.Graham
Penerjemah : Mary N. Rondonuwu
Penerbit : Gospel Press Batam, 2006
Halaman : 59 -- 69

Komentar