Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Kasih Mengalahkan Maut
Dalam Yohanes 8:1-11, para Farisi dan ahli Taurat sengaja mengajak Yesus melakukan perdebatan, dengan menempatkan seorang wanita yang telah melakukan perzinaan. Kasus tersebut diangkat ke permukaan oleh para ahli Taurat dan Farisi dengan tujuan untuk menjebak Yesus, agar Ia melakukan suatu kesalahan dalam mempraktikkan hukum Taurat (Yohanes 8:6). Dari kisah ini, kita melihat betapa besar hikmat yang dimiliki oleh Yesus, sehingga masalah yang sangat rumit itu tidak sampai membuat-Nya melakukan suatu kesalahan, tetapi sebaliknya, menghasilkan suatu keputusan yang jelas bagaimana hukum kasih harus ditegakkan.
Praktik hukum Taurat yang kaku dan kejam, oleh Yesus diganti dengan praktik hukum kasih yang berdasarkan atas kasih dan karunia Allah. Yesus hendak memperlihatkan suatu lembaran hukum yang baru kepada para praktisi hukum Taurat. Itulah sebabnya, dalam rangkaian khotbah-Nya di bukit, Ia datang bukan untuk merombak hukum Taurat, melainkan menggenapinya (Matius 5:17). Menurut para ahli Taurat dan Farisi, hukuman yang pas dijatuhkan ke atas seorang wanita yang tertangkap basah melakukan zina, ialah dilempari dengan batu sampai mati. Dasar hukumnya jelas, hukum Taurat Musa.
Namun, pertanyaan yang mungkin muncul di sini adalah bagaimana dengan pria yang berzina dengan wanita itu? Mengapa Tuhan Yesus tidak menanyakan kepada para rohaniwan yang menangkap basah wanita itu, di mana pelaku prianya? Yang jelas, Yesus tidak memerhatikan kejanggalan fakta itu. Sebab, walaupun kedua pelaku ditempatkan di hadapan-Nya sekalipun, Yesus tidak akan mempraktikkan hukum Musa (Imamat 20:10; Ulangan 22:24).
Hukum Taurat biasanya hanya melihat hal-hal yang bersifat lahiriah. Artinya, seseorang dianggap bersih apabila tidak melakukan perzinaan. Tetapi, hukum kasih yang sedang Yesus tegakkan dan praktikkan melihat sampai ke dalam hati manusia. Walaupun dalam perbuatan nyata seseorang tidak melakukan perbuatan zina atau dosa lainnya, belum tentu di dalam hatinya ia bersih dari dosa zina (Matius 5:28).
Selain itu, hal menarik lainnya dari kisah ini adalah ketika wanita itu tertangkap basah melakukan perzinaan, berarti prianya juga tertangkap. Tetapi, mengapa hanya pelaku wanita yang "dipajang" di tengah-tengah orang banyak saat itu? Apakah pelaku pria telah melarikan diri, atau telah dilempari dengan batu sampai mati terlebih dulu oleh masyarakat yang main hakim sendiri, atau mungkin saja sengaja dilindungi dengan berbagai alasan?
Jika memang pelaku pria sengaja "diamankan" di belakang layar, berarti pelaku wanitalah yang menanggung rasa malu dua kali lipat: untuk dirinya dan untuk pelaku pria. Atau, mungkin ada kaitannya dengan perlakuan umum yang didasarkan pada budaya masa itu, bahwa kaum Hawa dianggap warga kelas dua. Jika dugaan itu benar, berarti wanita ini menjadi korban ketidakadilan dan praktik diskriminasi.
Tanpa memihak kaum Hawa, di mana pun di seluruh penjuru dunia ini, umumnya dalam kasus pelanggaran seksual, wanitalah yang lebih banyak menanggung akibatnya. Apabila terjadi perkosaan terhadap gadis berusia belasan tahun, gadis itulah yang menanggung akibat buruknya, baik secara fisik, sosial, dan psikologis. Contoh lain, apabila seorang gadis hamil sebelum menikah dan prianya tidak mau bertanggung jawab, maka gadis itulah yang menanggung akibatnya.
Itulah kenyataan pahit yang dialami oleh wanita pelaku zina, yang ditempatkan di hadapan umum untuk dijadikan bahan diskusi hukum. Yesus tahu persis betapa malunya wanita yang "dipajang" di hadapan banyak orang pada waktu itu. Namun, Yesus tidak menempatkan diri-Nya sebagai hakim yang akan menjatuhkan vonis ke atas wanita berdosa itu, melainkan Yesus lebih berperan sebagai hakim pembela, Ia tidak berkompromi dengan dosa.
Yesus tidak langsung berbicara untuk menanggapi para rohaniwan itu, yang bertindak sebagai polisi dan sekaligus jaksa penuntut umum, yang mendasarkan dakwaan dan tuntutan mereka terhadap tertuduh menurut hukum Musa, agar Yesus menjatuhkan vonis hukuman mati. Yesus pun tidak diam seribu bahasa. Sambil menulis di tanah dengan jari-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka, "Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yohanes 8:7) Mendengar jawaban itu, mereka semua terdiam dan akhirnya mundur seorang demi seorang.
Pertanyaannya, mengapa Yesus tidak mau melempari wanita itu dengan batu sampai mati, sesuai dengan ketentuan hukum Musa? Jawabannya adalah karena Yesus datang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mencurahkan kasih-Nya kepada manusia berdosa. Yesus memandang wanita yang diperlakukan secara tidak etis dengan penuh kasih dan belas kasihan. Setelah berhadapan hanya empat mata dengan wanita itu, dengan kasih dan penuh perhatian, Yesus mulai memberikan bimbingan dan bertanya secara khusus kepadanya (Yohanes 8:10-11). Kasih benar-benar menang atas maut. Kasih bukan mengutamakan hukuman, melainkan mengharapkan pertobatan dan pembaruan hati. Kasih Kristus yang menginginkan adanya pertobatan dan pembaruan dari dalam (hati), disampaikan dengan suara yang lemah lembut.
Prinsip pertobatan yang sejati adalah apabila seseorang telah menyesal dan berpaling dari dosa ke jalan yang benar, si petobat harus memunyai komitmen untuk tidak lagi melakukan dosa yang sama. Yesus ingin agar si wanita berdosa, sejak hari itu menjalani lembaran hidup yang baru. Lembaran hidup baru itu bukan berada di bawah kekejaman hukum Taurat, melainkan berada di ruang lingkup kasih karunia Allah.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah | : | Kalam Hidup, Oktober 2007 |
Penulis | : | Soelaiman Sanda |
Penerbit | : | Yayasan Kalam Hidup, Bandung 2007 |
Halaman | : | 11 -- 15 |
Komentar