Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Wanita Sebagai Pemimpin: Alkitabiahkah?

Di Alkitab ada beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan wanita dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus, "Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri." (1 Timotius 2:11-12). Kata "memerintah" pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan "memiliki otoritas atau kuasa", dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, "... perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat... Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah ...." (1 Korintus 14:34-35). Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius, Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.

Keberatan Terhadap Paulus

Gambar: menjadi terang

Mungkin ada sebagian dari Anda yang dengan mudah mengiyakan kesimpulan di atas, tetapi mungkin ada pula yang tidak setuju. Anda mungkin mengatakan bahwa Paulus adalah seorang Yahudi dan bukankah budaya Yahudi menempatkan wanita jauh di bawah pria? Dengan kata lain, Anda curiga bahwa Paulus menyampaikan sesuatu yang bukan berasal dari kehendak Tuhan, melainkan dari pengaruh budaya Yahudi belaka. Atau, mungkin ada di antara Anda yang menganggap bahwa perintah Paulus di sini merupakan perintah yang terikat oleh budaya setempat -- budaya Yunani di Korintus. Jadi, Anda berdalih perintah ini hanya berlaku untuk budaya tertentu dan masyarakat pada masa itu saja. Dengan kata lain, perintah atau prinsip ini tidak relevan dengan kehidupan kita di Indonesia saat ini.

Landasan Argumen Paulus

Landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama, Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: "Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus adalah Allah." (1 Korintus 11:3) Segala sesuatu yang berkaitan dengan Kristus dan Allah (Bapa) bersifat lintas budaya dan lintas waktu. Jadi, jika kita semua setuju bahwa kepala dari Kristus adalah Allah, kita mesti setuju dengan persamaan yang sebelumnya, yakni kepala dari laki-laki adalah Kristus dan kepala dari perempuan adalah laki-laki. Tidak mungkin kita menerima argumen bahwa kepala dari Kristus adalah Allah dan menolak persamaan bahwa kepala dari laki-laki adalah Kristus dan kepala dari perempuan adalah laki-laki. Semua berada dalam paket yang sama; menerima satu berarti menerima semuanya.

Kedua, Paulus menjelaskan makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu sendiri, yakni "... laki-laki ... menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki." (1 Korintus 11:7-8) Kita tahu bahwa manusia -- laki-laki maupun perempuan -- diciptakan menurut gambar Allah. (Kejadian 1:27) Kita tahu bahwa laki-laki adalah manusia yang pertama diciptakan Allah dan sesudah itu barulah perempuan, dengan cara mengambil rusuk dari laki-laki. (Kejadian 2:21-22) Menurut Paulus, urutan penciptaan ini memiliki makna tersendiri, yaitu laki-laki menyinarkan gambar dan kemuliaan Allah secara langsung karena ia yang pertama diciptakan Tuhan. Sedangkan, perempuan -- yang diciptakan dari laki-laki -- menyinarkan kemuliaan laki-laki dan sudah tentu kemuliaan Allah, kendati secara tidak langsung. Berbicara tentang penciptaan, sudah tentu kita membicarakan sesuatu yang bersifat lintas budaya dan lintas waktu, dan landasan inilah yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya.

Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya, yakni "Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa." (1 Timotius 2:13-14) Kita tahu bahwa laki-laki adalah manusia pertama yang Tuhan ciptakan, dan kita tahu bukan Adam yang pertama tergoda dan jatuh ke dalam dosa, melainkan Hawa. Bagi Paulus, fakta historis ini bukanlah tanpa makna. Sebaliknya, peristiwa ini justru menunjukkan urutan otoritas yang Tuhan tetapkan, yaitu laki-laki kemudian perempuan. Sekali lagi, Paulus tidak memakai argumen yang dibatasi oleh budaya dan waktu.

Dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah ketertiban -- terutama di dalam keluarga.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Kesimpulan dari semuanya ini adalah secara meyakinkan Paulus telah mengemukakan suatu prinsip hierarki otoritas yang bersifat lintas budaya dan lintas waktu, yakni laki-laki menempati anak tangga otoritas di atas perempuan. Sebagai konsekuensinya, perempuan tidak diperbolehkan memegang otoritas atas laki-laki. Jika kita dapat menyetujui kesimpulan ini, maka ada satu pertanyaan lain yang menggelitik untuk dijawab yakni, "Mengapakah Tuhan perlu menetapkan hierarki otoritas (dengan kata lain, mengapa tidak membiarkan manusia hidup sama rata saja), dan apa alasan-Nya sehingga pria menempati posisi otoritas di atas wanita (dengan kata lain, mengapa bukan perempuan yang menempati hierarki otoritas di atas laki-laki)?" Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan memberikan penjelasannya.

Otoritas: Perlukah?

Allah adalah Allah yang tertib, dan otoritas pria terhadap wanita haruslah dilihat dari bingkai ketertiban. Firman Tuhan berkata, "Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera ... Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur." (1 Korintus 14:33, 40) Allah tidak pernah menentang otoritas, sebaliknya Allah mendukung adanya otoritas. Fakta dalam kehidupan menunjukkan bahwa kepemimpinan (otoritas) adalah suatu kemutlakan; tanpa kepemimpinan kita akan menuai kekacauan. Itu sebabnya dari awal pemerintahan Tuhan atas umat manusia, Ia telah menetapkan hierarki otoritas. Tuhan menempati posisi teratas dan di bawah-Nya adalah para hamba-Nya seperti Musa, para hakim, imam, dan raja. Pada masa Perjanjian Baru, Allah menempati posisi teratas sebagai kepala gereja, dan di bawahnya terdapat para tua-tua dan gembala yang memunyai otoritas atas umat Tuhan.

Tujuan otoritas dalam relasi antarmanusia adalah ketertiban, berbeda dengan tujuan otoritas dalam relasi antara Tuhan dan manusia yang adalah penyembahan. Sayangnya, sekarang ini tujuan ketertiban itu telah diselewengkan menjadi kekuasaan. Manusia berlomba-lomba mencari otoritas agar dapat mengembangkan sayap kekuasaannya. Namun, pada mulanya bukan itu tujuan Allah memperkenalkan sistem otoritas ke dalam hidup ini. Sebagai pencipta, Allah mengetahui bahwa dengan akal budi dan kebebasannya untuk memilih, manusia berpotensi besar terlibat dalam pertikaian dan adu kuasa. Tanpa otoritas yang mengaturnya, manusia akan hidup dalam kekacauan dan akhirnya kehancuran. Itulah sebabnya, harus ada hierarki otoritas di segala lini kehidupan; harus ada atasan dan bawahan; untuk setiap atasan masih ada yang lebih atas, dan untuk setiap bawahan masih ada yang lebih bawah. Kesamarataan tanpa batas hanyalah akan memunculkan anarki; semua merasa berhak untuk didengarkan dan dituruti kehendaknya.

Otoritas Laki-Laki Atas Perempuan

Otoritas laki-laki atas perempuan harus dilihat dari konteks keluarga, yang adalah unit organisasi terkecil dalam masyarakat, dan kita tahu bahwa segala bentuk organisasi memerlukan sistem otoritas yang jelas. Saya kira inilah kuncinya. Kita harus menyadari bahwa otoritas laki-laki atas perempuan dalam konteks kehidupan yang lain -- dalam hal ini gereja -- sebenarnya adalah untuk mendukung sistem otoritas dalam keluarga. Dalam 1 Korintus 14:33-35, Paulus meminta perempuan untuk berdiam diri dalam pertemuan jemaat dan jika ada yang ingin mereka ketahui, mereka harus menanyakannya kepada suami mereka di rumah -- konteks keluarga. Dalam 1 Timotius 2:8-15, Paulus memerintahkan perempuan untuk tidak mengajar dan memerintah atas laki-laki seraya menambahkan "perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak ... " (ayat 15), yang dapat pula diartikan menerima perannya sebagai ibu -- sekali lagi, konteks keluarga.

Dalam Efesus 5:22-33, Paulus menjabarkan teologi keluarga dan dalam penguraiannya, ia menekankan sistem otoritas yang sama, yakni ketundukan istri terhadap kepemimpinan suami. Sistem otoritas di gereja haruslah mendukung dan sepadan dengan sistem otoritas di dalam keluarga -- keduanya tidak boleh dan tidak seharusnya bertabrakan. Bayangkan apa yang akan terjadi bila sistem otoritas di gereja berkebalikan dengan sistem otoritas di rumah: kekacauan! Gereja kacau, keluarga pun kacau.

Gambar: Alkitab

Seharusnya gereja merupakan kepanjangan dari kehidupan di dalam keluarga, dan sebaliknya keluarga merupakan kepanjangan dari kehidupan di dalam gereja. Penempatan perempuan dalam hierarki otoritas yang lebih tinggi daripada laki-laki di gereja akan merancukan posisinya -- dan posisi suaminya -- di dalam keluarga. Saya kira ini adalah sesuatu yang dicoba untuk dihindarkan oleh Paulus. Peran ganda yang berlainan strata otoritas (sebagai istri di rumah namun pemimpin di gereja) akan menaburkan benih ketidaktundukan istri kepada suami di keluarga. Jadi, berdasarkan catatan firman Tuhan ini, laki-laki ditetapkan Tuhan untuk menjadi pemegang otoritas atas wanita dan bukan sebaliknya.

Sungguh pun demikian, di dalam Alkitab tercatat beberapa tokoh pemimpin yang adalah perempuan. Misalnya, Miryam, kakak Musa, disebut sebagai nabiah (Keluaran 15:20) dan terlihat jelas bahwa ia pun memegang peran kepemimpinan di samping Harun dan Musa. Juga Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).

Apa yang harus kita simpulkan dari kenyataan di atas, yang seakan-akan bertentangan dengan prinsip kepemimpinan laki-laki atas perempuan? Saya kira jawabannya adalah bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya -- ketertiban -- bukan sarananya -- otoritas laki-laki atas perempuan. Tuhan memilih Debora karena Barak tidak berani maju melawan Sisera, dan yang diperlukan saat itu adalah ketertiban dan kesejahteraan di Israel. Kendati Miryam menempati posisi penting dalam pemerintahan Musa, namun peranan Miryam tidak mengganggu ketertiban, malah menambah kuatnya kepemimpinan Musa (kecuali pada satu insiden di mana ia menggugat kepemimpinan Musa, Bilangan 12). Para wanita yang terlibat dalam pelayanan Tuhan Yesus sebagai penyandang dana juga menambah ketertiban dan kesejahteraan hidup para murid. Dengan kata lain, yang terpenting adalah jiwa atau roh dari perintah Tuhan, bukan hurufnya.

Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Misalkan, Tuhan tidak pernah memerinci bahwa hanya laki-laki yang mendapat karunia sebagai pemimpin atau gembala. Salah satu contoh konkret adalah keterlibatan Priskila bersama suaminya Akwila dalam pelayanan, yang bukan secara kebetulan, namanya selalu ditulis mendahului nama suaminya -- sesuatu yang secara budaya memperlihatkan bahwa peran Priskila lebih besar dibanding suaminya (Kisah Para Rasul 18:26). Contoh lain adalah Filipus, seorang pemberita Injil, yang memunyai empat anak dara yang "beroleh karunia untuk bernubuat" (Kisah Para Rasul 21:9).

Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, "Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah." (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah ketertiban -- terutama di dalam keluarga.

Kesimpulan

Berdasarkan pengamatan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kita ambil:

Tuhan menyetujui dan menggunakan sistem otoritas, baik dalam relasi-Nya dengan manusia maupun dalam hubungan antarmanusia.

Tujuan sistem otoritas dalam relasi Tuhan dan manusia adalah penyembahan, sedangkan tujuan otoritas dalam relasi antarmanusia adalah ketertiban.

Tuhan menetapkan laki-laki sebagai figur otoritas dalam keluarga, mengepalai istri dan anak-anaknya. Namun, baik laki-laki maupun perempuan adalah setara di hadapan Tuhan. Sistem otoritas dalam relasi antarmanusia tidak identik dengan superioritas.

Tujuan sistem otoritas dalam keluarga adalah ketertiban -- bukan kekuasaan. Dengan kata lain, laki-laki diharapkan berfungsi sebagai pencipta dan penjaga ketertiban dalam keluarga.

Sistem otoritas di gereja seyogianya mendukung sistem otoritas di dalam keluarga. Ketidaksepadanan akan menimbulkan kerancuan peran dan melemahkan sistem otoritas dalam keluarga.

Pengecualian yang dicatat dalam Alkitab menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya -- ketertiban -- bukan caranya -- otoritas laki-laki atas perempuan.

Diambil dari:
Judul majalah : Eunike, 2004
Judul artikel : Wanita sebagai Pemimpin: Alkitabiahkah
Penulis : Pdt. Paul Gunadi Ph.D.
Penerbit : Yayasan Eunike, 2004
Halaman : 14 -- 19

Download Audio

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar