Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Mentalitas yang Sehat

Mentalitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh mentalitas individu dalam suatu keluarga. Mentalitas yang sehat menjadi tiang penyangga yang membuahkan kualitas hidup kita. Kalau mentalitas kita rapuh, maka rapuh pula komunitasnya. Mentalitas berarti keadaan batin atau suasana jiwa seseorang. Sejauh mana suasana batin seseorang; atau keadaan batin sedang berbicara apa. Melalui wajah barangkali seseorang dapat diduga kedalaman batinnya, apakah ia sedang merana, merasa gersang, gundah-gulana, mengalami tekanan, atau sedang senang dan menikmati hidupnya.

Mental Korupsi

Kita tahu bahwa bangsa kita saat ini sedang "sakit" dengan korupsi -- baik secara individu maupun kolektif. Korupsi sudah semakin marak dan tampaknya telah membentuk "budaya korupsi". Orang merasa nyaman sekalipun mencuri milik orang lain. Kalau kita selidiki, ada banyak unsur yang melatarbelakangi munculnya masalah ini. Salah satu unsur yang menonjol adalah masalah mental yang lembek -- telah merusakkan citra diri pelaku korupsi. Sebuah tiang penyangga rumah dapat dimakan rayap dan meruntuhkan rumah itu. Tiang itu dimakan rayap karena serat-serat kayu lembek dan mengandung air atau mutunya jelek. Begitulah kalau mental kita lembek, maka kita dapat dengan mudah diserang oleh "ngengat keserakahan".

Beberapa waktu yang lalu, Mia (bukan nama sebenarnya) bertanya kepada anaknya, "Kalau seandainya Ibu melakukan korupsi, apa pendapat kamu?" "Saya ikut korupsi juga, Bu!" jawab sang anak. Bagai disambar petir di siang bolong, Mia tersentak dan kaget atas jawaban itu. Anaknya yang belia itu masih duduk di kelas V SD, namun mampu meneladani tindakan ibunya tanpa berpikir panjang. Tetapi, itulah kenyataan yang sebenarnya. Mengapa anak itu bisa berpikir demikian?

Beberapa saat kemudian, Mia mencoba merenungkan lebih jauh jawaban anaknya itu. Ia menyimpulkan bahwa jawaban anaknya sangat tepat, selain muncul dari kepolosannya. Kalau orang tua korupsi -- menyelewengkan hak orang lain, maka secara tidak langsung hasil korupsi itu dipakai juga dalam lingkungan yang paling dekat dengannya. Itu berarti orang-orang yang ada di dekatnya, yakni keluarganya turut menikmati kelihaian tangan jahilnya. Anak dan suaminya pun menikmati. Demikian juga menantu-menantunya, iparnya, mertuanya, keponakannya, koleganya, pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya. Karena ulah satu orang, semua orang yang di dekatnya turut menikmati korupsi. Bayangkan korupsi itu sebagai penyakit kanker yang menjangkiti banyak orang dan menularkan benih-benih kepalsuan.

Mentalitas Malas

Mentalitas yang lembek telah menjadi pemicu seseorang kehilangan akal sehat, untuk memelihara integritasnya atau melakukan sesuatu yang mulia di hadapan manusia maupun Sang Khalik. Katakanlah seorang yang enggan bekerja keras, memupuk mentalitas malas yang tertanam kuat dalam dirinya. Lama kelamaan, ia tidak berdaya untuk menafkahi dirinya sendiri dan akhirnya akan membebani orang lain.

Saat masih kecil, saya senang membantu orang tua untuk mengurus kebun di dekat rumah kami. Di sekitar kebun kami, terdapat kebun para tetangga. Kalau pagi atau sore hari, suasana di sekitar lahan pertanian itu terasa hangat karena semua orang bekerja di kebun masing-masing dan saling bercanda dari tempat kerjanya sambil menyiangi, memupuk, dan merawat tanaman.

Namun, salah satu kebun dibiarkan terlantar setelah ditanami jagung dan kacang-kacangan. Pemiliknya dikenal sebagai orang yang ogah-ogahan dalam bekerja. Ia tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya. Ia jarang sekali terjun ke ladangnya. Ia lebih banyak menggunakan waktu di malam hari untuk keluyuran bersama teman-temannya. Waktunya telah berlalu dengan sia-sia. Tiba-tiba, muncul energi baru untuk mengurus kebunnya, tetapi sudah terlambat. Ilalang telah tumbuh lebih tinggi daripada benih yang ditanam. Semuanya sudah terlambat. Tanaman-tanamannya sudah terhimpit, kelihatan layu, kerdil, dan tidak sehat. Ia menyesal dengan situasi itu. Ia hanya memandangi kebun tetangga tumbuh subur dan hijau. Sesal kemudian tiada gunanya.

Yang sebenarnya terjadi di sini adalah mentalitas pemilik kebun yang rapuh dan rendah. Waktu untuk kerja di siang hari dipakai untuk tidur, istirahat, dan bermalas-malasan di rumah. Sedangkan waktu yang seharusnya digunakan untuk memulihkan tubuh setelah giat bekerja di siang hari, malah dipakai untuk bersenang-senang dengan teman-temannya.

Kasus seorang koruptor dan petani yang menelantarkan kebun, bersumber dari mentalitas dirinya sendiri. Kalau mentalnya sehat, seseorang akan belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada pada dirinya atau sesuai dengan pendapatannya; ia juga akan tahu bahwa sesuatu itu melawan hati nuraninya sendiri dan melanggar perintah Allah atau tidak. Mental yang sehat akan menghindarkan diri dari berbuat korupsi. Demikian juga si petani itu, kalau ia memelihara mental yang teguh, maka ia akan mengelola waktu yang diberikan Tuhan dengan baik untuk bekerja pada musim berladang.

Mentalitas yang Sehat

Menumbuhkan mental yang sehat berhubungan dengan disiplin hidup, teladan hidup, dan belajar bertanggung jawab sejak dini. Mia sendiri harus menunjukkan teladan kepada anak-anaknya. Ia memiliki tanggung jawab yang besar untuk mendidik anaknya dengan nilai moral yang sehat. Sejak kecil, ia harus belajar mencukupkan diri dengan apa yang dimilikinya, bukan dari hasil penyelewengan. Hidup dari hasil keringat sendiri sangat mulia di hadapan manusia dan Allah. Peranan Roh Allah yang menguduskan diri kita, akan membentuk pula mentalitas kita menjadi matang dan dewasa, serta membuat kita semakin memahami kebenaran dari atas.

Mentalitas yang sehat, harus pula ditanamkan kepada seorang anak dalam aspek-aspek yang lain, misalnya hidup bertanggung jawab dalam studi, pekerjaan, jabatan, kehidupan, keluarga, dan di hadapan TUHAN. Jika nilai-nilai moral yang sehat melalui teladan dan disiplin dimulai sejak kecil dan diulang-ulang, maka hal itu akan menjadi tiang penyangga yang menopang hidup anak dan berdampak luas pada kehidupan sosial di tengah masyarakat.

Diambil dari:

Judul majalah : Kalam Hidup/Oktober/2005/No.714
Penulis artikel : Sos
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman : 42 -- 44
Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar