Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita
Apa Kata Alkitab tentang Infertilitas
Alkitab sangat adil mengenai kesuburan dan membesarkan anak. Anak-anak adalah berkat (Mazmur 127:3-5). Anak-anak diperlukan untuk memenuhi tujuan Allah bagi manusia agar kita "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi ..." (Kejadian 1:28). Setidaknya, dua kali Allah menggunakan kesuburan untuk menganugerahi atau menenangkan para perempuan (Kejadian 29:31; 2 Raja-raja 4:8-17). Namun, tidak ada bukti apa pun bahwa Allah menghukum seorang perempuan karena kemandulan. Hanya sekali Allah menggunakan "kemandulan" sebagai hukuman (2 Samuel 6:20-23). Sebab, sering kali, kemandulan diobati dengan kelahiran tokoh penting, termasuk Ishak (Kejadian 21:7), Esau dan Yakub (Kejadian 25:21), Simson (Hakim-hakim 13), Nabi Samuel (1 Samuel 1), dan Yohanes Pembaptis (Lukas 1).
Orang-orang saleh yang memiliki istri yang sulit mendapatkan keturunan, seharusnya lebih banyak memedulikan istri mereka daripada potensi untuk mendapatkan keturunan. Abraham tampak puas dengan istrinya, Sara; tetapi Sara yang mendesak hambanya perempuan, Hagar, untuk memberi dirinya kepada Abraham sebagai pengganti penerus keturunan (Kejadian 16). Ketika Ribka berpikir dia mandul, Ishak tidak mencari istri kedua. Sebaliknya, ia berdoa agar Allah membuka kandungan istrinya (Kejadian 25:21). Baik Yakub (Kejadian 29:30) dan Elkana, ayah Samuel (1 Samuel 1:8), sangat mengasihi istrinya, meskipun menghadapi masalah infertilitas.
Tekanan untuk melahirkan anak pada zaman Alkitab lebih bersifat kultural daripada teologis. Kecuali bagi orang-orang Yunani, yang sering meninggalkan bayi-bayi mereka di jalan supaya mati selama masa sulit, kebanyakan budaya era Alkitab menghargai anak-anak dan kesuburan, bahkan orang-orang Kanaan, yang sering kali mempersembahkan anak-anak sulung mereka. Mereka melakukannya dengan harapan akan membuat anak-anak mereka berikutnya lebih aman. Para perempuan mengadopsi keyakinan kultural bahwa melahirkan anak-anak adalah tanggung jawab mereka yang terbesar. Ada beberapa tingkat kepentingan; anak sulung bertanggung jawab merawat ibunya ketika ayahnya meninggal. Alkitab menjadi suatu indikasi kesuburan, tetapi para perempuan sering kali menilai kesuburan yang mengarah pada penyembahan berhala. Penina, istri kedua Elkana, menghasut Hana dengan sengit untuk membuatnya gusar (1 Samuel 1:6). Ketika rencana Sara terlaksana dan hambanya perempuan, Hagar, mengandung anak Abraham, Hagar menghina Sara; selanjutnya, Sara bertindak sangat kejam kepada Hagar hingga hambanya itu melarikan diri ke padang belantara (Kejadian 16:4-6). Dan, ketika Allah memberkati Lea, yang tidak dicintai Yakub, dengan anak-anak, Rahel menjadi begitu cemburu hingga ia menuntut Yakub untuk memberinya anak-anak (Kejadian 30:1-8). Ketika Yakub menunjuk bahwa Allahlah yang membuka dan menutup kandungan, Rahel memberikan hambanya perempuan kepada Yakub. Dengan demikian, mulailah terjadi pertentangan tentang kesuburan yang melibatkan Yakub, empat perempuan, dan asal mula kedua belas suku Israel.
Kita tahu bahwa ada banyak contoh tentang infertilitas pada masa kini. Entah penyebabnya adalah lingkungan atau genetik, ribuan pasangan bergumul dengan infertilitas dan kelahiran anak pada suatu masa. Dalam Perjanjian Lama, ketika Allah menghadapi Israel sebagai suatu bangsa dan berkat-berkat-Nya dihubungkan dengan kekuatan dan kekayaan suatu bangsa, kesuburan adalah kiasan langsung atas berkat Allah. Dalam era gereja, hubungan Allah dengan kita jauh lebih pribadi. Begitu besarnya hubungan itu sehingga sangat memungkinkan jika Ia menginginkan hati kita untuk diri-Nya sendiri, tanpa terpengaruh oleh berkat keberadaan anak yang akan didatangkan. Memang baik dan sudah semestinya jika seseorang bersedih karena infertilitas. Yang tidak baik adalah menempatkan keinginan untuk memiliki anak melebihi keinginan untuk membangun hubungan dengan Allah (Keluaran 20:3).
Namun demikian, sangat alkitabiah ketika kita mengusahakan pengobatan untuk masalah kesuburan. Pasangan Kristen bebas menemukan pengobatan kesuburan dengan bijaksana. Banyak pasangan memilih adopsi. Allah memberi kita kecerdasan untuk mengembangkan peralatan yang menggagalkan efek kejatuhan dunia pada tubuh kita; tidak masalah untuk memanfaatkannya, asalkan kita melakukannya dengan hikmat.
Kesuburan dan kemampuan mengasuh bukanlah rencana Allah untuk setiap orang. Akan tetapi, jika kita percaya kepada Allah dan rencana-Nya bagi hidup kita, kita dapat membayangkan Tuhan yang terus mengingatkan kita akan kata-kata yang diucapkan Elkana kepada Hana: "... mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?" (t/S. Setyawati)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Compelling Truth |
Alamat URL | : | https://www.compellingtruth.org/Bible-infertility.html |
Judul asli artikel | : | What does the Bible say about infertility? |
Penulis | : | Tidak dicantumkan |
Tanggal akses | : | 5 Agustus 2014 |
Komentar