Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Aborsi: Masalah Etis-Rohani 2
Dampak Psikologis pada Pelaku Aborsi
Dampak psikologis pada pelaku aborsi (wanita yang mengandung) bervariasi, baik dalam jenis maupun intensitasnya. Sudah tentu akan ada sebagian pelaku yang akan berkata bahwa aborsi tidak memberi dampak negatif sedikit pun, malah aborsi memberikan rasa lega karena bebas dari masalah. Saya tidak menyangkali akan adanya reaksi seperti itu, sebab bagaimana pun peranan hati nurani sangatlah besar dalam hal dampak psikologis ini. Jika kita tidak memedulikan (membukakan mata terhadap) jeritan hati nurani, maka kita pun akan mampu membenarkan segala tindakan kita. Namun yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah, ada atau tidaknya dampak psikologis tidaklah relevan. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa jenis dampak psikologis yang mungkin dialami oleh pelaku aborsi.
Rasa Bersalah
Perasaan bersalah karena telah menghilangkan nyawa atau kehidupan seseorang sering kali muncul setelah aborsi. Tanpa ragu pemazmur menyebut statusnya dalam kandungan sebagai bakal anak, "mata-Mu melihat selagi bakal anak ..." (Mazmur 139:16). Alkitab terjemahan New International Version (NIV) menggunakan istilah "my unformed body" sedangkan The Defender's Study Bible menjelaskan bahwa makna dalam bahasa Ibraninya berarti embrio (janin atau bakal anak). Setiap wanita yang hamil akan merasakan bahwa yang hadir di dalam tubuhnya bukanlah sekadar gumpalan daging. Segumpal daging sampai kapan pun tidak akan bermetamorfosis menjadi manusia, sedangkan janin yang hidup akan bertumbuh kembang menjadi manusia. Meski belum bertumbuh lengkap, seorang bayi tetap seorang manusia dan pengetahuan naluriah ini tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Itulah sebabnya, salah satu respons emosional setelah aborsi ialah rasa bersalah.
Rasa bersalah pascaaborsi merupakan rasa bersalah ganda. Pelaku aborsi sudah menyadari bahwa aborsi adalah tindakan yang salah namun dengan penuh kesadaran ia menjalaninya. Jauh lebih mudah bagi kita untuk mengampuni diri karena kesalahan yang kita perbuat dalam ketidaktahuan. Namun dalam kasus aborsi, pelakunya sudah tahu salah tetapi terus memilih untuk melaksanakannya. Ini yang saya maksud dengan rasa bersalah ganda. Masalahnya adalah rasa bersalah ganda menyulitkan pelaku aborsi mengampuni diri sehingga pada akhirnya rasa bersalah ini terus menggenangi hati pelaku aborsi. Dan, untuk mengatasi rasa bersalah ini pelaku aborsi cenderung berupaya melupakan perbuatannya ini.
Rasa Malu
Rasa bersalah muncul karena pelaku aborsi tahu bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang salah. Rasa malu timbul karena pelaku aborsi tahu bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang tak terpuji. Sekali lagi, rasa malu yang dialaminya merupakan rasa malu ganda pula. Pelaku aborsi malu bukan saja karena ia telah melakukan aborsi, ia pun malu karena telah berhubungan seks di luar pernikahan (setidak-tidaknya ini adalah salah satu penyebab aborsi yang paling umum). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada pelaku aborsi yang dengan mudah mengakui perbuatannya, sekalipun ia tidak memandang aborsi dari sudut etis-rohani. Ia cenderung menyimpan perbuatannya itu karena ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya bukanlah suatu tindakan terpuji.
Rasa malu karena telah mengerjakan sesuatu tidak terpuji berpotensi memengaruhi konsep diri kita. Dengan terpaksa pelaku aborsi harus mengikutsertakan data tambahan yang tidak terpuji ini ke dalam gambaran atau konsep tentang siapa dirinya. Mungkin sekali ia mulai memandang dirinya tidak sebaik atau sepositif dulu. Perubahan konsep diri sudah tentu berimbas pada perilakunya pula. Pelaku aborsi bisa mulai merasa tidak layak diterima oleh yang lain atau merasa tidak sepatutnya mendapatkan perhatian dari "pemuda yang baik-baik".
Pelaku aborsi dapat pula mengembangkan perilaku menutup diri demi menjaga kelestarian rahasia yang memalukan dirinya itu. Ia merasa bahwa sekarang ia telah cacat tanpa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Tidak ada yang dapat diperbuatnya untuk menghilangkan noda dalam hidupnya itu. Ia hanya bisa menunduk sedih dan malu.
Rasa Tercemar
Pada umumnya wanita lebih peka dengan kesakralan tubuhnya dibanding pria. Itulah sebabnya, konsep pencemaran lebih sering dikenakan pada wanita daripada pria. Aborsi dapat membuahkan perasaan tercemar pada pelakunya oleh karena pelbagai sebab. Dalam kasus hubungan seks pranikah, pelaku aborsi datang ke klinik aborsi dengan perasaan tercemar karena hubungan seks pranikahnya itu. Aborsi itu sendiri memberi dampak pencemaran karena prosedurnya yang "intrusif". Dalam klinik yang tidak profesional, perawat pria turut terlibat dalam prosedur aborsi yang membuat pelaku aborsi terpaksa mengekspos diri di depan para pria asing ini. Prosedur aborsi yang melibatkan pemasukan alat ke dalam bagian tubuh yang paling pribadi ini juga menelurkan rasa tercemar.
Perasaan tercemar juga timbul karena pelaku aborsi mengetahui bahwa sesuatu yang tidak suci sedang dilakukan pada tubuhnya. Penghilangan hidup bukanlah tindakan kudus dan hal ini disadari oleh pelaku aborsi sendiri. Itulah sebabnya, aborsi dapat memunculkan perasaan tercemar pada pelakunya. Ia tidak merasa suci bukan saja karena ia telah melakukan sesuatu yang tidak suci yang akhirnya membuahkan bayi dalam rahimnya. Ia merasa tercemar karena ia membiarkan tindakan yang tidak suci (aborsi) dilakukan pada dirinya.
Rasa Marah
Penyesalan dan kemarahan biasanya berjalan berdampingan. Pelaku aborsi memang akan merasa lega karena lepas dari permasalahan yang mengikatnya. Namun kelegaan ini tidak berjalan dengan mulus sebab penyesalan pun mulai merangkak masuk. Penyesalan muncul karena pelaku aborsi menyayangkan mengapa pada akhirnya ia harus mengalami suatu peristiwa yang begitu tidak mengenakkan. Ia juga menyesali mengapa ia tidak lebih tegas terhadap keinginan kekasihnya dan keinginannya sendiri. Penyesalan mengemuka ke atas sewaktu pelaku aborsi menengok ke belakang dan melihat kehidupannya yang salah arah yang akhirnya berakibat serius.
Kemarahan adalah reaksi yang sering muncul setelah penyesalan. Kemarahan ini berobjek ganda: pertama, marah terhadap pria yang berhubungan dengannya, dan kedua, marah terhadap dirinya sendiri. Kemarahan terhadap pria itu bisa timbul karena banyak faktor. Ia mungkin marah karena pada dasarnya ia tidak terlalu butuh dan ingin berhubungan seks dengannya. Ia mungkin melakukannya karena hendak menyenangkan hati kekasihnya atau karena tidak ingin mengecewakan pacarnya itu. Ia bisa pula marah karena merasa bahwa pada akhirnya, ia hanyalah alat pemuas nafsu pria dan sekarang terpaksa menanggung sesuatu yang sebenarnya bukan akibat kesalahannya.
Dalam kasus seorang kekasih yang menolak untuk terlibat atau bertanggung jawab, kemarahan pelaku aborsi sudah tentu akan berlipat ganda. Ia benar-benar merasa dicampakkan, seperti peribahasa "habis manis sepah dibuang". Kemarahan pada dirinya berwujud dalam sesalan-sesalan seperti, "Betapa bodohnya aku", "Mengapa aku tidak bisa menjaga diriku", "Mengapa aku bisa berbuat sejauh itu", atau "Betapa teganya aku menghilangkan kehidupan anakku sendiri". Aborsi dapat membuat pelakunya membenci diri; ia memarahi diri yang "telah berbuat sekejam itu", yang "tidak bertanggung jawab", yang "tidak layak mendapat pengampunan Tuhan", dan yang "munafik". Dicampur dengan penyesalan dan rasa bersalah, pelaku aborsi dapat mengalami penderitaan batin yang sangat berat.
Rasa Kecewa
Pelaku aborsi juga bisa mengalami rasa kecewa yang dalam. Kecewa bahwa ia harus mengambil tindakan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kecewa karena apa yang selalu didengarnya terjadi pada orang lain sekarang malah menimpanya. Kecewa karena ia tidak sanggup memikirkan alternatif penyelesaian yang lain dan terpaksa mengambil jalan pintas yang ia sadari salah. Kecewa karena sesungguhnya ia tahu bahwa masih ada pilihan lain yang dapat diambilnya namun tidak sanggup dilakukannya yakni memelihara bayi dalam kandungannya.
Kekecewaannya yang mendalam ini dapat membuatnya kecewa terhadap hidup dan mungkin bisa membawanya ke krisis rohani. Hidup tidak seindah yang ia bayangkan dan harapkan sebelumnya; ia merasa kecewa karena pada akhirnya ia menjadi bagian dari noda kehidupan dan kecacatan dunia. Ia mungkin kecewa terhadap "pemeliharaan Tuhan" dan mempertanyakan mengapa Tuhan tidak mencegahnya melakukan hubungan seks. Ia mulai bertanya mengapa Tuhan membiarkannya terjerumus begitu dalam.
Di dalam kekecewaannya ia mungkin merasa terisolasi dari lingkungannya, hidupnya, dan juga Tuhan. Ia merasa bahwa kini ia telah menjadi seseorang yang berbeda; perasaan "Aku tidak seperti yang dulu lagi" melekat dengan kuat pada batinnya. Ia merasa orang lain tidak lagi dapat memahami pergumulannya, hidup ini tidak adil, dan Tuhan telah menjauhkan diri darinya. Ia merasa kesendirian yang dalam dan meski tampil sama seperti biasanya, hatinya hampa dan sunyi. Ia merasa kecewa.
Seks Tanpa Garis Rohani = Sub-Manusia
Kemuliaan kodrat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tertinggi terletak pada kapasitas rohaninya. Kapasitas rohani ini memungkinkan manusia memberi respons kepada inisiatif Tuhan dan pada akhirnya mengenal hati Tuhan. Sebaliknya, sebagai makhluk rohani manusia pun tunduk pada hukum rohani yang Tuhan tetapkan. Itulah sebabnya, istilah dosa dilekatkan pada perbuatan manusia saja, tidak pada ciptaan lainnya. (Ciptaan lain memang terkena dampak dosa namun tidak berbuat dosa.)
Berbeda dengan "berkeringat" yang merupakan fungsi biologis belaka dan tidak tunduk pada garis rohani, seks adalah fungsi biologis yang diatur oleh perintah Allah. Dengan kata lain, seks bersifat biologis sekaligus rohani karena berhubungan langsung dengan batas moral yang ditetapkan Allah. Jadi, seks di antara manusia berkaitan erat dengan keunikan manusia sebagai ciptaannya yang tertinggi karena seks adalah salah satu fungsi biologi yang tunduk pada hukum Allah. Perilaku seksual manusia merupakan ciri pengenal manusia sebagai manusia. Berkeringat, yang tidak tunduk pada perintah Allah, bukanlah tanda pengenal manusia sebagai manusia. Keunikan manusia tidak terletak pada keringatnya, tetapi pada perilaku seksualnya.
Seks yang dilakukan di luar pernikahan melanggar perintah Allah dan tatkala kita melewati batas rohani ini demi menuruti keinginan pribadi, secara tidak langsung kita pun telah menjadikan seks sekadar kegiatan biologis dan ekspresi emosional belaka yang hampa muatan rohani. Pada saat itulah sebetulnya kita telah menurunkan kodrat kemuliaan kita sebagai manusia dan membuat kita merosot ke dasar sub-manusia. Pada titik itulah sekali lagi kita diingatkan bahwa memang kita telah kehilangan kemuliaan Allah.
Dosa dapat didefinisikan secara bebas sebagai kegagalan manusia menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi manusia yang rohani. Seks pranikah merupakan kegagalan manusia menjadi manusia seperti yang diinginkan Allah. Tuhan membenci seks di luar nikah karena Tuhan tidak mau manusia ciptaan-Nya berubah wujud menjadi sub-manusia.
Seks Tanpa Garis Sosial = Nafsu
Tuhan menempatkan seks dalam naungan pernikahan supaya seks mendapatkan pengakuan sosial yang resmi. Seks pranikah merupakan pelanggaran batas sosial karena seks pranikah dilakukan tanpa tanggung jawab sosial. Seks pranikah adalah seks yang bermuatan nafsu (hasrat) pribadi yang tidak lagi menghiraukan "norma" sosial.
Seks tidak pernah dimaksudkan menjadi pemuasan nafsu pribadi belaka. Seks adalah berbagi tanggung jawab dan dengan penuh tanggung jawab kedua insan siap pula menyambut buah keintiman seksual itu, yakni anak manusia. Tanpa tanggung jawab sosial, manusia berhenti menjadi manusia sebagaimana Tuhan kehendaki dan berubah menjadi onggokan nafsu.
Seks Tanpa Garis Yuridis = Anarki
Di dalam pagar pernikahan, seks menerima perlindungan yuridisnya (hukum) secara maksimum. Di luar pernikahan, seks merupakan perbuatan anarkis alias sekehendak hati yang diatur oleh nafsu atau hasrat pribadi yang pada akhirnya melahirkan kekacauan. Tanpa kehadiran garis yuridis sebagai titik acuan, seks berjalan tanpa arah dan tanpa kepastian. Tanggung jawab terhadap pihak yang satunya menjadi samar karena pada dasarnya seks menjadi bagian dari kesenangan pribadi saja.
Tuhan menempatkan seks dalam garis yuridis karena bagi Tuhan, seks mengandung tanggung jawab yang penuh terhadap pihak yang satunya. Tanpa tanggung jawab penuh kepada pasangan kita, seks seolah berubah menjadi sekadar hiburan malam di televisi boleh ditonton terus, boleh dimatikan.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul asli buku | : | Seri Psikologi Praktis: Aborsi: Masalah Etis-Rohani |
Judul asli artikel | : | Aborsi: Masalah Etis-Rohani |
Penulis | : | Pdt. Paul Gunadi Ph.D |
Penerbit | : | Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2001 |
Halaman | : | 8 -- 17 |
"Ratusan Karunia Tanpa Kasih Adalah Sia-Sia. Jangan Gunakan Karunia Allah Untuk Membangun Menara Babel."
Komentar