Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Mencari Alasan untuk Bercerai

Masalah perceraian bukanlah masalah baru dalam sejarah umat manusia. Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, manusia cenderung mengabaikan ketetapan Allah tentang arti sebuah pernikahan. Terdapat kecenderungan pada masyarakat modern dewasa ini yang memandang masalah perceraian bukanlah suatu tindakan yang dapat mendatangkan aib atau perlu ditutup-tutupi.

Bahkan di kalangan orang Kristen pun tingkat perceraian semakin hari semakin marak saja. Ada yang dilakukan secara terang-terangan, tetapi banyak juga yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Ini menunjukkan bahwa banyak pernikahan yang dilaksanakan oleh gereja tidak lebih dahulu melalui bimbingan yang benar dan seleksi yang baik, sehingga pasangan tidak dipersiapkan secara matang untuk membina suatu rumah tangga yang permanen. Kalau begitu, apa gunanya seseorang diberkati di gereja dan disaksikan oleh jemaat, kalau beberapa saat kemudian mereka bubar di tengah jalan?

Beberapa alasan klasik yang sering dikemukakan oleh mereka yang bercerai diantaranya adalah:

  1. Tidak ada kecocokan lagi
  2. Alasan ekonomi
  3. Tidak mendapat keturunan
  4. Karena suami/istri berzina. Bahasa sekarangnya "berselingkuh"

Dasar Pernikahan Kristen

Gambar: Pernikahan

Peraturan Allah yang paling jelas dan sederhana untuk teman hidup dikemukakan Allah dalam penjelasan Alkitab mengenai hubungan pria wanita: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej. 2:24). Bersatu dengan teman hidup mencakup setiap aspek hubungan antara suami dan istri.

Pernikahan adalah lembaga yang diteguhkan oleh Allah sebagai sebuah hubungan permanen antara dua orang manusia yang berlainan jenis. Artinya, sejak semula rencana Allah tentang pernikahan adalah satu orang laki-laki dan satu orang perempuan yang menjadi "satu daging," yaitu bersatu secara jasmaniah dan rohani. Ketetapan ini sekaligus menolak semua bentuk tindakan seksual tidak bermoral seperti: perzinaan, poligami, homoseksual, lesbian, dan kebebasan seks; karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hukum kasih dan mencemari hubungan pernikahan.

Kitab Ibrani dengan tegas mengatakan: "Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezina akan dihakimi Allah." (Ibr. 13:4).

Pandangan Alkitab Tentang Seks

Salah satu aspek penting dalam pernikahan dan rumah tangga adalah masalah seks. Terlalu banyak orang munafik dan berpura-pura malu ketika membicarakan masalah seks, seolah-olah hal itu tidak layak dibicarakan secara terbuka di tengah-tengah keluarga. Padahal sesungguhnya keinginan seksual itu tidak lebih memalukan dibanding rasa lapar pada makanan. Akan tetapi, keinginan itu tidak boleh diartikan seperti rasa lapar pada makanan, bahwa keinginan itu harus selalu dipenuhi. Manusia tidak mungkin hidup tanpa makanan, tetapi manusia bisa hidup tanpa seks.

Dalam suratnya kepada Timotius, rasul Paulus
menuliskan: "Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu, dan dalam kesucianmu" (1 Tim. 4:12). Rasul Paulus menuntut kesucian sebagai salah satu syarat utama hidup sebagai orang Kristen. Kesucian tidak sekadar apa yang tampak pada penglihatan mata indrawi, tetapi juga menyangkut yang tidak kelihatan, seperti apa yang ada dalam hati dan pikiran manusia.

Lebih jauh Paulus menegaskan: "Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Akan tetapi, orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri. Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -- dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!" (1 Kor. 6:18-20). Percabulan secara khusus sangat menjijikkan bagi Allah. Lebih dari tindakan berdosa lainnya, tindakan ini menajiskan tubuh yang menjadi Bait Allah. Karena itu Paulus menasihatkan kepada orang Kristen agar terus-menerus menjauhkan diri dari kebejatan seksual.

Masalah Perzinaan

Salah satu kekecewaan yang sering terjadi dalam pernikahan adalah kenyataan bahwa impian kedua pasangan yang romantis tentang kebahagiaan yang abadi tidak dapat direalisasikan. Biasanya perempuan mengharapkan kelanjutan masa pacaran yang penuh perhatian dari laki- laki yang menikahinya. Sebaliknya laki-laki menginginkan kehangatan dan kelemah-lembutan yang sama seperti ketika masih berpacaran. Keduanya mengalami kekecewaan yang berat saat kenyataan-kenyataan yang keras dalam pernikahan mulai muncul. Suami mungkin tidak lagi penuh perhatian, dan istri juga kehilangan kelembutannya. Masing-masing pihak mulai menemukan dalam diri pasangannya sifat-sifat tertentu yang menjengkelkan yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Masalah utama dalam perzinaan adalah menyalurkan energi seksual yang tidak patut. Mengingat bahwa energi seksual ini sangat mudah dimanfaatkan oleh Iblis, maka rasul Paulus menganjurkan: "Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan memunyai suaminya sendiri" (1 Kor. 7:2).

Ikatan pernikahan berarti bahwa setiap pihak dalam pasangan itu melepaskan hak khusus atas tubuhnya sendiri dan memberikan hak tersebut kepada pasangannya. "Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya, demikian pula istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya" (1 Kor. 7:3-4).

Artinya, tidak seorang pun dalam pasangan pernikahan boleh lalai memenuhi hasrat seksual yang normal dari pasangannya. Hasrat semacam itu dalam pernikahan adalah wajar dan diberikan Allah, sehingga menolak memenuhi kewajiban seorang suami atau istri akan membuka hidup pernikahan itu kepada godaan Iblis untuk jatuh ke dalam perzinaan.

perzinaan juga bisa terjadi oleh karena ada beberapa laki-laki maupun perempuan yang merasa bahwa mereka harus mendapatkan pengakuan, cinta, dan penaklukan diri orang lain untuk meyakinkan diri mereka, bahwa mereka menarik. Kemenangan ini memberikan kepuasan sementara kepada mereka. Istri yang mengira suaminya melakukan perzinaan dengan perempuan lain mungkin tergoda ingin membalas dendam untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia belum kehilangan daya tariknya. Laki- laki pun mungkin termotivasi oleh dorongan yang sama.

Pandangan Tuhan Yesus Tentang Perceraian

Apakah alasan tidak cocok dengan pasangan, ekonomi, tidak punya keturunan dapat dibenarkan sebagai alasan perceraian? Tidak! Tuhan Yesus menegaskan: "... apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Mat. 19:6;Mark. 10:9). Ini tidak hanya sekadar mempersatukan dua orang manusia berlainan jenis ke dalam ikatan pernikahan, melainkan menyangkut adanya hubungan kesatuan yang permanen yang dimasuki oleh sepasang manusia . Terhadap peraturan ini, Yesus memberi kekecualian yakni "zina " (porneia). Kata "porneia" meliputi segala macam kebejatan seksual yang terjadi di luar pernikahan yang sah. Oleh karena itu Yesus mengizinkan perceraian apabila telah terjadi kebejatan seksual.

Ketika Yesus mengecam perceraian, yang dikecam-Nya bukanlah pernikahan karena zina, melainkan perceraian yang diizinkan dalam Perjanjian Lama jikalau suami menemukan bahwa istrinya "tidak suci" lagi setelah upacara pernikahan (Ul. 24:1-4), sehingga dianggap pernah melakukan perbuatan "tidak senonoh" (Ibr. `erwa^). Perbuatan tidak senonoh itulah yang sebenarnya sulit didefinisikan, sebab sering kali "bias" dan mengandung banyak penyimpangan yang umumnya lebih berpihak dan menguntungkan kaum laki-laki. Apalagi budaya dan dunia tafsir kitab- kitab suci, umumnya dikuasai oleh kaum laki-laki, sehingga sering kali nasib kaum perempuan sedikit banyaknya ditentukan oleh "kemurahan dan belas kasihan" kaum laki-laki.

Sesungguhnya Allah menginginkan agar dalam kasus semacam itu pasangan suami istri tetap bersatu. Akan tetapi, Musa mengizinkan perceraian dalam kasus tersebut karena kekerasan hati manusia (Mat. 19:7-8).

Terhadap kasus perzinaan sesudah pernikahan, hukum Perjanjian Lama mengizinkan terputusnya hubungan pernikahan itu dengan menghukum mati kedua pihak yang bersalah (Im. 20:10; Ul. 22:22). Tentu saja hal ini membebaskan orang yang di tinggal mati pasangannya untuk menikah kembali, karena kematian membebaskannya dari ikatan pernikahan sebelumnya (Rm. 7:2 ; 1 Kor. 7:39).

Di bawah Perjanjian Baru, syarat-syarat bagi orang percaya sama saja. Sekalipun perceraian adalah peristiwa yang sangat menyedihkan, ketidaksetiaan dalam hubungan pernikahan merupakan dosa yang begitu kejam terhadap pasangan dalam pernikahan. Pengkhianatan pernikahan karena kebejatan seksual sungguh sangat menyakitkan. Kristus menyatakan pihak yang tidak bersalah berhak untuk mengakhiri pernikahan itu dengan menceraikan pasangannya (Mat. 19:9).

Pandangan Rasul Paulus Tentang Perceraian

Pernikahan adalah lembaga yang diteguhkan oleh Allah sebagai sebuah hubungan permanen antara dua orang manusia yang berlainan jenis.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Tuhan Yesus membatasi kemungkinan terjadinya perceraian akibat masalah "porneia saja." Akan tetapi, rasul Paulus membuka dimensi iman sebagai dimensi baru yang memerlukan pemikiran teologis atas terjadinya pernikahan dua kepercayaan sebagai akibat adanya pekabaran Injil ke dunia orang kafir. Sejak dahulu orang Israel dilarang mengadakan pernikahan dengan bangsa kafir.

Akan tetapi, banyak umat Israel yang tidak mengindahkan perintah tersebut termasuk para imam dan petugas Bait Allah. Pernikahan campuran ini memuncak ketika bangsa Israel kembali dari pembuangan Babel. Nabi Ezra memerintahkan agar semua orang Israel meninggalkan istri maupun anak- anak dari perkawinan campuran mereka. Memang ada kalanya Allah memakai orang Kafir menjadi saluran berkat-Nya, misalnya Rut yang menjadi istri Boas dan merupakan salah satu leluhur Tuhan Yesus (Luk. 3:32).

Uraian Paulus mengenai pernikahan yang tidak seiman dan pembelotan menunjukkan bahwa pernikahan dapat dibatalkan juga apabila pasangan yang belum beriman pergi meninggalkan pasangannya. "Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera" (1 Kor. 7:15).

Sesungguhnya dalam pandangan Allah, umat manusia pada akhirnya digolongkan ke dalam dua kelompok, yakni: mereka yang percaya kepada Kristus, dan mereka yang tidak ada di dalam Kristus. Karena itu Paulus menganjurkan agar jangan berpasangan dengan orang yang tidak percaya, sebab hubungan semacam itu dapat merusakkan hubungan mereka dengan Kristus.

"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya" (2 Kor. 6:14). Hubungan orang Kristen dengan orang-orang yang tidak percaya, seharusnya hanya sebatas menunjukkan jalan keselamatan kepada orang yang tidak percaya tersebut.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan menyangkut perceraian sebagai berikut:

  1. Walaupun Kristus mengizinkan perceraian dalam keadaan tertentu, tetapi Kristus tidak pernah menganjurkan perceraian (Mat. 19:7-8).
  2. Paulus mengakui bahwa Allah menginginkan agar suatu pernikahan bersifat langgeng. Akan tetapi, ia juga menyadari bahwa adakalanya suatu pernikahan tak dapat dipertahankan lagi. Sedapat mungkin perceraian haruslah dihindarkan.
  3. Orang beriman hendaknya jangan menjadi pengambil inisiatif untuk melancarkan perceraian. Jikalau pihak yang belum beriman menuntut perceraian, setelah seluruh upaya dilakukan untuk mempertahankan pernikahan tidak berhasil, maka pihak yang tidak beriman diberi kebebasan untuk memisahkan diri dari ikatan pernikahan mereka (1 Kor. 7:10,13,15).
  4. Semua pasangan suami istri tidak cocok dalam tingkat tertentu. Mengajukan ketidakcocokan sebagai alasan perceraian akan tampak sangat menggelikan.
  5. Banyak pernikahan dapat diselamatkan jika kedua belah pihak mau belajar menerima perasaan pasangannya. Kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan pasangan bukan merupakan alasan untuk bercerai.
  6. Ada begitu banyak penyebab konflik dalam pernikahan, tetapi cara yang utama untuk mencapai hubungan pernikahan yang memuaskan antara suami dan istri adalah keduanya berusaha bersikap dewasa secara rohani dan emosi. Hendaklah suami/istri belajar saling mengampuni segala kesalahan yang telah terjadi dan melanjutkan kehidupan persatuan keluarga sesuai dengan rencana Allah untuk mereka.
Diambil dari:
Judul artikel : Mencari Alasan untuk Bercerai
Judul majalah : Kalam Hidup/Oktober/2005/no.714
Penulis artikel : Drs. Elisa B. Surbakti, MA
Penerbit : Yayasan Kalam Hidup, Bandung
Halaman : 25 -- 31

Download Audio

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar