Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Para Ibu Ini Tidak Akan Merindukan Pandemi

Para Ibu Ini Tidak Akan Merindukan Pandemi. Namun, Kebiasaan Selama Masa Karantina Tetap Dipertahankan.

Sepuluh penulis membagikan praktik-praktik pemuridan yang membentuk keluarga mereka tahun ini.

ibu dalam pandemi

"America's Mothers Are in Crisis" melansir berita utama New York Times pada bulan Februari tentang sebuah artikel yang menyatakan bahwa para ibu di seluruh negeri "putus asa". Diperkirakan untuk mengerjakan segala hal, baik bekerja, homeschooling, menjaga rumah, maupun merawat keluarga mereka, banyak wanita harus meninggalkan tempat kerjanya atau mengalami gangguan mental selama tahun 2020. Namun, di tengah kekacauan ini banyak ibu Kristen mencari cara untuk bersandar pada iman mereka dengan cara yang baru. Beberapa ibu berdoa dengan cara baru bagi dan bersama anak-anak mereka. Mereka juga menemukan kebiasaan pembinaan rohani yang terinspirasi karena harus tinggal di rumah selama pandemi. Kami bertanya kepada sepuluh ibu tentang kebiasaan-kebiasaan pemuridan keluarga mereka yang diilhami oleh pandemi yang ingin mereka tanamkan atau pertahankan dalam beberapa bulan dan tahun mendatang.

Devi Abraham, Melbourne, Australia, penulis dan pembawa acara "Where Do We Go from Here?", sebuah podcast tentang etika seksual.

Selama tahun-tahun pandemi, anak laki-laki kami belajar di rumah dan suami saya bekerja dari rumah. Jadi, kami bisa makan bersama untuk pertama kalinya. Makan bersama dua anak laki-laki, usia tujuh dan sembilan tahun, tak lepas dari keributan lucu suara kentut hingga percakapan yang lebih dalam tentang iman dan kematian akibat COVID-19. Kami berdoa untuk keluarga kami di Jerman, Sri Lanka, dan Australia. Kami berdoa untuk saudara perempuan saya, keduanya hamil. Kami berdoa agar Allah menghilangkan virus.

Hari ini, kehidupan kami di Melbourne kembali normal, tetapi kami tetap berkumpul di meja makan. Ini adalah praktik yang bertahan bahkan ketika makan malam hanya semangkuk mie instan. Mustahil untuk mengabaikan kondisi di mana kita hidup. Kondisi ketika tampaknya kekuatan dapat menghilang begitu saja dengan cara apa pun dan suara orang-orang yang sedang berjuang ada di sekitar kita serta sangat butuh dipedulikan. Setiap hari, saya berdoa agar anak-anak saya menyadari kelemahan mereka dan Allah membentuk di dalam diri mereka kerendahan hati yang akan terus ada. Saya berdoa agar mereka menyadari ketika mereka melakukan sesuatu di tengah dunia ini, mereka akan berusaha untuk tidak membahayakan siapa pun.

Tara Edelschick, Cambridge, Massachusetts, ibu rumah tangga dan penulis.

Suatu hari di tahun 2009, Zach, Ezra, dan saya duduk di lantai sambil menangis. Kami telah melakukan homeschooling selama enam bulan dan itu tidak berjalan dengan lebih mudah. Mereka membenci kegiatan keluarga menghafal ayat Kitab Suci dan studi Alkitab. Mereka memberontak kode-kode berwarna di jadwal saya, yang terdiri atas segmen-segmen selama 15 menit. Sebelas tahun berlalu begitu cepat dan saya melihat pandemi sebagai kesempatan lain untuk menyesuaikan diri dengan semua disiplin ilmu yang tidak kami kuasai saat pertama kali kami homeschooling. Seharusnya saya sudah tahu lebih baik. "Ini adalah kesempatan kami untuk membaca seluruh Alkitab sebelum Zach berangkat kuliah tahun depan!", pikir saya. Saya membuat bagan yang tidak masuk akal dengan kode perekat-perekat berwarna untuk segala hal, mulai dari pelayanan, doa, dan Alkitab hingga soal-soal latihan dan tugas-tugas.

Itu tidak berjalan dengan baik. Anak-anak laki-laki saya sering berkelahi soal makanan karena jarang keluar dari rumah. Mereka mengeluh setiap kali saya menyuruh mereka menggantung catatan di pintu tetangga kami menawarkan untuk membantu melakukan tugas-tugas atau membuat kue. Dan, meskipun memiliki jadwal yang jauh lebih bebas, kami hanya membaca Alkitab dan berdoa sedikit lebih banyak daripada yang pernah kami lakukan.

Terlepas dari kegagalan kami, kami mengalami kebaikan Allah secara mendalam. Sebagian besar, kami mengalami -- sekali lagi -- bahwa Allah tinggal dalam realita kehidupan kami, bukan yang saya impikan dalam bagan kode berwarna. Eugene Peterson menulis bahwa pemuridan adalah "ketaatan jangka panjang menuju arah yang sama." Ketika kita keluar dari pandemi, saya ingin memegang pemahaman bahwa, bagi kami pemuridan adalah ketaatan jangka panjang, tak terduga, dan sebagian besar menuju ke arah yang sama, kepada Allah yang menemukan kami di mana pun kami berada.

Courtney Ellis, California Selatan, pendeta dan penulis "Almost Holy Mama: Life-Giving Spiritual Practices for Weary Parents

Homeschooling pada awalnya sulit -- sebelum semua orang terbiasa. Ada banyak perkelahian saudara kandung. Di luar itu, kami lebih menghargai waktu bersama-sama. Hari-hari ini telah menjadi berharga. Saya tahu kami tidak akan pernah memilikinya lagi. Saya harus mengakui bahwa saya rindu pergi ke gereja sebagai sebuah keluarga. Saya senang dengan gereja virtual, tetapi itu tidak sama. Saya lebih suka berada di sana secara langsung. Saya berdoa agar anak-anak perempuan saya akan mengenal dan mencintai Allah secara mendalam, terpikat dengan Kristus, dan memperlakukan orang lain seperti yang Ia lakukan.

Rachel Kang, Charlotte, Carolina Utara, penulis dan pencipta "Indelible Ink Writers".

Tidak lagi sering melakukan tamasya keluarga dan acara gereja mingguan benar-benar memaksa kami untuk memperlambat, menerima ritme istirahat, dan benar-benar menghabiskan waktu ketika sebuah keluarga berkumpul di sekitar meja makan. Televisi dimatikan, peralatan makan disiapkan, telepon disingkirkan, percakapan yang disengaja, dan berdoa ucapan syukur sebelum makan dengan doa syukur Korea kami. Kami akan memegang erat kebiasaan ini, bahkan ketika dunia berubah dan terbuka lagi.

Kami menantikan untuk menjalani hidup tanpa bersembunyi di balik masker dan tidak sabar untuk dapat benar-benar melihat anak laki-laki kami tersenyum saat mereka keluar dan menikmati hidup. Setiap malam, saya mendapati diri saya menaikkan doa yang sama dengan dan untuk anak laki-laki saya yang berusia tiga tahun: "Tuhan Yesus, tolong saya dan semua orang." Ini menjadi ucapan yang paling mudah dibisikkan ketika begitu banyak hal terjadi di dunia ini -- di waktu yang tidak mudah untuk dijelaskan kepada seorang balita. Ketujuh kata ini adalah doa yang paling aman dan paling pasti, paling spesifik yang dapat kami doakan, dan akan terus kami panjatkan.

Rebecca McLaughlin, Cambridge, Massachusetts, penulis "10 Questions Every Teen Should Ask (And Answer) About Christianity".

..."Pandemi mengingatkan kami bahwa kami tidak tahu yang akan terjadi di masa depan." (Rebecca McLaughlin)
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Sebelum pandemi melanda, kami memiliki rutinitas membaca Alkitab keluarga sebelum tidur. Saya akan bermain piano (sangat buruk), atau suami saya akan bermain gitar. Kami akan menyanyikan satu lagu, membaca bagian Alkitab yang pendek (melakukannya perlahan dengan menggunakan sebuah buku), mengajukan beberapa pertanyaan kepada anak perempuan kami yang berusia delapan dan sepuluh tahun, kemudian berdoa. Anak kami yang berumur satu tahun akan bergabung (dan mengganggu) sebanyak yang ia bisa.

Kami baru saja melanjutkan kebiasaan ini sejak dunia ditutup. Namun, pada Jumat malam, ketika kami tahu anak-anak kami tidak akan kembali ke sekolah dan gereja kami tidak akan dibuka secara tatap muka beberapa waktu ke depan, saya ingat berkata dalam hati, "Inilah gereja kami sekarang." Tentu saja, kami mengikuti siaran kebaktian di ruang tamu kami pada hari Minggu itu (dan semua hari Minggu berikutnya) sampai kami akhirnya dapat kembali ke gereja secara langsung, memakai masker, dan menjaga jarak. Namun, waktu membaca Alkitab keluarga, dengan segala keindahannya yang berantakan dan diobrak-abrik oleh balita, menjadi satu-satunya kegiatan tatap muka yang kami miliki. Pandemi mengingatkan kami bahwa kami tidak tahu yang akan terjadi di masa depan. Saya berdoa agar anak-anak saya berpegang erat pada Yesus saat mereka merenungkan kebenaran yang sering terlupakan ini.

Sharon Hodde Miller, Durham, North Carolina, pendeta pengajar di Bright City Church.

Ketika saya melihat kembali tahun lalu dan masa itu telah mengubah keluarga kami, saya harus jujur dan mengakui betapa sedikitnya hal-hal itu disengajakan. Ada banyak bulan ketika kami hanya melakukan yang terbaik untuk bertahan. Saya dan suami saya memimpin gereja kami dan melakukan homeschooling untuk anak-anak kami di rumah. Semuanya pada waktu yang sama, yang berarti kami menjalani setiap hari dengan panik dan tidak teratur. Kami bukanlah teladan kebijaksanaan atau disiplin spiritual. Sebaliknya, saya hanya banyak berteriak.

Syukurlah, Roh Kudus jauh lebih merencanakannya daripada yang mampu kami lakukan. Pelan tapi pasti, Allah menggunakan tahun ini untuk mengajari kami agar hadir bagi anak-anak kami, yaitu hadir ke dalam pikiran, pertanyaan, dan emosi mereka. Juga, cara melepaskan keinginan kami untuk mengendalikan mereka. Kami telah, sederhana saja, menjadi orang tua yang lebih baik karena tahun ini. Dan, ini adalah anugerah yang sempurna. Kami membawa kekurangan kami kepada Allah dan Ia dengan setia menemui kami di dalamnya. Ada banyak kesempatan ketika saya gagal, baik sebagai seorang ibu dan sebagai seorang istri. Namun, yang Allah minta dari saya hanyalah kerendahan hati untuk meminta maaf kepada suami dan anak-anak saya, serta ketaatan untuk membawa kelemahan saya kepada-Nya.

Sasha Parker, Winfield, Illinois, pembawa acara podcast "Christianity Today's Adopting Hope".

Suami saya dan saya memiliki sembilan anak, lima di antaranya kami dapatkan melalui adopsi. Minggu kedua karantina, anak laki-laki bungsu kami, Jude, dilarikan ke rumah sakit untuk operasi otak darurat setelah mengeluh sakit kepala. Dokter memutuskan bahwa ia perlu mengganti "shunt" (tabung fleksibel yang disebut kateter, yang ditempatkan di area otak tempat cairan serebrospinal diproduksi - Red.) untuk menangani hidrosefalusnya. Pembatasan terkait pandemi memperbolehkan hanya satu orang tua untuk menemaninya ke rumah sakit.

Anak laki-laki kami yang pemberani berusia tujuh tahun itu menahan air mata ketika ia menyadari bahwa ia akan dipaksa untuk naik ambulans dua jam sendirian ke rumah sakit lain di mana seorang ahli bedah saraf anak akan menunggu untuk melakukan operasi. Suami saya mengikuti di belakang paramedis pada malam yang gelap itu sambil berdoa dengan sungguh-sungguh untuk anak laki-laki kami yang manis. Paramedis terus mengingatkan Jude untuk melihat ke cahaya di belakang jendela ambulans untuk melihat lampu depan ayahnya. Mereka meyakinkannya bahwa ayahnya tidak akan meninggalkannya.

Hampir 13 bulan setelah cobaan berat dan pandemi yang mengerikan itu, inilah pesan yang saya ingin keluarga saya pegang. Betapa kuatnya gambaran ini bagi kami sebagai anak-anak Allah. Meskipun malam sangat gelap dan hari-hari itu penuh dengan ketidakpastian, ada cahaya yang menyinari. Sama seperti Jude yang diperintahkan untuk tetap menatap ayahnya, kita juga diingatkan dalam Kitab Suci, "Yang hatinya teguh Engkau jagai dengan kedamaian yang sempurna, karena dia percaya kepada-Mu. Percayalah kepada TUHAN untuk selama-lamanya, karena di dalam TUHAN Allah ada batu karang yang kekal" (Yes. 26:3-4, AYT).

Courtney Reissig, Little Rock, Arkansas, penulis, pengajar Alkitab, dan direktur pelaksana Risen Motherhood.

Kami menghafal Kitab Suci bersama sebagai sebuah keluarga. Kami juga membaca kitab-kitab dari Alkitab saat sarapan. Kami juga memulai kencan setiap minggu dengan satu anak selama pandemi dan berharap menjadi sesuatu yang terus berlanjut. Ini adalah kesempatan manis untuk memperlambat dan menghabiskan waktu dengan satu anak. Kami juga berdoa agar kami tidak menyia-nyiakan musim isolasi dan "new normal" ini. Selain itu, agar anak-anak kami akan mengingat waktu luang dan memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Saya berdoa agar anak-anak kami dapat menyesuaikan diri dengan baik untuk berubah, mungkin lebih baik daripada ibu mereka! Saya benci perubahan!

Chandra White-Cummings, Virginia Beach, Virginia, penulis lepas dan pendiri CWC Media Group dan Race@Home project.

Saya biasa mengatakan bahwa keluarga saya memiliki "gaya hidup pandemi" sebelum virus corona menyerang Amerika Serikat. Sistem kekebalan yang dikompromikan dan penyakit kronis ditambah keuangan yang tidak stabil setelah menjadi pekerja lepas penuh waktu sering membatasi pergerakan harian kami dan membuat tekanan anggaran ketat menjadi kenyataan hidup. Namun, selama melalui periode ini dalam skala nasional, tetap saja ada sesuatu tentang hidup yang telah membentuk kami kembali secara spiritual. Dan, tidak setiap perubahan memberikan pencapaian yang positif.

Hal yang paling jelas saya perhatikan adalah bahwa saya dan anak laki-laki saya melihat waktu secara berbeda sekarang. Momok harian tentang penyakit yang berpotensi menjadi fatal telah mengubah pemikiran kami. Kami melihat waktu sebagai menit dan jam yang berlalu untuk tunduk pada kenyataan yang terjadi bahwa waktu apa pun yang kami miliki, benar-benar pemberian Allah kepada kami. Kami sering berbicara tentang tanggung jawab kami sebagai pengelola waktu yang kami miliki, saling menantang diri sendiri untuk berbuah, bukan hanya produktif. Pengampunan bukan lagi kemewahan yang kami bagikan hanya ketika kami merasa mampu. Kami tidak pikir panjang untuk menilai satu sama lain karena kami merasakan urgensi ketaatan yang harus dilakukan dengan segera, yaitu bagaimana jika ini adalah perselisihan terakhir kami? Kami berdoa memohon hikmat untuk memilih dengan bijak tentang cara kami melewati hari-hari kami. (t/Jing-jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Christianity Today
Alamat situs : https://www.christianitytoday.com/ct/2021/may-web-only/moms-wont-miss-pandemic-quarantine-habits-mothers-day.html
Judul asli artikel : These Moms Won't Miss the Pandemic. But Their Quarantine Habits Are Keepers.
Penulis artikel : Kara Bettis

Komentar