Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Dari Rumah Menuju Kaki Salib

Hubungan anak dan orang tua merupakan tema yang tidak pernah putus dari zaman ke zaman. Catatan sejarah menunjukkan bahwa, hubungan anak dan orang tua berkaitan dengan emosi dan perasaan. Sukar menjalin hubungan dengan anak jika hanya mengandalkan rasio. Dalam banyak kisah, rasio orang tua kerap kali mengalah dan peran emosi mengambil alih tindakan. Orang-orang mungkin heran melihat tindakan orang tua terhadap perilaku anaknya yang menyimpang. Misalnya, seorang ibu yang berusaha mati-matian menyelamatkan anaknya dari hukuman mati karena perbuatan anaknya sendiri. Mungkin sang ayah ikhlas menyerahkan anak itu, tetapi sang ibu berjuang mati-matian, dengan segala daya untuk meringankan hukuman anaknya. Ia menggunakan perasaannya. Suatu hubungan yang mungkin tidak dapat dibandingkan dengan hubungan mana pun dalam kehidupan manusia.

Ayah dan Anak-Anaknya

Sesekali Alkitab memuat peran ibu yang begitu dominan atau beberapa tokoh wanita yang berkeluarga maupun tidak. Tetapi pada umumnya, Alkitab memuat kisah dari kalangan pria. Ini bukan berarti bahwa penulis Alkitab meremehkan peran wanita. Posisi pria dianggap sebagai kepala keluarga, menempatkannya sebagai pemeran utama dalam pemenuhan keperluan keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Dalam bagian tertentu, apabila pria tidak mampu melakukan tugasnya, maka wanita mengambil alih peran tersebut. Contohnya, Debora. Debora mengambil alih inisiatif pertempuran melawan musuh, ketika Barak menolak memimpin pasukan.

Alkitab mencatat, "Barak berkata kepada Debora, 'Kalau engkau ikut, saya mau pergi. Tetapi kalau tidak, saya tidak mau pergi.' Debora menyahut, baik, saya akan ikut! Tetapi ingat, bukan kau yang nanti mendapat kehormatan. Melalui seorang wanitalah TUHAN akan mengalahkan Sisera." (Hakim-Hakim 4:8-9, BIS) Kenyataannya, Debora mengalahkan musuh di medan perang dengan membunuh panglima musuh, Sisera! Contoh lainnya adalah Hana, seorang perempuan mandul yang berdoa kepada Tuhan agar diberi seorang anak. Doanya dikabulkan dan anaknya -- Samuel, menjadi nabi yang terkemuka di kalangan bangsa Israel.

Imam Eli dan Samuel merupakan contoh di dalam Alkitab, di mana perannya sebagai pria begitu lemah.

Imam Eli dan Anak-Anaknya

"Eli sudah sangat tua. Ia terus-menerus mendengar pengaduan mengenai kelakuan anak-anaknya terhadap orang Israel ..." (1 Samuel 2:22)

Apa kesalahan anak-anaknya?

1. Anak-anak Elia jahat sekali (1 Samuel 2:12). Kejahatannya sebagai imam yang melayani di Bait Allah ialah rakus. Daging yang harus dipersembahkan kepada Tuhan justru dimakannya (1 Samuel 2:17).

2. Anak-anak Eli berselingkuh dengan perempuan yang datang ke Bait Allah (1 Samuel 2:22).

Kedua dosa besar ini dilakukan oleh anak-anak Eli dari hari ke hari. Umat Israel menjadi bosan melihat kelakuan kedua anak yang justru bertugas di Rumah Tuhan, karena mereka datang membawa kurban persembahan untuk memperoleh pengampunan dosa. Tetapi pelayan di tempat itu adalah orang yang hanya memikirkan kesenangan perut dan kepuasan seksnya belaka. Berulang-ulang umat itu mendatangi Imam Eli, tetapi pengaduan mereka tidak digubris.

Eli menegur kedua anaknya -- Hofni dan Pinehas, namun ia tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap mereka, sehingga mereka bertambah jahat. Mungkin kedua anak itu merasa bahwa ayahnya sudah terlalu tua dan nasihat orang tua tidak perlu diperhatikan. Kedua anak itu meremehkan orang tuanya, sehingga pada suatu ketika, ayah mereka mendapat serangan jantung dan meninggal dunia, sedangkan Hofni dan Pinehas mati dalam pertempuran melawan orang Filistin.

Ada beberapa isyarat yang dapat kita cermati dengan saksama dari peristiwa kematian dalam keluarga Imam Eli -- isyarat yang perlu dipikirkan setiap orang yang melayani di ladang Tuhan.

1. Orang yang terlalu sibuk melakukan sesuatu pekerjaan, mungkin saja lupa kepada Tuhan, sekalipun ia melakukan kewajiban penggembalaan! Ia sibuk mengurus berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kerohanian, tetapi lupa berbicara dengan Tuhan secara pribadi. Konon, ia bangga terlibat dalam pelayanan, tetapi inti pelayanan itu lepas dari kehidupannya.

Hal itu mungkin disebabkan usia, sehingga kepekaan semakin berkurang; rasa kasih kepada anak-anak yang berlebih, sehingga mengalahkan tanggung jawab yang harus dipikul dan dilaksanakan dengan jujur. Eli lengah! Ia kurang memerhatikan kelakuan anak-anaknya. Setelah anak itu manja dalam kehidupannya yang penuh dosa, semuanya sudah terlambat dan kematian yang tragis menjadi hukuman baginya.

2. Mungkin umat Israel merasa Eli seorang Imam yang baik. Mereka amat menghormati orang tua yang penuh dengan pengabdian itu. Mereka enggan menceritakan segala kejahatan anak-anak Eli di Bait Allah, sampai pada akhirnya mereka sendiri muak dan terpaksa harus memberitahukannya juga. Ini memerlukan suatu keberanian. Seorang Imam Allah yang sangat dihormati, penuh pengabdian, disegani selaku pemimpin selama 40 tahun -- nyaris seusia satu generasi, harus ditegur karena kesalahan anak-anaknya. Rasa pahit yang dialami umat itu terlalu lama dibiarkan. Umat menderita dan semua harus mengalami hukuman berat, karena mereka dikalahkan musuh di medan pertempuran dan Tabut Perjanjian dirampas musuh. Karena ulah pemimpin bangsa (pemimpin agama), keluarganya, dan rasa hormat bangsa itu sendiri, dosa dibiarkan merajalela dan kematian pun menimpa mereka. Bukan hanya keluarga itu sendiri, melainkan juga dialami oleh bangsanya!

3. Eli dianggap orang baik, yang jahat adalah anak-anaknya. Mungkin sekali! Tetapi akibat perbuatan ini, Eli harus dihukum. Tanggung jawab atas nasib bangsa berada di tangan Imam Eli. Eli lalai melaksanakan kewajibannya di tengah-tengah keluarganya. Kebusukan dan kehancuran dimulai di dalam keluarga.

Samuel dan Anak-Anaknya

Kehidupan Samuel bertaburan dengan harapan-harapan yang gemilang. Ia lahir sebagai anak "pengabdian" dari seorang wanita yang mandul. Kelahirannya merupakan mukjizat dari Tuhan. Setelah anak itu lahir, ia diserahkan kepada Tuhan di bawah asuhan Imam Eli. Ia seorang penurut. Hubungannya dengan Tuhan sangat akrab. Sejak kecil ia sering berkomunikasi dengan Tuhan, khususnya ketika keluarga Imam Eli semakin jauh dari Tuhan. Eli sendiri menyadari hal itu. Ia tahu bahwa Samuel akan menjadi penerus di Bait Allah. Komentar Alkitab mengenai Samuel sangat menarik, seperti kehidupan Yesus Kristus ketika masih kanak-kanak. "... Samuel, anak itu, semakin besar dan semakin disukai, baik oleh Tuhan, maupun oleh semua orang." (1 Samuel 2:26, BIS)

Samuel memerintah sampai masa tuanya. Pemerintahannya sebagai seorang nabi sangat memuaskan bangsanya. Tetapi, kepemimpinan seorang ayah tidak selamanya menjadi kepemimpinan seorang anak. Samuel, ketika sudah menjadi tua, mengangkat kedua anaknya menjadi hakim Israel (1 Samuel 8:1-3). Kedua anak Samuel menjadi hakim yang korup. Dalam setiap perkara mereka meminta sogok, karena keduanya mata duitan. Cara mereka menghakimi juga tidak adil. Bangsa itu menjadi marah dan geram. Mereka melakukan demonstrasi kepada Samuel dan meminta seorang raja untuk memimpin mereka.

Permintaan bangsa itu menyinggung perasaan Samuel. Mungkin Samuel beranggapan bahwa Tuhan yang mengangkatnya, mengapa mereka meminta pemimpin yang lain, seorang raja bagi mereka? Sebagai seorang nabi yang penuh dengan rasa tanggung jawab, ia menyampaikan permohonan bangsa itu kepada Tuhan. Tuhan menganjurkan kepada Samuel supaya mengabulkan permohonan mereka. Samuel tidak membela kedua anaknya yang korup dan menjadi hakim yang tidak adil. Justru pada masa tuanya, bangsa Israel datang kepadanya meminta seorang raja. Tuhan memberitahukan kepada Samuel risiko yang akan ditanggung mereka, apabila seorang raja diangkat untuk memerintah mereka. Bangsa itu siap menerima semua risiko dari permintaan mereka.

Tiada Jaminan

Seorang ayah yang baik tidak menjamin anak menjadi baik. Samuel mungkin saja terlalu sibuk memimpin urusan bangsa itu, sehingga ia tidak memerhatikan perilaku anak-anaknya. Sisi seperti inilah yang sering menjadi bagian para pelayan Tuhan masa kini. Betapa banyak godaan yang dihadapi anak-anak sekarang ini, mulai dari pengaruh tayangan TV sampai rayuan para penjaja kemewahan yang membuat mereka memiliki kebiasaan konsumtif. Para pelayan ini kurang waktu untuk mengasuh anak-anak mereka di dalam rumah. Panggilan kewajiban lebih keras daripada penjagaan terhadap keselamatan mereka. Pengaruh buruk begitu keras dampaknya terhadap kehidupan anak-anaknya.

Tidak ada jaminan yang mengatakan bahwa anak dan keluarga imam Tuhan, akan menjadi keluarga yang aman dan sejahtera, bebas dari godaan dunia. Mereka sebenarnya rentan terhadap pengaruh buruk dari lingkunganya, malahan pengaruh buruk itu lebih membekas dalam benak anak-anak, ketimbang pelajaran moral yang diberikan kepada mereka. Untungnya, Samuel tidak dihukum karena perbuatan anak-anaknya. Alkitab tidak memberitakan lebih lanjut bagaimana sikap kedua anaknya, ketika jabatan mereka sebagai hakim bagi bangsanya dicopot oleh ayahnya sendiri. Nyatanya, Samuel tidak mendapat hukuman atas perilaku tidak baik dari anak-anaknya. Tampaknya kedua anak itu rela menerima sanksi apa pun yang dijatuhkan kepada mereka.

Pengaruh Keluarga

Kisah yang dituturkan dalam 2 Raja-Raja 5:3-4 menceritakan seorang anak gadis yang ditawan oleh pasukan asing. Ia dijadikan asisten rumah tangga panglima Siria. Ketika majikannya diketahui mengidap penyakit kusta yang amat menakutkan pada zaman itu, ia memberitahukan bahwa di negerinya ada seorang nabi yang dapat menyembuhkan penyakit kustanya. Berita ini amat mencengangkan Naaman, sang panglima. Ia lalu meminta surat pengantar dari raja untuk raja Israel. Rupanya, ia percaya kepada cerita anak gadis itu.

Mengapa anak gadis itu berani berkata demikian? Apakah ia tidak takut apabila penyakit Naaman tidak dapat disembuhkan, risiko yang harus ditanggungnya ialah kematian? Ia seorang tawanan yang dipisahkan dari tengah-tengah keluarga. Apabila kita perhatikan dengan saksama kisah gadis cilik ini, kita dapat menafsirkan bahwa sejak kecil, ia telah diajar oleh orang tuanya mengenai peran seorang nabi, khususnya nabi Elisa. Dengan pasti ia mengatakan kepada majikannya, bahwa nabi itu dapat menyembuhkan penyakit kustanya. Naaman, majikannya, pergi ke negeri orang Israel, dan dengan "terpaksa" ia mencelupkan dirinya ke Sungai Yordan sesuai petunjuk yang diberikan Elisa melalui pembantunya.

Gadis cilik ini menunjukkan keberaniannya di negeri orang. Ia memiliki iman dan imannya itu dinyatakan kepada keluarga yang menawannya. Gadis ini benar-benar telah menjadi saksi di tanah air orang lain. Iman yang dimiliki gadis itu menular ke dalam diri Naaman. Setelah ia melaksanakan perintah nabi, kulitnya menjadi bersih seperti kulit seorang bayi! Luar biasa. Alkitab menyatakan, "Sebab, mulai sekarang saya akan mempersembahkan kurban hanya untuk Tuhan, dan tidak untuk ilah lain." (2 Raja-Raja 5:17b, BIS) Gadis kecil itu telah menjadi terang di tengah-tengah kegelapan. Pemimpin bangsa itu kemudian mengakui keunggulan Tuhan yang disembah oleh orang Israel.

Mengarahkan Anak

Tuhan mengaruniakan anak untuk dipelihara di tengah-tengah keluarga. Mereka bertumbuh secara jasmani di bawah bimbingan orang tua. Orang tua yang bijaksana akan berusaha mengarahkan anaknya kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan pemahaman hidup yang diperolehnya. Pengajaran di dalam keluarga amat penting, terutama ketika anak-anak mulai mengenal lingkungannya; sejak masa bayi, saat anak itu mulai menyerap pengaruh lingkungan sekitarnya.

Anak-anak bertumbuh secara rohani dan intelek pada waktu mereka belajar "melihat" dan "menyimak". Apa yang diserap mereka pada tahun-tahun pertama kehidupannya akan menjadi bekalnya pada tahun berikutnya, ketika ia mulai "bercakap-cakap" dan menyatakan dirinya secara pribadi sudah ada di tengah-tengah keluarga. Menurut Raja Salomo, menertibkan anak adalah tanggung jawab orang tua. "Tertibkan anakmu selama masih ada harapan; kalau tidak berarti kau menginginkan kehancurannya." (Amsal 19:18, BIS) "Menertibkan" di sini dapat dipahami sebagai upaya memberikan pendidikan dan pengajaran yang benar, ketika jasmani-rohani-intelek mereka masih dalam pertumbuhan dini.

Eli terlalu sibuk melayani umat. Ia lalai menertibkan perilaku anak-anaknya sendiri. Ia pun menuai kehancuran. Samuel seorang tokoh terkemuka -- nabi, pendidik, penegak hukum, tetapi ia terlalu sibuk untuk mengurus orang lain, sementara anaknya sendiri bertumbuh di jalan yang tidak benar di luar kehendak dan pengawasannya. Umatnya menegur dia dan dia pun menerimanya. Hukuman yang jatuh menimpa anaknya tidak menjadi bagian dari nasibnya. Berbeda dengan Eli yang merasakan hukuman atas anaknya juga menimpa dirinya. Umat yang dipimpinnya mengadu kepadanya mengenai perilaku anaknya, sementara umat itu sendiri ingin melepaskan diri dari bimbingan Tuhan. Akibatnya, Eli, anak-anaknya, dan umat itu sendiri mengalami nasib malang yang sama.

Pendidikan anak-anak pada masa mudanya amat menentukan masa depan seorang anak. Orang tua yang takut akan Tuhan, hendaknya mengarahkan anak-anaknya kepada pengajaran yang berasal dari Tuhan. Pengajaran yang diberikan dunia umumnya pengajaran yang bersifat duniawi, mengarahkan pikiran anak kepada hal-hal yang bersifat duniawi. Sedangkan pengajaran yang diberikan orang tua yang takut akan Tuhan pengajaran yang membawa anak itu berpikir kepada tujuan yang suci, murni, sejati, dan menuju hidup yang kekal.

Dibawa ke Kaki Salib

Mengajar anak sejak dini mengenai gaung hidup yang mendengung dari Bukit Golgota, akan membuat ia membedakan gaung kehidupan yang fana dari yang baka. Gaung kehidupan dari salib di Bukit Golgota itu mendengungkan kabar keselamatan kekal bagi orang yang percaya kepada Kristus, Sang Penebus. Adalah tanggung jawab orang tua membawa berita kekal itu kepada anak-anaknya, agar mereka sejak kecil mampu berpikir mengenai hidup yang lebih baik dan mengarahkan pikirannya untuk mencapai tujuan hidup seperti itu, dan dunia bukanlah sebuah persinggahan abadi, melainkan sebuah tangga menuju surga yang dijanjikan Yesus Kristus dengan kematian-Nya di Bukit Golgota.

Membawa anak-anak ke kaki salib, membiarkannya berdialog dengan Yesus Kristus yang pernah disalibkan di sana, adalah suatu kesempatan yang amat mulia, suatu kesempatan yang tak ada taranya. Biarkan ia berada di sana. Biarkan ia berbicara dengan Kristus melalui kehidupan sehari-hari. Nanti suatu waktu, ia tahu jalan mana yang akan ditempuhnya. Ia akan memilih jalan sendiri. Ia menentukan masa depannya. Ia tahu jalan mana yang terbaik dan mengambil keputusan yang matang. Kewajiban orang tua hanyalah membawa anak-anak ke bawah kaki salib Yesus dan membiarkannya berbicara sendiri dengan Yesus Kristus. Selebihnya, serahkan kepada-Nya dan Dia akan memberikan pelajaran dan kehidupan yang terbaik kepada anak-anak itu.

Diambil dan disunting dari:

Judul majalah : Kalam Hidup, November 2003
Judul artikel : Dari Rumah Menuju Kaki Salib
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup
Halaman : 36 -- 47
Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar