Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Kemenangan Kasih
Biasanya ketika seseorang berbicara tentang kasih Kristus, segera pembicaraan itu akan diarahkan kepada kayu salib, karena di kayu salib itulah kasih Allah dinyatakan secara luar biasa dengan menyerahkan Anak Tunggal-Nya sebagai kurban untuk pengampunan dosa manusia. Di kayu salib itu pun, Anak Allah karena kasih-Nya rela tunduk dan taat kepada kehendak Bapa untuk menumpahkan darah, memecahkan tubuh, dan menyerahkan nyawanya demi keselamatan manusia.
Kasih Kristus di kayu salib dikatakan sebagai kasih terbesar sepanjang sejarah. Kurban termahal, darah sang Anak Allah, dicurahkan bukan untuk sosok yang pantas menerimanya, melainkan untuk mereka yang justru telah menyebabkan Tuhan harus disalibkan. Seperti yang Paulus katakan, Dia telah mati bagi kita, ketika kita masih hidup di dalam dosa, tidak peduli dengan Dia, bahkan masih seteru, melawan dan memberontak terhadap-Nya. (Roma 5:6-10)
Paulus juga berkata, untuk seorang yang baik, mungkin ada orang yang rela mati. Untuk orang yang benar, ada saja yang rela berkorban. Tetapi untuk orang jahat, pembunuh, pemerkosa, perampok, pembuat keonaran, dan berbagai penderitaan untuk manusia, siapakah yang rela mati? Karena itu, Kristus rela mati untuk mereka yang bahkan menyalibkan dan membunuh Dia.
Bagi banyak orang, salib adalah bukti kasih yang sejati, terbesar, dan termulia. Namun, apakah kasih di kayu salib efektif untuk menyelamatkan manusia? Bukankah banyak orang yang mengatakan bahwa kayu salib adalah kebodohan? Apa gunanya mati seperti itu? Bagaimana mungkin kematian seperti itu membawa faedah bagi orang yang dikasihi-Nya? Bukankah kematian di kayu salib adalah kekalahan?
Paulus menjelaskan dalam 1 Korintus 1:18-25 bahwa bagi manusia berdosa, kayu salib adalah kebodohan. Bagi orang Yahudi maupun bukan Yahudi, kayu salib bukan hal yang pantas diperhitungkan. Orang Yahudi mencari tanda. Mereka mencari Mesias yang gagah perkasa, pahlawan yang akan berjuang untuk mengalahkan dan mengusir penjajah Romawi dari tanah mereka. Mesias yang lemah lembut, bukanlah figur yang tepat untuk menjadi Juru Selamat mereka. Mereka tidak butuh Mesias seperti itu.
Bagi orang bukan Yahudi, yang diwakili oleh kaum intelektual dari Yunani, salib adalah kebodohan karena tidak masuk akal. Mereka mencari hikmat manusia yang berpusatkan pada akal budi atau filsafat yang menjelaskan segala sesuatu. Mereka tidak bisa menerima alasan yang sederhana yaitu karena kasih Allah mengutus Anak-Nya untuk mati menebus dosa. Bagi mereka, keselamatan adalah masalah pengetahuan hikmat yang hanya di dapat melalui pemikiran mendalam yang filosofis mengenal arti dan hakikat kehidupan.
Bagi manusia masa kini yang berpikiran praktis dan pragmatis, kasih kayu salib paling efektif hanya menggugah perasaan seseorang, yang kepadanya kasih itu ditujukan. Yesus mati untuk orang berdosa, lalu apakah kematian-Nya membuat orang tersebut menjadi tidak berdosa? Ya, kalau orang tersebut merespons kasih di kayu salib itu dengan keharuan yang sedemikian, sehingga ia bertekad untuk mengubah hidupnya dan tidak lagi mau mengecewakan orang yang sangat mengasihinya itu. Kasih seperti itu efektif hanya sebatas menggugah orang yang dikasihinya untuk berubah, tetapi belum tentu efektif untuk perubahan yang sejati atau permanen.
Dongeng seperti ini mungkin membuat pemahaman di atas menjadi lebih jelas. keluarga katak, yang terdiri dari ibu dan anak tinggal di tepi sungai. Jika hujan deras, airnya meluap menggenangi batas bantaran sungai tersebut. Ibu katak itu sangat mengasihi anaknya. Ia selalu menasihati anaknya untuk kebaikannya. Namun, anak katak itu sangat nakal dan selalu membantah perkataan sang ibu. Kalau si ibu menyuruh anaknya untuk tidak bermain di pinggir sungai, anak itu sengaja bermain di sana. Akhirnya, si ibu sakit keras dan menjelang mati ia memanggil anaknya. Pesan terakhir ibu tersebut adalah agar saat ia mati, anaknya mengubur jenazahnya di tepi sungai. Ibu itu sengaja berbuat demikian, karena ia tahu anaknya akan melakukan hal yang berlawanan dengan pesannya. Namun, anak itu sangat terharu dan menyesal karena selama ibunya hidup, ia tidak pernah mematuhi nasihatnya. Maka ia bertekad kali ini, ia akan mendengarkan perintah ibunya. Maka ia pun menguburkan ibunya di tepi sungai.
Kita patut bersyukur kepada Tuhan sebab kasih Kristus di kayu salib efektif bukan semata-mata menggugah kasih orang kepada-Nya, tetapi efektif dalam mengampuni dosa dan memberikan hidup kekal untuk setiap orang yang percaya pada karya kayu salib-Nya. Apa bukti keefektifan kasih kayu salib? Kebangkitan Kristus menjadi buktinya.
Di kayu salib, Kristus mati untuk menebus dosa. Kebangkitan-Nya membuktikan dosa sudah dikalahkan. Di kayu salib, Kristus mati agar orang percaya beroleh hidup kekal. Kebangkitan-Nya membuktikan kuasa maut sudah dikalahkan. Di kayu salib, kasih Kristus dinyatakan untuk menyelamatkan manusia. Kebangkitan Kristus membuktikan karya kayu salib Kristus tidak sia-sia. Pengurbanan-Nya membuahkan keselamatan kekal untuk mereka yang menerima-Nya. Kasih-Nya tidak sia-sia!
Bagaimana membuktikan bahwa kasih kayu salib tidak sia-sia untuk kita? Hiduplah sedemikian rupa sehingga kuasa kebangkitan-Nya nyata di dalam hidup kita. Nyatakanlah hidup yang sudah dimerdekakan dari dosa. Tunjukkanlah hidup yang memiliki pengharapan bahwa kelak akan dibangkitkan pada akhir zaman untuk menerima hidup kekal. Praktikkan kasih kepada sesama secara nyata dan konkret. Maka Tuhan tidak malu menyebut kita anak-anak-Nya, dan kita tidak malu menyatakan Kristus kepada orang lain.
Diambil dari dan disunting seperlunya dari:
Judul buletin | : | Partner, Tahun XXIII/Edisi 2/2009 |
Penulis | : | HW |
Penerbit | : | Yayasan Pancar Pijar Alkitab |
Halaman | : | 1 -- 2 |
Komentar