Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Perspektif Psikologis: Ibu dan Anak Perempuan
Firman Tuhan memerintahkan suami untuk mengasihi istrinya (Efesus 5:33). Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, kita dapat menyimpulkan bahwa dikasihi merupakan kebutuhan wanita yang pokok (sama seperti kebutuhan dihormati bagi para pria). Terpenuhinya kebutuhan ini, sedikit banyak menjamin kehidupan suami istri yang harmonis. Namun, saya pun melihat bahwa kebutuhan untuk dikasihi tidak berlaku untuk relasi pernikahan saja. Pemenuhan kebutuhan ini juga berpengaruh besar pada pertumbuhan anak perempuan menjadi wanita dewasa, dan ternyata peranan ibu dalam proses ini tidaklah dapat disepelekan.
Dikasihi oleh ibu merupakan dasar terbentuknya penghargaan diri yang kuat dalam proses pembentukan diri anak perempuan. Dikasihi oleh ibu membuatnya melihat dan menerima bahwa dirinya berharga, dan inilah bekal yang akan dibawanya ke kancah pergaulan, baik dengan sesama wanita maupun dengan pria. Kasih sayang ibu akan menjadi modal baginya untuk mengemban peran sebagai pengasuh atau pemberi kasih -- peran yang dikaitkan dengan kodrat kewanitaan.
Sebaliknya, kurang dikasihi membuatnya gamang dalam berelasi dengan sesama wanita dan juga pria. Pada sebagian kasus, masalah ini bisa berkembang sedemikian rupa sehingga ia cenderung memandang sesama wanita sebagai pesaingnya, bukan sesamanya saja. Dalam relasi dengan pria, ia memiliki kebutuhan yang besar untuk diperhatikan walaupun dalam tindakannya ia justru menunjukkan kebalikannya -- bahwa ia tidak memerlukan perhatian dari pria.
Tanpa kasih sayang ibu, anak perempuan akan bertumbuh dalam kekosongan dan menganggap diri tidak berharga. Kondisi inilah yang akan mendorongnya untuk mendapatkan pemenuhan ini dari sumber lain. Akibatnya, ia akan mencari-cari tempat dalam hidup di mana ia bisa menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang bernilai.
Tidak jarang, ia pun akan memikul konflik batiniah: Di satu pihak, ia membutuhkan kasih. Oleh karena itu, ia akan senantiasa mencari-cari kasih, tetapi di pihak lain, ia justru ingin memperlihatkan bahwa ia bernilai dan tidak memerlukan kasih. Berangkat dari konflik ini akan ada yang bertumbuh menjadi sosok yang menantikan cinta dan mendambakan orang untuk bisa membuatnya merasa diri berharga. Namun, ada pula yang akan bertumbuh menjadi wanita yang menekankan kemandirian dan membenci kelemahan, dalam hal ini, sifat kewanitaan itu sendiri.
Pada masa kecil, anak tahu bahwa ia dikasihi dari sikap, perkataan, dan sentuhan yang diterimanya dari orang tua. Masalahnya, tidak semua ibu dapat menerima anak perempuannya -- tanpa syarat. Sebagian ibu mengharapkan anak laki-laki, baik itu demi keinginannya sendiri ataupun karena harapan pasangannya atau sanak saudara lainnya. Saya teringat kisah seorang perawat di ruang bersalin yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang ibu tega untuk memalingkan mukanya tatkala diberi tahu bahwa anak yang baru saja lahir dari rahimnya adalah seorang bayi perempuan.
Sudah tentu di sini berlaku satu prinsip universal: Jika kita tidak bisa menerima diri sendiri, kita pun akan mengalami kesukaran menerima diri orang apa adanya. Jadi, dapat kita simpulkan bilamana ibu tidak menerima kodrat kewanitaannya sendiri secara positif, dapat kita duga ia pun kelak akan bersikap kritis terhadap kodrat kewanitaan anaknya sendiri. Anak perempuan perlu mengetahui dengan pasti bahwa ibu menerimanya apa adanya sebagai anak perempuan, sebab keyakinan inilah yang kelak akan membangun dirinya sebagai seorang wanita.
Apa yang menyebabkan sebagian ibu tidak dapat menerima anak perempuannya? Pembentukan dan perkembangan diri tidak bisa dilepaskan dari budaya yang mengelilingi kita. Pada sebagian besar budaya, kedudukan wanita tidak setara dengan pria dan ketidaksetaraan dengan mudah menciptakan penindasan serta ketidakadilan. Saya menemukan dalam praktik konseling saya, kasus penyelewengan suami jauh melampaui kasus penyelewengan istri, dan pada sebagian besar kasus, para istri terpaksa menerima kondisi yang tidak menguntungkan ini tanpa daya. Ketimpangan sosial seperti ini berpotensi menciptakan rasa tidak puas terhadap kodrat kewanitaan dan ibu yang kebetulan mengalami kemalangan akibat perbedaan gender dapat dengan mudah dan tanpa sadar mengomunikasikan ketidakpuasannya kepada anak perempuannya. Alhasil, anak ini pun mulai mengembangkan sikap penolakan terhadap kodrat kewanitaannya, termasuk di dalamnya penolakan terhadap peran pengasuh dan pemberi kasih.
Gangguan pada jalinan kasih antara ibu dan anak perempuan berpotensi menimbulkan gangguan pada pembentukan diri wanita, baik sebagai penerima maupun pemberi kasih. Kerusakan pada relasi ibu dan anak perempuannya bisa berdampak panjang dan luas. Itulah sebabnya, Tuhan menitipkan perempuan muda kepada perempuan yang lebih tua agar mereka dapat "mendidik perempuan-perempuan muda (untuk) mengasihi ..." (Titus 2:3-4). Dan, cara paling efektif mendidik orang untuk mengasihi adalah melimpahinya dengan kasih dan kasih harus disampaikan secara langsung, tidak bisa didelegasikan kepada pengasuh yang lain.
Diambil dan disunting dari: | ||
Nama situs | : | Christian Counseling Center Indonesia |
Alamat situs | : | http://c3i.sabda.org/perspektif_psikologis_ibu_dan_anak_perempuan |
Judul artikel | : | Perspektif Psikologis: Ibu dan Anak Perempuan |
Penulis artikel | : | Pdt. Paul Gunadi, Ph.D. |
Tanggal akses | : | 16 Juni 2015 |
Komentar