Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Pelayan yang Rendah Hati

"Aku ini lho, orangnya rendah hati," kata salah satu teman lama saya, Yosafat, sambil berseloroh. Kata-kata yang diucapkan oleh Yosafat ini, sangat kontroversial. Mengapa? Karena orang rendah hati, kok, pakai pengumuman!

Saya teringat sebuah cerita yang dulu pernah saya dengar di gereja. Di sebuah gereja, pernah diadakan kontes "jemaat yang paling rendah hati".

Setelah melalui pemeriksaan dan diskusi cukup lama, dewan juri pun memutuskan untuk memberikan gelar "jemaat yang paling rendah hati" kepada seorang bapak setengah baya. Akhirnya, dalam sebuah kebaktian, pada diri bapak tersebut disematkan sebuah lencana. Di lencana tersebut tertulis, "jemaat yang paling rendah hati". Minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, pada suatu pagi di hari Minggu, bapak tadi melihat lencana tersebut di lemari pakaiannya. Ia pun berbicara dalam hatinya, "Bagus juga kalau lencana itu saya pakai menghadiri kebaktian pada hari ini, agar orang-orang mengingat bahwa saya adalah jemaat yang paling rendah hati." Bapak ini pun menyematkan lencana "jemaat yang paling rendah hati" di bajunya, ketika ia menghadiri kebaktian pada hari itu. Salah seorang anggota dewan juri kontes "jemaat yang paling rendah hati" melihat bapak itu memakai lencana itu, dan ia segera mengumpulkan seluruh anggota dewan juri untuk rapat. Minggu berikutnya diumumkanlah keputusan dewan juri kontes "jemaat yang paling rendah hati", bahwa gelar "jemaat yang paling rendah hati" dari bapak itu dicabut karena minggu lalu ia memakai lencana tersebut.

Memang susah menjadi orang yang rendah hati. Saya yakin bapak itu hanya ingin diingat atau dikenal orang. Manusiawi, kan? Misalnya nama bapak itu Pak Andi. Coba bayangkan, dalam satu gereja, ada berapa orang yang bernama Andi? Bapak setengah baya ini hanya ingin agar orang-orang gereja mengenal dia sebagai Pak Andi yang rendah hati. Jadi, sah-sah saja kalau bapak ini memakai lencananya? Mungkin. Tapi memang tindakan bapak ini jadi mengundang tanda tanya. Apa sebenarnya tolok ukur untuk menjadi orang yang rendah hati?

Saya teringat sahabat kita semua yang bernama Yesus. Masih ingat apa yang dilakukan-Nya, saat menjelang kematian-Nya di kayu salib? Di saat-saat murid-murid-Nya meributkan siapakah yang paling tinggi dan yang akan duduk di sebelah kanan Yesus di surga nanti, tanpa banyak kata Yesus mengikatkan jubah-Nya ke pinggang, berlutut, dan membasuh kaki murid-murid-Nya. Inikah rendah hati?

Setelah Yesus selesai membasuh kaki murid-murid-Nya, Dia menjelaskan apa maksud tindakan-Nya itu. Dia ingin murid-murid-Nya meneladani apa yang dilakukan-Nya, walaupun Yesus seorang pemimpin, tapi Ia mau menjadi pelayan untuk murid-murid-Nya. Kemudian Dia meminta sesuatu, suatu permintaan yang tidak muluk-muluk: "Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu."

Sudahkah kita "membasuh kaki" teman-teman kita? Apakah kita terlalu gengsi untuk melakukannya? Pernahkah kita yang adalah dokter, manajer, atau direktur, mengosongkan tempat sampah kita yang sudah penuh, tanpa merasa bahwa itu adalah tugas dari asisten kita atau staf "cleaning service"? Sudahkah kita yang majelis gereja, berinisiatif membuat kopi untuk jemaat atau pelayan gereja yang sedang rapat, tanpa merasa bahwa itu pekerjaan ibu-ibu yang bertanggung jawab di bagian meja kopi? Atau pernahkah kita, orang tua meminta maaf kepada anak kita, apabila kita berbuat salah atau mengatakan hal yang menyakitkan mereka, tanpa merasa gengsi dan berpikir atau berkata, "aku ini orang tuamu!"

Diambil dari:

Judul majalah : Curahan Hati Edisi 5, Juli 2007
Judul artikel : Pelayan yang Rendah Hati
Penulis artikel : Nia Limanto
Penerbit : Yayasan Curahan Hati
Halaman : 20
Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 

Komentar