Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Menjadi Ibu yang Bijaksana

Bersikaplah sungguh-sungguh dalam mengembangkan kecerdasan emosional

Pada tahun 1981, beberapa profesor universitas melakukan studi tentang pidato perpisahan dan kelulusan di negara bagian Illinois, mengikuti mereka sepanjang perguruan tinggi sampai ke dalam karir awal mereka. Anehnya, meskipun para siswa ini berprestasi baik di perguruan tinggi, pada saat mereka mencapai usia pertengahan dua puluhan, mereka hanyalah rata-rata dalam tingkat kesuksesan profesional mereka (Daniel Goleman, "Emotional Intelligence")

Dalam buku Daniel Goleman, "Emotional Intelligence", dia mengutip Karen Arnold, salah satu profesor yang melacak para pemain akademis ini: "Mengetahui bahwa seorang siswa mengucapkan pidato perpisahan berarti hanya mengetahui bahwa dia sangat pandai dalam pencapaian yang diukur dengan nilai. Itu tidak memberi tahu Anda apa pun tentang bagaimana mereka bereaksi terhadap perubahan-perubahan kehidupan." Dengan kata lain, dari pidato perpisahan dan kelulusan ini dapat diketahui bagaimana menjadi siswa yang baik. Itu saja. Bukan orang hebat dengan karakter hebat, dengan hati dan jiwa yang hebat. Hanya siswa yang baik.

Lalu, mengapa kita menghabiskan begitu banyak waktu untuk berinvestasi pada kesuksesan akademis anak-anak kita, tetapi gagal dalam mengembangkan bagian lain dari kehidupan mereka — bagian dengan dampak jangka panjang yang lebih besar pada kualitas hidup dan hubungan mereka?

Karena kita tidak tahu kita sedang melewatkan kesempatan. Dan dalam beberapa hal, berfokus pada hal akademis adalah lebih mudah.

Kita pikir kita sedang mengarahkan upaya kita di tempat yang tepat, tetapi kenyataannya, kita tidak berinvestasi di bidang yang berdampak terbesar pada kualitas hidup anak-anak kita. Meskipun tidak ada yang salah dengan seorang ibu yang memastikan potensi anaknya, dia akan membawa banyak penyesalan jika dia menempatkan sebagian besar energinya ke area yang hanya akan membuahkan hasil satu dimensi.

Gambar: Ibu bijaksana

Para ibu juga lebih mudah mengatasi tantangan akademis karena mereka merasakan penguasaan yang lebih besar atas bagian dari kehidupan anak-anak mereka ini. Hal akademis dapat diukur; para ibu dapat melihat hasil langsung dan mengetahui ke mana harus mencari bantuan. Tutor, pusat pembelajaran, dan kelompok khusus adalah sumber daya yang tersedia untuk kita manfaatkan ketika anak-anak kita berjuang dengan masalah belajar.

Akan tetapi, ke mana kita pergi ketika masalah emosional muncul pada anak-anak kita? Kebanyakan ibu menyangkalnya. Kemudian kita melarikan diri ke dalam ketakutan.

Para ibu mulai merasa tidak mampu, kewalahan, dan frustrasi ketika mereka harus menghadapi masalah emosional anak-anak mereka. Perasaan ini muncul dalam diri kita karena: (1) kita tidak mengerti mengapa emosi itu muncul dan (2) masalah emosional seorang anak membuat kita bertanya-tanya apakah kita ibu yang baik. Kita juga bergumul karena perasaan anak-anak kita mungkin tidak cocok dengan "kotak logika" kita. Mereka sama sekali tidak masuk akal menurut kita.

Namun, bukan itu intinya. Perasaan anak-anak kita tidak perlu masuk akal menurut kita. Tugas kita adalah mengenali emosi anak-anak kita — dan kemudian mendengarnya, menerimanya, dan membantu anak kita memprosesnya. Bukan tugas kita untuk memperbaiki perasaan mereka, membenarkan perasaan mereka, atau menyetujui mereka.

Mari mundur sejenak dan jelajahi langkah penting dalam hal menjadi ibu ini agar kita tidak kehilangan kesempatan dan hak istimewa untuk menciptakan landasan guna membantu mereka menjadi orang dewasa yang sehat. Kita perlu melakukan lebih dari sekadar melakukan apa yang akan membantu mereka dalam karir mereka. Kita harus menggunakan waktu dan energi kita pada area yang akan membantu kehidupan mereka.

Teladan Kristus

Seluruh kehidupan adalah tentang hubungan. Yesus mencontohkan pemahaman-Nya tentang kebenaran itu dengan cara Dia memprioritaskan hubungan dalam tiga tahun singkat yang Dia miliki untuk membuat perbedaan saat di bumi. Tidak seperti rekan-rekan agama-Nya, Kristus berfokus pada inti iman dan apa artinya bagi jiwa-jiwa yang Dia jumpai. Dia tanpa syarat menerima orang-orang yang tanpa sengaja bertemu dengan-Nya.

Yesus tidak mencari orang-orang yang paling sukses secara akademis sebagai murid-muridnya. Faktanya, 12 murid yang Dia pilih tidak memenuhi syarat dalam sistem kerabian pada zaman mereka. Mereka adalah orang-orang yang kurang berprestasi pada zaman mereka dalam hal pendidikan agama.

Sebaliknya, Yesus Kristus mencari orang-orang yang berbeda dalam tingkat hubungan dan pengalaman mereka. Ke-12 orang ini akan dianggap sebagai pengubah dunia bagi Kristus; mereka melakukan perjalanan ke seluruh negeri, mengajar, berkhotbah, dan melayani orang-orang yang tidak mereka kenal.

Mereka harus memiliki keterampilan bersosialisasi yang hebat agar dapat memengaruhi begitu banyak orang dalam waktu yang sesingkat itu. Meskipun begitu, pengetahuan mereka tentang Kristus bertumbuh dari hubungan mereka dengan Dia, bukan dari buku atau sekolah.

Yesus tahu apa yang Dia lakukan saat Dia melatih para murid. Berkali-kali Dia mencontohkan hal-hal yang benar-benar penting:

mengasihi orang-orang tanpa syarat,

menerima orang-orang terlepas dari apa yang dipikirkan orang lain, dan

bertemu orang-orang di tempat yang mereka butuhkan.

Yesus ingin kita berinvestasi dalam hal-hal yang benar-benar penting. Aturan, kesuksesan duniawi, harta benda, semuanya memiliki makna, tetapi tidak memberikan kehidupan seperti yang dapat terjadi pada hubungan. Yesus tahu bahwa tidak masalah kalau orang-orang memperoleh pengetahuan, kalau mereka tidak memiliki hati, karakter, dan iman terlebih dahulu.

Anak-anak mencerminkan pengetahuan mendalam tentang kebutuhan kita sebagai manusia ketika kita melihat bagaimana anak-anak secara alami berhubungan. Mereka dilahirkan seperti itu dan menunjukkan kepada kita setiap hari bahwa Allah menghargai kekuatan hubungan. Akan tetapi, agar mereka mencapai tingkat optimal dari interaksi dan kebaikan manusia, kita harus menjadikan bidang hubungan dalam kehidupan mereka sebagai prioritas utama. Kita menyebut area ini kecerdasan emosional.

Mendefinisikan Kecerdasan Emosional

Buku Daniel Goleman "Emotional Intelligence" menguraikan lima kategori yang mendefinisikan istilah tersebut. Hal-hal itu meliputi:

Mengetahui emosi seseorang: Ini melibatkan kemampuan untuk mengenali emosi seseorang saat sedang dialami.

Mengelola emosi: Keterampilan ini menunjukkan seberapa baik anak-anak dapat menghibur diri sendiri di tengah stres, kesulitan, putus asa, dan perasaan sulit lainnya.

Memotivasi diri sendiri: Menunda kepuasan dan mengendalikan keinginan adalah indikator kuat bahwa seorang anak akan dapat berfokus pada tujuan jangka panjang.

Mengenali emosi orang lain: Empati adalah keterampilan yang diperlukan anak-anak untuk menikmati hubungan yang efektif.

Menangani hubungan: Keterampilan ini memungkinkan seorang anak untuk mampu berperilaku di taman bermain, ruang kelas, atau lapangan atletik dengan keterampilan pribadinya, bukan kemampuan akademis atau atletik.

Kelima karakteristik ini membentuk indikator inti untuk memprediksi penilaian masa depan anak Anda dan kesehatan hubungan. Kemampuan anak Anda untuk menguasai keterampilan emosional ini akan berdampak positif pada kemampuannya untuk memilih teman yang baik, mengenali keputusan yang berisiko, dan mengoptimalkan hubungannya.

Sekarang, mari kita jujur saja. Para ibu mengkhawatirkan anak-anak mereka ketika mereka tidak akur dengan anak-anak lain seusia mereka. Kita juga menjadi prihatin ketika mereka bergumul dengan ketidakpekaan, sikap menyendiri, dan/atau reaksi berlebihan.

Kebanyakan, kita gagal mengenali betapa sulitnya bagi anak-anak kita untuk mengidentifikasi perasaan mereka.

Banyak anak yang saya kenal kesulitan mengartikulasikan emosi mereka. Ketika ditanya bagaimana perasaan mereka, jawaban khas mereka adalah, "Saya tidak tahu." Salah satu alasan reaksi mereka mungkin karena hanya sedikit orang tua yang pernah bertanya kepada anak-anak mereka bagaimana perasaan mereka. Anda akan terkejut betapa jarang pertanyaan itu diajukan kepada seorang anak.

Ngomong-ngomong, kapan terakhir kali Anda mengajukan pertanyaan itu kepada anak Anda?

Identifikasi Emosi

Seorang ibu yang memiliki tujuan menyadari bahwa anak-anaknya mungkin merupakan alat yang Allah gunakan untuk membawa perbaikan ke dalam hidupnya. Karena dia ingin anak-anaknya sehat secara emosional dan rohani, dia rela menghadapi tantangan beban emosionalnya sendiri sehingga dia tidak meneruskannya ke generasi berikutnya. Dia menyadari bahwa teladannya lebih penting daripada kata - katanya, dan bahwa interaksinya dengan anak-anaknya memberikan dampak potensial yang lebih besar pada hubungan mereka di masa depan daripada pengajarannya.

Satu pertimbangan yang perlu diingat setiap ibu adalah bahwa setiap anak berbeda, dan beberapa anak membutuhkan lebih banyak pekerjaan daripada yang lain. Bahkan, dalam keadaan yang baik, Anda mungkin menemukan diri Anda bersama anak introvert yang kesulitan untuk berbicara tentang emosinya. Jangan biarkan hal itu menghalangi Anda. Hanya karena dia merasa tidak nyaman bukan berarti dia tidak bisa mempelajari kosa kata perasaan.

Dengarkan percakapan di rumah Anda pada suatu pagi saat sarapan, di dalam mobil, atau sebelum waktu tidur. Saat Anda mendengarkan, perhatikan seberapa sering keluarga Anda menggunakan kata-kata yang menunjukkan emosi. Misalnya, ketika anak Anda bertengkar, apakah mereka berkata, "Berhenti melakukan itu; itu membuatku marah," atau apakah mereka hanya mengeluh tentang saudara mereka? Jika anak Anda menangis dan Anda bertanya mengapa, atau jika ada yang salah, apakah dia menjawab dengan kata-kata yang mengutarakan perasaan, seperti "Saya sedih", "Perasaan saya terlukai ," atau "Saya frustrasi," atau apakah dia hanya memberi tahu Anda "fakta" masalahnya?

Bahasa apa yang digunakan keluarga Anda? Kata-kata faktual atau kata-kata perasaan?

Dalam banyak keluarga, Anda dapat merekam percakapan sepanjang hari dan tidak pernah sekalipun mendengar kata yang menggambarkan emosi. Namun, bukan berarti keluarga itu tidak mengalami emosi. Ini berarti perasaan mereka tidak dikenali atau diakui.

Hadir

Sering kali kita tidak memikirkan cukup lama untuk membiarkannya terhubung dengan apa pun. Kita sangat tergesa-gesa dan aktif dengan kegiatan-kegiatan yang bermaksud baik sehingga kita melewatkan urusan kehidupan yang lebih dalam yang dapat berdampak besar pada kualitas hidup kita dan kesehatan anak-anak kita. Kita tidak lagi hadir dengan anak-anak kita, bahkan saat kita ada di depan mereka.

Konsep baru beredar di sekitar budaya kita. Fenomena baru ini berkontribusi pada interaksi orang tua-anak yang semakin kosong. Ini disebut ketidakhadiran saat ini.

Seorang ibu menghadiri pertandingan Liga Kecil atau pelajaran menari anaknya. Saat berada di lapangan atau di studio, dia menghabiskan waktunya dengan ponselnya, mengobrol dengan teman-temannya, membuat rencana, menangani masalah, atau menangani beberapa urusan lainnya. Setiap kali anaknya melihat ke arah ibunya untuk mendapatkan rasa dukungan dan dorongan, sebaliknya anak itu melihat bahwa perhatian ibu diarahkan ke percakapan telepon. Dia tidak terlibat dengan anaknya meskipun dia hadir. Jadi, sementara ibu bisa memuaskan perasaannya "ada" untuk anaknya, dia sebenarnya tidak ada untuk anaknya. Dia hadir tanpa kehadiran — tubuhnya ada, tetapi perhatian dan energinya diarahkan pada orang lain dan tidak berfokus pada anak.

Perhatian

Seorang ibu yang memiliki tujuan menyadari bahwa anak-anaknya mungkin merupakan alat yang Allah gunakan untuk membawa perbaikan ke dalam hidupnya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Sebagian besar dari kita, para ibu, perlu memerhatikan kemampuan anak-anak kita untuk menghadapi dan mampu menjalani kehidupan. Beberapa dari anak-anak kita menangani emosi dengan cukup baik, sementara yang lain adalah ratu drama (atau raja) yang membuat segalanya menjadi krisis. Jika Anda memiliki anak seperti ini, anggap ini sebagai kesempatan untuk memerhatikan apa yang terjadi saat dia menunjukkan perilaku ini. Ini kesempatan lain untuk belajar tentang anak Anda.

Tingkah laku dramatis sering kali membuat jengkel ibu karena tindakan seperti itu tampak manipulatif, merengek, dan mengontrol. Meskipun perilaku dramatis mungkin mengandung unsur motivasi negatif seperti itu, saya lebih tertarik jika Anda mencari pola yang mungkin muncul dalam reaksi anak Anda. Jika anak Anda mengulangi tindakan ini, anak tersebut memperlihatkan petunjuk bahwa dia membutuhkan bantuan di bidang ini, bukan hanya toleransi.

Setiap orang mengalami hari yang buruk, bereaksi berlebihan, dan merasa hancur sesekali. Akan tetapi, jika salah satu anak Anda mulai menunjukkan pola perilaku seperti itu — bersikap histeris, gelisah, dan/atau tidak mampu mengelola bahkan tugas yang paling sederhana — ada alasan untuk reaksi ekstrem anak itu. Emosi mendominasi perilaku, pikiran, dan perasaannya. Logika sudah diabaikan. Anak tidak dapat menanggapi situasi secara rasional. Anda perlu memahami alasan di balik perilaku irasional anak Anda.

Selalu ada alasan mengapa anak-anak melakukan apa yang mereka lakukan. Akan tetapi, jangan harap anak Anda selalu tahu apa alasannya. Itulah mengapa mereka memiliki Anda. Salah satu tugas Anda adalah membantu mereka mengetahui masalahnya.

Dalam banyak kesempatan saya telah memerhatikan orang tua menjadi kesal karena masalah yang tidak dapat diartikulasikan oleh anak-anak mereka. Alih-alih bereaksi dalam kemarahan atau frustrasi, orang tua harus menyadari bahwa berbicara, waktu, dan pengertian akan menuntun mereka ke jalan menuju penyingkapan yang benar. Begitu masalah terungkap, solusi dapat ditemukan, dan hubungan Anda akan diperkaya. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Todays Christian Woman
URL : https://www.todayschristianwoman.com/articles/2012/august/become-thinking-mom.html
Judul asli artikel : Become a Thinking Mom
Penulis artikel : Catherine Hickem

Komentar