Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Mengembangkan Inteligensi Anak

Pernah dilakukan penelitian terhadap 2 orang bayi kembar, Helen dan Gladys, yang sejak usia 18 bulan dipisahkan satu dari yang lainnya. Helen dibesarkan dalam keluarga yang bahagia dengan lingkungan yang dinamis. Ia meraih gelar sarjana dalam bidang bahasa, yaitu Sastra Inggris. Sementara itu, saudara kembarnya Gladys, dibesarkan di daerah gersang, di lingkungan yang miskin "rangsangan intelektual", dan terpaksa putus sekolah karena sering sakit-sakitan. Pada saat diadakan pengukuran "Intelligence Quotient" (IQ), ternyata Helen memiliki IQ 1l6, sementara Gladys memiliki IQ 7 poin di bawah nilai inteligensi saudara kembarnya. Kita mungkin bertanya, "Mengapa dua orang anak yang dilahirkan dari rahim yang sama dan pada hari yang sama memunyai tingkat inteligensi yang berbeda?"

Gambar: intelegensi anak

Para ahli psikologi perkembangan sependapat dan menyimpulkan bahwa faktor keturunan menentukan batas inteligensi seorang anak, sedangkan faktor lingkungan (fisik, sosial, psikologi) menentukan tingkat sampai di mana batas tadi bisa dicapai. Kelompok lain pernah membuktikan bahwa apa yang dilihat, didengar, dan dipelajari anak balita, ternyata menentukan inteligensi ketika dewasa kelak. Setelah usianya melampaui 5 tahun, secara potensial inteligensinya telah permanen. Dengan demikian, antara usia kelahiran, bahkan sejak dalam kandungan, dan usia lima tahun merupakan "kesempatan emas" bagi para orang tua untuk mengelola inteligensi anak-anak mereka. Karenanya, para pakar menyimpulkan bahwa setiap anak -- normal, dapat dikembangkan inteligensinya ke tingkat yang lebih tinggi.

Kesimpulan itu didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang ketat dan saksama. Beberapa sumber yang dimaksud di antaranya adalah "The Infant Education Research/Project" -- suatu badan penelitian kependidikan anak di Washington DC, Amerika Serikat, yang mengerahkan sejumlah guru khusus untuk mengunjungi anak-anak dari kalangan ekonomi lemah. Dalam penelitian tersebut, 300 anak usia sekitar 15 bulan, secara intensif dikunjungi, diajak bermain, dan dirangsang untuk berbicara. Kegiatan ini berlangsung selama 21 bulan. Setelah itu, diadakan pengukuran inteligensi. Hasilnya, anak-anak ini memiliki inteligensi dengan nilai kecerdasan 17 poin di atas rata-rata anak seusianya, yang tidak mendapatkan "sentuhan" ahli yang berkunjung ke rumah mereka.

Pada tahun 1967, di sebuah sekolah perawat di New York, Amerika Serikat, diadakan penelitian terhadap dua kelompok anak yang berusia 3 tahun. Masing-masing kelompok diperlakukan secara berbeda. Sekelompok anak diberi pelajaran khusus mengenai aktivitas berbahasa selama 15 menit setiap harinya. Kelompok yang lain sebagai pembanding, diberi "perhatian khusus" dalam waktu yang sama (15 menit), tetapi tanpa pelajaran bahasa. Setelah dua kelompok itu dikelola selama 4 bulan, diadakan pengukuran terhadap keduanya. Ternyata pada kelompok pertama -- yang diajarkan bahasa, mengalami peningkatan inteligensi rata-rata 14 poin. Sedangkan kelompok kedua, yang mendapat perhatian khusus namun tanpa pelajaran bahasa, memperoleh kenaikan rata-rata hanya 2 poin saja, bila dibandingkan anak seusia mereka yang tidak disertakan dalam percobaan itu.

Para ahli psikologi perkembangan sependapat dan menyimpulkan bahwa faktor keturunan menentukan batas inteligensi seorang anak, sedangkan faktor lingkungan (fisik, sosial, psikologi) menentukan tingkat sampai di mana batas tadi bisa dicapai.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Saat ini, sejumlah ahli psikologi di Rusia sedang mengadakan penelitian serupa. Untuk kepentingan penelitian itu, dibayarlah kaum ibu dari kalangan ekonomi lemah untuk membacakan dengan suara keras berbagai cerita bagi bayi-bayi mereka. Program pembacaan cerita itu berlangsung selama 15-20 menit setiap hari dan dilaksanakan beberapa bulan. Menjelang bayi-bayi itu berusia 18 bulan, diadakan pengukuran. Ketika dilakukan perbandingan dengan bayi-bayi lain yang seusia di daerah itu, ditemukan kelebihan yang mencolok pada para bayi ini dalam kemampuan berbahasa mereka.

Paparan dari hasil beberapa penelitian tadi membuktikan bahwa orang tua memunyai kesempatan untuk membantu mengembangkan inteligensi anak-anak mereka, melalui aktivitas-aktivitas tertentu. Misalnya, dengan memberikan perhatian dan rangsangan sejak anak masih bayi, memperkenalkan anak dengan aktivitas bahasa sedini mungkin, dan mempersiapkan bacaan yang sesuai dengan usia kematangan mental mereka.

Awal Pertumbuhan Inteligensia

Benyamin Bloom, profesor pendidikan dari University of Chicago, mengemukakan data statistik hasil beberapa penelitian yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa sampai dengan usia 1 tahun, seorang anak telah membentuk 50 persen inteligensia yang akan dimiliki pada masa dewasanya nanti. Pada saat anak-anak tersebut memasuki usia 6 tahun, ia telah mencapai dua per tiga inteligensinya yang telah dimilikinya pada usia 17 tahun. Pertumbuhan antara usia 5-17 tahun itulah yang paling penting, karena masa itulah yang menentukan tinggi rendahnya grafik perkembangan inteligensia seorang anak.

Jean Piaget, seorang ahli psikologi dari Swiss, melakukan pengamatan yang mendalam dalam sistematik terhadap anak-anaknya sendiri sejak awal hidup mereka. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa semakin banyak hal baru yang dilihat dan didengar anak, semakin anak itu ingin melihat dan mendengar segala sesuatu yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya.

Untuk "memanfaatkan" sifat dasar anak yang serba ingin tahu itu, kata pakar psikologi dari Swiss itu, para orang tua disarankan agar memperkaya lingkungan, misalnya dengan menyediakan permainan, adanya kamar tidur, ruang bermain, dan sebagainya, di tempat tinggal bayi itu dengan warna dan bunyi-bunyian yang merangsang, seperti: gambar-gambar binatang, bunga-bungaan, serta benda lainnya yang berwarna mencolok, bunyi-bunyian musik, kicauan burung, dan sebagainya. Semuanya itu harus dapat memberikan rangsangan terhadap anak, tanpa menimbulkan rasa takut dan kegaduhan.

Kemudian Profesor Burton White dari Harvard University, sekitar 12 tahun lalu mengadakan penelitian untuk membuktikan rumusan-rumusan Jean Piaget itu. Dalam penelitiannya itu, White menyertakan 19 orang bayi, serta kelompok bayi lainnya dalam jumlah yang sama sebagai pembanding. Kelompok pertama, tiga kali sehari, sehabis diberi makan, ditimang dan diajak bicara selama 15 menit. Tempat tidur mereka dilengkapi dengan kelambu yang bergambar binatang dan bunga-bungaan yang berwarna-warni, dan di atas tempat tidur mereka digantungkan mainan dengan warna mencolok.

Sementara kelompok lainnya, hidup sendiri, jarang diajak berbicara, diberi makan dalam keadaan terburu-buru, tanpa kata-kata. Tempat tidur, seprai, dan langit-langit kelambunya berwarna putih polos, tanpa dilengkapi dengan mainan apa pun, dan hanya dilapisi dengan selimut putih polos, yang menghindarkan pandangannya untuk menatap pemandangan di luar tempat tidur yang sempit itu. Setelah beberapa saat kemudian, diadakan pengukuran. Didapati bahwa bayi-bayi yang hidup dalam suasana lingkungan yang "meriah", dalam tempo yang sama, 50 persen lebih cepat memberikan respons terhadap lingkungannya daripada mereka yang hidup dalam tempat tidur yang berwarna polos dan lingkungan yang "sepi".

Orang tua dapat merangsang rasa ingin tahu anak-anak dengan berbagai cara. Mobil-mobilan misalnya, yang gampang didapat atau dibuat sendiri, biasanya sangat disukai anak-anak karena mereka suka melihat benda-benda berwarna mencolok dan dapat bergerak. Di situ kita dapat menambah bobot atau nilai pendidikannya, dengan memberikan permainan yang bersifat sebab-akibat yang jelas. Misalnya, dengan mendorong mobil-mobilan itu untuk menjalankannya atau dengan mengikatkan tali mobil-mobilan itu di kaki sang bayi, sehingga ia bisa menggerak-gerakkannya.

Kita juga dapat mengajar anak-anak dengan menggunakan hukum "kekekalan benda", bahwa benda itu tetap ada, meskipun anak tidak melihatnya. Sebagai contoh, letakkan mainan anak di bawah selimut atau bantal sewaktu dia melihatnya. Perhatikan apakah si anak dapat menemukan mainan tersebut. Menurut para pakar psikologi kognitif, permainan petak umpet atau yang sejenis itu, sangat bermanfaat bagi anak-anak. Hal ini pernah dibuktikan oleh seorang ayah di California, Amerika Serikat. Dan ternyata, anaknya tersebut memiliki inteligensi dengan nilai tertinggi di California, menurut laporan Lewis Terman.

Stimulasi dini, tentu saja bukanlah merupakan jaminan bahwa seorang akan berbakat, melainkan hal itu merupakan syarat (condition) yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan yang optimal.

Aktivitas Kebahasaan Dini

Beberapa ahli psikologi yakin bahwa lingkungan verbal yang ada di sekitar anak, lebih penting daripada lingkungan fisiknya. Bahasa yang didengar anak-anak, dapat meningkatkan atau menghambat kemampuan dasar berpikir mereka.

Apakah Anda, sebagai orang tua, biasanya bercerita kepada putra-putri Anda, bahkan sebelum mereka belajar bicara? Apakah setiap kali berbicara dengannya, Anda mempergunakan bahasa yang baik dan benar? Apakah dalam hal memberikan perintah atau menjelaskan sesuatu kepadanya, Anda menggunakan kalimat yang lengkap dan rinci?

Manfaat membacakan cerita kepada anak-anak, sekalipun ia belum belajar bicara, telah dibuktikan melalui hasil penelitian yang dilakukan ahli psikologi dari Uni Soviet (Rusia). Sementara itu, ahli lainnya mengemukakan sisi lain dari perkembangan bahasa tersebut. Misalnya, dalam suatu penelitian yang mutakhir, yang dilakukan para pakar di University of Chicago, didapatkan bahwa ada hubungan antara kejelasan dan kelengkapan bahasa yang didengar anak dengan prestasinya dalam tes yang ia kerjakan.

Dalam penelitian dari Chicago tersebut, para ibu diminta untuk mengajar anak mereka yang berusia 3 tahun untuk memisahkan sejumlah kecil mainan. Kebiasaan belajar mengajar tadi direkam tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Sebagian dari para ibu tadi ternyata memberi penjelasan yang sangat singkat, atau hanya mengatakan kepada anaknya beberapa kunci permasalahan yang sangat singkat untuk melaksanakan apa yang diperintahkan. Sebagian ibu yang lain, lebih mementingkan bahasa isyarat daripada bahasa lisan. Ternyata hasil tes anak-anak mereka tidak memuaskan. Sedangkan beberapa ibu yang lain, yang oleh para peneliti itu digolongkan sebagai ibu yang efektif, memberi penjelasan yang rinci dalam bahasa yang tersusun rapi dan logis. Anak-anak yang dibimbing oleh ibu yang efektif ini, ternyata dapat mengerjakan tes dengan hasil yang gemilang.

Dari data itulah, para pakar kemudian menyimpulkan bahwa apabila ingin memunyai anak yang cerdas, hendaknya orang tuanya senantiasa merangsang anak-anak mereka dengan berbagai aktivitas problematik, dan rangsang bahasa yang kaya dan terperinci.

Persiapan Membaca

Jauh-jauh hari sebelum memasuki usia sekolah, anak-anak biasanya sudah menaruh minat terhadap aktivitas membaca dan menulis. Melihat minat semacam itu, pastilah orang tua yang bijaksana akan menyambut gejala-gejala positif tersebut, dan memperkenalkan kepada anak-anak buku-buku bacaan, lalu menceritakan sambil melatih anak tersebut belajar abjad.

Menurut hasil penelitian Prof Dolkores Durkin dari Fakultas Pendidikan University of Illinois, anak-anak yang belajar dan dapat membaca sebelum usia 6 tahun, pada umumnya memiliki prestasi menonjol di sekolah, dan malah terkadang mereka termasuk kategori jenius. Profesor tersebut mencatat bahwa para orang tua menyadari adanya minat membaca pada diri anak-anak tersebut, sewaktu mereka berusia 4 atau 5 tahun. Mereka meresponsnya dengan memperkenalkan huruf-huruf, bilangan-bilangan, kata-kata, atau ucapan-ucapan tertentu pada anak-anaknya.

Sebenarnya, tidaklah terlalu merepotkan untuk membantu anak-anak dalam mengembangkan inteligensinya, sebab aktivitas sehari-hari yang sederhana pun dapat merupakan andil yang berarti, asalkan terarah. Apabila setiap orang tua terpanggil untuk melaksanakan tugas pendidikan ini, maka cerita dalam dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi lain. Itu berarti terlaksanalah pesan dari Dr. Earl Achefer yang mengatakan, "Kita harus menciptakan citra wanita modern, sehingga tidak lagi para ibu yang dengan rendah diri mengatakan bahwa mereka hanya ibu rumah tangga. Akan tetapi, mereka akan bangga menyandang jabatan dan predikat sebagai pendidik rumah tangga."

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul majalah : Kalam Hidup, Oktober 2007
Penulis : Tidak dicantumkan
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup
Halaman : 20 -- 24

Download Audio

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar