Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Suami-Istri Bekerja
Keikutsertaan istri bekerja sudah lama dikenal di Indonesia. Banyak istri berkarya dan berwiraswasta di rumah. Mereka membuat dan menjual aneka makanan, camilan, minuman, kerajinan tangan, menjahit, peternakan, pertanian, perkebunan, membuka salon, ruko, menjadi guru les, praktik kebidanan atau kesehatan di rumah, dll.. Dengan memilih berkarya di rumah, diharapkan istri, selain bekerja dapat sekaligus mengurusi, mengawasi anak, serta urusan rumah tangga yang tidak ada habisnya.
Seiring dengan kemajuan zaman, saat ini kita banyak menjumpai wanita yang mengenyam pendidikan tinggi. Akibatnya, lebih banyak wanita -- istri yang bekerja di luar rumah, seperti bekerja di berbagai instansi, kantor, sekolah, perusahaan, toko, rumah sakit, dll.. Keluarga yang suami istri sama-sama bekerja, membutuhkan banyak penyesuaian.
Sampai saat ini, mayoritas suami mengharapkan istri bertanggung jawab atas urusan rumah tangga dan anak-anak, baik istri yang bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Suami menganggap dirinya harus mengembangkan karier dan mencukupi kebutuhan rumah tangga, sehingga hampir semua waktunya, dicurahkan untuk pengembangan karier dan mencari uang. Tidak jarang, suami tidak ada waktu lagi untuk istri dan anak, apalagi urusan rumah tangga. Sebab itu, bila istri bekerja, baik penuh waktu atau paruh waktu, istri tetap diharapkan mengerjakan tanggung jawab rumah tangga, memerhatikan anak dan suami. Dengan kata lain, bila istri bekerja, dia harus siap mengerjakan dua macam pekerjaan -- satu pekerjaan yang sesuai dengan profesinya, satu lagi pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Maka, banyak istri kelelahan, merasa bersalah bila rumah tangga dan anaknya tidak terurus.
Sebagai contoh: suami Ida menyetujui, bahkan mendorong Ida bekerja di luar rumah. Tetapi sebelum Ida pergi bekerja, ia harus membereskan semua tugas rumah tangga, termasuk menyiapkan anak ke sekolah. Sore hari sepulang kerja, Ida ingin istirahat. Tetapi keinginan itu dengan cepat disingkirkan, karena segudang tugas rumah tangga menantinya, belum lagi kedua anaknya perlu dibantu dalam menyelesaikan tugas sekolah mereka. Sementara itu, suaminya hanya duduk membaca surat kabar, makan, menonton televisi, lalu tidur. Sewaktu Ida minta uluran tangan suami untuk meringankan beban rumah tangga, suaminya hanya mengatakan bahwa itu tanggung jawab istri, karena suaminya beranggapan tugasnya adalah memberi nafkah keluarga. Selain itu, suaminya sedang dekat dengan seorang karyawati di kantornya dan mereka sering pergi bersama. Waktu hubungan gelapnya ketahuan oleh Ida, suaminya menjawab dengan enteng, "Di rumah saya kurang diperhatikan oleh kamu. Setiap malam kamu selalu kelelahan." Perbuatan dan sikap suami mengeruhkan suasana.
Tentunya, dengan suami-istri sama-sama bekerja, harapan untuk memperoleh penghasilan yang lebih demi mencukupi kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi. Tetapi, ada suami melarang istrinya bekerja karena ia merasa dirinya dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dia merasa malu terhadap orang tua dan teman-teman -- "Aku dianggap laki-laki macam apa, kalau sampai istri harus ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga." Selain itu, alasan suami melarang istri bekerja karena khawatir istrinya terpikat dengan orang lain. Sebenarnya, baik istri berkarier di luar rumah ataupun seharian tinggal di rumah dapat menyeleweng. Suami-istri perlu saling memercayai dan dipercayai. Tanpa rasa percaya, suami-istri akan mengalami masalah pernikahan.
Ada istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi ada juga istri bekerja untuk menemukan jati dirinya. Dia bukan sekadar Nyonya Tomi, Bu Anwar, atau mamanya Anton. Dia seorang makhluk ciptaan Tuhan yang mampu berkarya, mengembangkan diri, dan ingin menyumbangkan sesuatu bagi Tuhan, masyarakat, dan keluarga. Dengan kata lain, istri juga memunyai kebutuhan untuk merasa berguna dan dibutuhkan, selain sebagai ibu rumah tangga. Tugas sebagai ibu rumah tangga adalah tugas yang mulia. Tetapi istri yang kehidupannya hanya berkisar pada suami, anak, dan urusan rumah tangga, sering kali cepat menjadi bosan. Komunikasinya hanya sekitar anak dan rumah tangga. Ada istri yang tidak puas dengan diri sendiri, lalu menjadi pengomel -- suami dan anak-anak menjadi sasaran.
Ada istri yang mengalami stres, karena seharian hidupnya hanya sekitar urusan anak dan rumah tangga. Ia juga akan ketinggalan jauh dari suaminya. Pengetahuan dan pengalaman suaminya bertambah, sementara istri terkurung di sangkarnya. Suami yang bijaksana akan mengetahui kebutuhan istri untuk berkarya, mengembangkan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya semaksimal mungkin. Banyak suami didukung oleh istri supaya hidupnya lebih berhasil dan kariernya menanjak, tetapi berapa banyak suami yang mendukung istrinya? Berapa banyak suami yang bersikap kurang baik kepada istrinya, "Mau bekerja, silakan! Tetapi tanggung sendiri segala akibatnya!"
Kalau suami-istri sepakat untuk sama-sama bekerja, harus ada kesepakatan pengaturan keuangan, pembagian tugas rumah tangga, pengasuhan anak, pembagian waktu yang bijaksana, supaya masih ada waktu untuk pasangan, anak, dan sebagainya. Sungguh tidak realistis kalau istri harus menanggung semuanya sendirian, sedang suami hanya berkonsentrasi pada pekerjaan dan tidak mau diganggu urusan lainnya. Suami perlu membantu dalam pengasuhan anak. Ini selain meringankan beban istri, juga memenuhi panggilan Tuhan kepada orang tua untuk mendidik anak. Kebutuhan batin ayah dan anak juga dapat terpenuhi. Suami dapat ikut merasakan suka dukanya mengasuh anak. Selain itu, hubungan ayah dan anak dapat dipererat. Anak berkembang dengan lebih baik kalau memperoleh kasih sayang dan perhatian ayah.
Pengasuhan anak sewaktu mereka masih kecil, sedapat mungkin dilakukan oleh orang tua sendiri. Pembagian waktu antara karier dan urusan rumah tangga, mungkin dapat diatur dengan suami bekerja penuh waktu, sedangkan istri bekerja paruh waktu, supaya istri ada waktu dan tenaga untuk keluarga dan anak. Istri dapat juga menunda bekerja sampai anaknya agak besar, walau tentunya pengorbanan bagi istri dan mengurangi pendapatan keluarga. Dapat juga diatur sedemikian rupa, setelah memunyai anak, istri memilih pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah. Atau suami-istri sama-sama bekerja penuh waktu, selama bekerja anak diasuh oleh nenek, bibi, atau anggota keluarga lainnya. Keadaan yang kurang menguntungkan anak ialah bila anak diasuh perawat, pembantu, atau dititipkan di Tempat Penitipan Anak.
Suami-istri perlu tahu apakah nenek, bibi, atau keluarga dekat lainnya itu sungguh-sungguh mau merawat anak Anda atau dikerjakan karena terpaksa. Anak Andalah yang akan menderita bila dia dirawat oleh orang yang sebenarnya tidak ingin merawatnya. Sangat disayangkan kalau anak semata-mata diasuh oleh perawat atau asisten rumah tangga, baik di rumah sendiri atau di Tempat Penitipan Anak. Anak dapat merasa ditelantarkan. Memang dengan suami-istri bekerja, orang tua lebih mampu membeli bermacam-macam barang untuk anak. Tetapi, yang lebih dibutuhkan anak adalah kasih sayang dan perhatian orang tua, bukan sekadar barang yang fana. Suami-istri perlu bekerja sama menyediakan waktu bagi anak.
Jika suami-istri bekerja, urusan rumah tangga sebaiknya tidak menjadi tanggung jawab istri melulu, tetapi semua anggota keluarga. Bersyukurlah bila keluarga Anda dibantu oleh seorang asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah, belanja dan memasak, mencuci dan menyetrika pakaian, dll.. Tetapi kalau tidak ada asisten rumah tangga, sebaiknya suami dan anak ikut meringankan beban istri, sehingga keluarga Anda dapat lebih bahagia. Kalau urusan rumah tangga dan anak-anak ditanggung bersama, istri akan memunyai lebih banyak waktu untuk suami dan keluarga, dan tidak kelelahan. Dengan demikian, keluarga Anda memunyai waktu bersama-sama dan dapat saling memerhatikan.
Keluarga yang sibuk, sebaiknya membuat janji untuk merencanakan waktu untuk bersama -- berlibur bersama, bepergian bersama. Kalau tidak, sering kali tanpa disadari, keluarga itu menjadi jauh satu sama lainnya, karena masing-masing hidup dengan kesibukannya sendiri. Bila pekerjaan suami atau istri mengharuskannya sering berada di luar kota, keluarga ini harus banyak berkorban. Idealnya, suami dan istri setiap hari pulang ke rumah. Hubungan suami-istri dan keluarga akan banyak terganggu bila suami atau istri bekerja di luar kota, luar pulau, atau di luar negeri, dan hanya dapat bertemu dalam waktu tertentu. Bila suami dan istri sama-sama sering dinas di luar kota, keluarga akan hancur berantakan. Maka, perlu ada penyesuaian tentang jenis pekerjaan suami-istri. Jika suatu saat Anda -- suami/istri harus pindah ke tempat lain karena tuntutan pekerjaan, maka kepindahan itu harus disetujui bersama. Ada baiknya kalau seluruh anggota keluarga ikut pindah.
Dengan pengaturan waktu yang bijaksana, pengaturan pekerjaan yang baik, tekad tidak akan menelantarkan anak dan pasangannya, dan dengan dukungan keluarga, suami-istri dapat sama-sama bekerja dan berkarya, entah penuh waktu atau salah satu paruh waktu, baik di dalam rumah atau di luar rumah, sehingga suami-istri dapat mengembangkan diri semaksimal mungkin tanpa mengurbankan keluarga.
Diambil dari: | ||
Judul buku | : | Bimbingan Pranikah: Buku Kerja bagi Pasangan Pranikah |
Penulis | : | Dr.Vivian A. Soesilo |
Penerbit | : | SAAT, Malang 1998 |
Halaman | : | 71 -- 76 |
Komentar