Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Wanita Kristen di dalam Anda
Wanita Kristen menghadapi banyak masalah yang sama dengan wanita lainnya. Perbedaannya, mereka dapat datang kepada Tuhan untuk memecahkan masalah dan persoalan mereka. Dalam percakapan antara dua orang teman ini, dua wanita menceritakan tentang kegelisahan mereka sebagai wanita, seperti kekhawatiran mereka akan penampilan, keterbatasan, dan kegelisahan mereka, dan anugerah untuk dapat menyerahkan beban tersebut kepada Tuhan.
L | : | Suatu malam di musim panas 2002. Menyeberangi jarak yang cukup jauh, dan teman berbincang-bincang di telepon. Percakapan yang sangat luar biasa, dan selama itu, kami memutuskan untuk menulis artikel bersama tentang rasa minder kami hadapi, kesadaran yang kami dapatkan melalui Alkitab, dan bagaimana bisa menghadapi ketidaksempurnaan sebagai wanita Kristen.
Walaupun setiap wanita adalah ciptaan yang unik, kita merasakan banyak kekhawatiran dan pengalaman yang sama. Yang ingin kami bagikan dengan Anda dalam artikel pendek ini adalah beberapa hal tentang diri kita sendiri yang kami ketahui dengan bantuan Tuhan dan bagaimana kami menemukan jaminan yang diperbarui etika tahu bahwa kita tidak sendirian. |
Menerima Tubuh Kita
L | : | Memiliki pandangan kristiani yang sehat tentang tubuh kita tidaklah semudah kelihatannya. Wanita kelihatannya menderita ketidakpuasan tak berkesudahan mengenai penampilannya. Bagaimana kita bisa mengasihi diri sendiri kalau setiap kali bercermin kita diingatkan bahwa hidung kita terlalu besar, dada kita terlalu rata, atau pipi kita terlalu tembam?
Rasa minder setiap orang berbeda-beda. Bagiku, yang bikin minder adalah berat badan. Hal pertama yang kuperhatikan bukanlah apa yang kulihat di cermin, melainkan angka di timbangan. Aku tak mengerti -- aku makan secara sehat dan berolah raga sesering mungkin, jadi kenapa aku tidak menyukai apa yang kulihat? |
S | : | Berat badan bisa jadi merupakan satu masalah yang terus-menerus menjangkiti kaum wanita. Media massa sangat berperan dalam melestarikan gambaran tak sehat tentang tubuh yang ideal. Wanita Kristen tidaklah kebal terhadap gagasan "semakin kurus semakin baik". Entah kita mengakuinya atau tidak, banyak di antara kita yang sangat peduli dengan berat badan. |
L | : | Lama juga, berat badan menjadi duri dalam dagingku sampai suatu hari, sewaktu membaca Alkitab, Tuhan memperingatkan dan menghiburku dengan kalimat ini:
Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? (1 Kor. 6:19) Aku menyadari bahwa aku gagal memperoleh "tubuh yang ideal" karena aku tidak melihat diri sendiri sebagaimana Tuhan melihatnya. Tuhan melihat tubuhku sebagai bait Roh Kudus-Nya, tempat Ia tinggal. Ayat ini mengingatkanku bahwa tubuhku bukan milikku sendiri. "Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Kor. 6:20). Aku sudah dibeli lunas, dan harganya ialah penyaliban Anak Allah demi aku. Dengan tubuh-Nya Ia membeli aku. |
S | : | Melihat tubuhku sebagai anugerah Tuhan membantuku memahami bahwa aku tidak boleh melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri hanya supaya terlihat cantik (misalnya membiarkan diri kelaparan supaya tetap kurus, menghabiskan terlalu banyak waktu dan uang untuk mengikuti mode pakaian terbaru, dll.).
Aku berusaha mengingat prinsip Alkitab bahwa perhiasan kita seharusnya "manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah" (1 Ptr. 3:4). Ada perbedaan besar antara ingin berpenampilan menarik karena menghargai diri sendiri dan ingin berpenampilan menarik karena kesombongan. Menghargai diri sendiri berasal dari pemahaman bahwa kita adalah ciptaan Tuhan, dan, karena kita adalah ciptaan-Nya, kita menghargai dan menjaga tubuh jasmani kita. Kesombongan berasal dari keinginan untuk dipuji atau dipuja. Ini, sayangnya, menandakan adanya kebutuhan untuk menjadi lebih baik dari orang lain agar memperoleh perasaan dihargai. Sulit sekali menarik garis tegas antara kebanggaan dan kesombongan, jadi kita harus menyelidiki hati kita untuk menentukan tindakan kita mewakili yang mana. Perkara ini benar-benar hanya antara Tuhan dan kita, bukan antara wanita-wanita lain atau pria-pria lain dengan kita. |
L | : | Memahami bahwa tubuhku adalah bait Roh Kudus menyehatkan cara pandangku terhadap segala yang diberikan Tuhan kepadaku. Kalau ada yang kupelajari, itu adalah, tidak baik memandang rendah ciptaan Tuhan. Senang atas penampilan kita merupakan pertanda bahwa kita mensyukuri apa yang kita miliki, dan segala yang kita miliki itu datangnya dari Tuhan.
Membicarakan masalah ini juga mengingatkanku bahwa entah apa pun yang diciptakan Tuhan, Ia menciptakan karena Ia "[juga] melihat bahwa semuanya itu baik" (Kej. 1:10). Dan segala yang baik bagi-Nya baik juga bagiku. |
Menerima Keterbatasan Kita
L | : | Banyak wanita kenalanku ingin memiliki segalanya dan melakukan segala hal. Kita membangun mimpi dan ambisi, dan kita bahkan menetapkan batas waktu kapan ingin mencapainya. Tetapi ketika tidak berhasi melakukannya, dengan sendirinya kita berpikir bahwa ada ketidakberesan bawaan dalam diri kita. |
S | : | Kadang-kadang aku juga bisa keras terhadap diri sendiri, mengaitkan kegagalan dengan sebab-sebab yang aku tahu tidak benar, seperti "Aku pasti sudah salah di masa lalu dan sekarang Tuhan sedang menghukumku" atau "Aku pasti lahir dengan ketidakmampuan untuk ..."
Bagi kebanyakan orang, menerima kegagalan bukanlah hal yang mudah. Orang-orang yang berhubungan dengan kita, dan juga tahapan kehidupan kita, menjadi faktor yang menentukan seberapa baik kita menghadapi kegagalan, karena keduanya menentukan apa yang penting dan apa yang tidak, dan dapat memberikan (atau tidak memberikan) jenis dukungan yang tepat. Aku mulai memahami bahwa menerima keterbatasan dan kegagalan kita merupakan anak tangga menuju kedewasaan. Ketika menemui kegagalan, aku berusaha melakukan yang terbaik dengan segala yang kumiliki dan maju terus, bukannya melihat ke belakang dan terus-menerus membicarakan sesuatu yang tidak dapat diperoleh kembali. |
L | : | Dengan berlalunya setiap tahun, sifat pemimpi dan ambisiusku semakin berkurang. Bukannya mau bilang bahwa impian dan ambisi tidak penting, karena menurutku memang penting. Impian dan ambisi membuatku disiplin, kreatif, dan memusatkan perhatian pada masa depan. Melainkan, keterbatasan-keterbatasankulah yang menahanku.
Tetapi aku menemukan bahwa mimpi, ambisi, dan keterbatasan perlu saling melengkapi. Ini membantuku mengatasi kekecewaan dengan cara yang lebih sehat, dan memberiku kedamaian pikiran dan ketergantungan murni pada Tuhan. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Kor. 12:9-10) |
S | : | Kalau mengenai cita-cita dan kegagalan, Petrus memberiku teladan yang paling hidup. Inilah seorang laki-laki yang dikasihi oleh Tuhan Yesus dan yang balas mengasihi Yesus, bahkan sampai pada akhir hidupnya. Tetapi dalam perjalanannya bersama Yesus, ada masa-masa ketika ia mengalami kegagalan yang begitu menyedihkan.
Ia ingin berjalan di atas air tapi malah tenggelam ke dalam ombak (Mat. 14:28-31). Dengan gagah berani ia menyatakan bahwa sekalipun semua orang akan tergoncang imannya dan menyangkal Yesus, dia tidak akan (Mat. 26:31-35). Tapi ya ampun, ketika Yesus ditangkap, Petrus inilah yang bersumpah bahwa dia tidak pernah mengenal Yesus (Mat. 26:69-74). Bukankah banyak di antara kita yang seperti itu? Kita mencita-citakan terlalu banyak hal tetapi kemudian sering menyadari bahwa kita terlalu tinggi menilai diri sendiri. Kehidupan Petrus, walaupun begitu, memang mengilhamiku untuk selalu berpegang pada satu prinsip. Ketika ombak menenggelamkan Petrus, ia berseru kepada Tuhan, "Tolong aku!" Petrus tahu siapa yang harus ia panggil ketika sedang tenggelam. Kehidupan selalu menyediakan lebih banyak persoalan dan kemunduran daripada yang dapat kita tangani. Yang penting kita jangan pernah kehilangan pandangan tentang siapa yang bisa kita panggil untuk dimintai pertolongan. Dalam samudera kehidupan yang bergelora, hal ini menjadi jangkar yang memantapkan hatiku. Entah apa pun yang terjadi, aku tahu bahwa Dia selalu siap mengulurkan tangan-Nya dan membawaku selamat kembali ke perahu. |
L | : | Persis seperti Petrus, aku menyadari bahwa ketika prestasiku kurang bagus, Tuhan menggantinya dengan anugerah dan kemurahan-Nya. Setiap kali aku menemui jalan buntu, "la harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil" (Yoh. 3:30).
Jadi ketika segala sesuatu tidak berja sesuai rencana, harga diriku mungkin terluka, tapi tak mengapa, sebab apa yang kuperoleh, kuperoleh melalui Yesus Kristu; Dan melalui Dia jugalah aku menemukan sukacita. Marilah kita selalu bersandar pada Tuhan Yesus untuk menuntun kita "selama kembali ke perahu". |
Menghadapi Keraguan dan Harga Diri
S | : | Aku menyadari bahwa, sekalipun aku dan teman-teman perempuanku berpegang pada Tuhan dan memberitahu sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja sungguh sulit untuk tidak menyerah pada keraguan.
Sebagai makhluk sosial, kadang-kadang aku mendapati, ternyata sulit untuk tidak melihat kelebihan dan kepunyaan orang lain (materi ataupun bukan) dan bertanya-tanya, apakah aku bisa lebih baik dari diriku yang sekarang. Pada usia tertentu, ketika teman-teman sebaya tampaknya sudah lebih "mapan hidupnya" -- tinggal nyaman bersama keluarga dan anak-anak, kariernya berhasil, atau, sederhananya, makmur -- sungguh menggoda untuk mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang kulakukan dengan hidupku. Tentu saja, rancangan agungnya amat jelas aku adalah anak Tuhan, ada di bumi untuk melakukan bagianku di dalam kehendak-Nya dan menyelesaikan pekerja yang Ia percayakan kepadaku. Tetapi, kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah keadaanku sekarang ini adalah akibat yang harus ditanggung karena mengambil pilihan-pilihan yang salah. |
L | : | Aku tidak yakin ada satu titik dalam kehidupan kita ketika kita bisa bilang bahwa kita sudah sepenuhnya mengatasi dilema ini. Hampir sepanjang waktu, rasa harga diri kita diukur dengan seberapa banyak kita bisa mengumpulkan benda-benda materi dan dengan status kita di "dunia nyata".
Waktu masih kuliah, semua orang kelihatannya sederajat denganku, jadi rasa harga diriku sebagai seorang pelajar kurang lebih sama tingginya dengan semua orang lain. Tetapi setelah lulus, ada yang melanjutkan ke strata dua, ada yang mengambil gelar profesional, dan yang lainnya tetap menganggur. Saat itulah harga diri dan keraguan muncul ke permukaan. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam percobaan. ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. (1 Tim. 6:9,10) Kadang-kadang, keraguan dan kurangnya harga diriku merupakan pertanda bahwa aku menginginkan lebih dari yang kubutuhkan. Aku meragukan diriku sendiri dan mungkin tanpa sengaja mengecewakan Tuhan, karena meragukan diri sendiri sama artinya dengan meragukan apa yang bisa Tuhan lakukan. Kita perlu hidup sesuai dengan kemampuan kita. Segala yang kita miliki berasal dari Tuhan. Jika kita bisa menyeimbangkan kepuasan hati dengan seberapa sedikit atau seberapa banyak kita diberi dan, melalui semua itu, tidak pernah lupa bersyukur kepada Tuhan, aku yakin rasa harga diri kita akan ikut meningkat. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (1 Tim. 6:7-8) |
S | : | Pada akhirnya, aku percaya bahwa Tuhan melihat kita bukan dalam perbandingan dengan orang lain, melainkan sebagai pribadi utuh yang unik.
Perempuan yang memberikan hanya 2 peser (Mrk. 12:41-44) selalu menjadi pengingat bagiku bahwa Tuhan melihat kita bukan sebagaimana seisi dunia melihat kita. Ia tidak membandingkan diri kita dengan orang lain mana pun juga. Aku melihat lagi tempat di mana aku mulai dan tidak bisa berbuat lain kecuali mengagumi betapa jauh sudah aku melangkah. Jadi, sekalipun di antara teman-teman sebaya aku tidak termasuk yang berprestasi tinggi, aku tahu bahwa segala yang kumiliki sekarang hanya karena anugerah Tuhan. Aku tahu ini juga berlaku bagi taraf iman dan kerohanianku. Dia membandingkan aku dengan diriku yang dulu dan bukan dengan orang lain. Sungguh pikiran yang menenangkan, bisa mengetahui bahwa Tuhan menghargai kita tak peduli seberapa pun tak berartinya kita menurut ukuran orang lain. Rasa minder dan berbagai jenis tantangan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Tetapi ada begitu banyak keindahan dalam kehidupan apabila orang tahu untuk berpaling pada Tuhan. Kalau orang berjalan dekat dengan Tuhan, sesungguhnya tak ada apa pun yang perlu ditakuti dan tak ada apa pun yang tak dapat diatasi. Seperti yang dikatakan oleh satu kidung terkenal, selama kita berpegang kuat-kuat pada tangan Tuhan, segalanya akan baik-baik saja tak peduli apa pun yang menghalangi jalan kita: Kadang dalam kekelaman, Kadang di taman berbunga, Di air tenang, di laut bergelora, Tangan-Nya tetap pimpinku. |
Renungan:
Wanita dapat berbicara melalui telepon selama berjam-jam! Mereka menceritakan rahasia dan masalah, dan mereka saling mendukung satu sama lain. Dalam percakapan antara dua orang teman, mereka menceritakan kegelisahan mereka sebagai wanita kristen. Mungkin anda akan menemukan sesuatu untuk diri anda.
Diambil dari:
Judul majalah | : | Warta Sejati, edisi 48/ 1 - 2006 |
Penulis | : | S dan L |
Halaman | : | 2 -- 9 |