Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Melayani, Melayani Lebih Sungguh
"Melayani ... melayani ... lebih sungguh ...." Teks lagu ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar dari kita. Dalam kehidupan bergereja, kita sering menggunakan istilah pelayanan. Dalam surat-suratnya, Rasul Paulus juga berbicara tentang orang-orang Kristen sebagai pelayan Tuhan. Sebenarnya, apa arti melayani itu sendiri?
Hubungan antara tuan dan pelayan adalah salah satu metafora untuk menggambarkan hubungan kita dengan Tuhan. Metafora-metafora lain yang sering digunakan antara lain: ayah dan anak, gembala dan domba, sahabat, dan lain-lain. Tiap metafora menekankan suatu aspek yang berbeda. Dalam metafora tuan dan pelayan, aspek yang hendak ditonjolkan adalah ketaatan, kepatuhan, dan adanya perbedaan status antara sang Pencipta dan yang diciptakan.
Tuhan memang mengasihi kita, anak-anak-Nya, dengan kasih yang tidak terhingga, sampai-sampai Ia rela mengorbankan Anak-Nya yang tunggal untuk membebaskan kita dari hukuman dosa. Ia adalah Bapa yang memelihara kita, Gembala yang menuntun kita "ke air yang tenang", dan Sahabat yang "sekali-kali tidak akan membiarkan dan meninggalkan" kita.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa walaupun Ia adalah Bapa dan Sahabat kita, Ia juga sekaligus Tuan kita! Kita adalah anak,domba, dan sahabat Allah, tetapi kita juga adalah pelayan atau hamba Tuhan yang Mahabesar! Bayangkan bila Anda bekerja di supermarket dan setiap waktu Anda hanya mengomel atau membantah, baik terhadap bos maupun terhadap pelanggan yang seharusnya Anda layani. Bukankah itu namanya pegawai yang minta dipecat?
Sudah sepantasnyalah seorang pelayan menghormati dan menghargai sang Tuan. Sayangnya, dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, kita justru sering berlaku seperti pelayan yang tidak tahu diri. Begitu ada kesusahan sedikit, langsung mengomel ke Tuhan, "Aduh, Tuhan, mengapa aku harus begini? Mengapa Tuhan mintanya yang sulit-sulit saja sih?" Kita tidak mau mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan, tetapi menangisi hal-hal yang tidak dimiliki. Sudah tahu Tuhan menyuruh melakukan hal A, tetapi kita masih juga membantah dan tidak menurut.
Apa sebenarnya arti menjadi seorang pelayan? Kata kerja "to serve" (melayani) berakar dari bahasa Latin "servire", yang berhubungan erat dengan "servus" (slave atau budak). Dari sini, kita bisa melihat bahwa secara etimologi, kata "melayani" bergandengan erat dengan aspek "ketaatan". Dan, bukan hanya sekadar ketaatan, melainkan ketaatan yang benar-benar sudah mendarah daging, ketaatan yang begitu tertanam dalam diri seseorang sehingga seolah-olah sudah menjadi suatu kebiasaan.
Dan, inilah sebenarnya arti melayani Tuhan, yaitu jika kita melakukan perintah dan firman Tuhan dengan segenap hati. Pelayanan bukan hanya menyanyi di gereja. Pelayanan bukan hanya menjadi majelis atau menjabat kedudukan pengurus komisi di gereja. Pelayanan bukan hanya membantu menjual kue atau bersih-bersih di gereja. Pelayanan kita di gereja sebenarnya mencakup hanya sebagian kecil dari total pelayanan kita. Di gereja cuma hari Minggu, bukan? Lalu, apakah pada hari Senin sampai Sabtu kita lepas dari status pelayan? Acap kali, kita hanya menjadi pelayan ketika kaki kita menginjak gedung gereja. Kalau sudah keluar, ya tentu saja kembali menjadi tuan. Memangnya mau terus-menerus menjadi pelayan?
Justru di sinilah perbedaannya antara orang Kristen dan orang dunia. Dunia selalu berlomba untuk menjadi tuan yang di nomor satukan, kalau perlu dengan menginjak-injak orang lain. Sedangkan setiap orang Kristen dipanggil dari hidup yang minta dilayani ke dalam hidup yang melayani. Kita melayani Tuhan ketika kita merelakan tempat duduk di bus kepada seorang nenek. Kita melayani Tuhan ketika kita menjalankan tugas sehari-hari sebagai anak, pelajar, ayah, ibu, kekasih,karyawan, teman, dan sebagainya. Seluruh kehidupan kita adalah pelayanan bagi Tuhan jika kita menjalaninya serta melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab kita dengan segenap hati" seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia".
Bukankah Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku"? (Matius 25:40) Hidup Yesus sendiri adalah kehidupan yang melayani sang Bapa dan manusia. Walaupun sedang lelah, Tuhan Yesus selalu bersedia menolong orang-orang yang membutuhkan-Nya. Ketaatan-Nya kepada Allah Bapa mencapai puncaknya ketika Ia digantung di atas kayu salib demi menebus saya dan Saudara dari dosa-dosa. Di taman Getsemani, Tuhan Yesus memang sempat berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku."
Lalu, apa kata Tuhan Yesus selanjutnya? "Tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Kalau Tuhan Yesus sendiri taat dan tunduk kepada rencana Bapa, terlebih lagi kita yang tidak ada apa-apanya ini. Bukankah seorang pelayan tidak lebih besar dari Tuannya? Yang diciptakan tidak lebih besar daripada yang menciptakan?
Diambil dan diedit dari: | ||
Judul majalah | : | Curahan Hati Edisi 5, Juli 2007 |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Penerbit | : | Yayasan Curahan Hati |
Halaman | : | 19 |
Komentar