Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Apakah Anda Mengejar Kebahagiaan atau Kekudusan?

Pertanyaan seperti itu sebetulnya memperlihatkan kesalahan umum, yaitu mengadu kekudusan dan kebahagiaan antara satu dengan yang lain. "Allah lebih tertarik agar Anda menjadi kudus daripada bahagia," begitu disebutkan dalam kata-katanya.

Salah satu teolog favorit terpengaruh dengan dikotomi tidak kentara ini dalam sebuah buku yang akan dikeluarkan tahun depan. Secara umum ini adalah buku yang bagus sekali (dengan banyak hal untuk dipuji nanti), tetapi di sini saya ingin membuat perubahan yang berguna ke beberapa paragraf dari itu:

Dalam dunia psikologis ini, Allah Maha Pengasih adalah Allah yang mengasihi dengan tepat dan hanya karena Dia menawarkan kepada kita balsam batin. Kosong, gelisah, melantur, dan merasa tidak puas, kita datang kepadanya memohon pertolongan. Penuhilah kami, kita memohon, dengan rasa yang sempurna! Isilah kekosongan kami! Berikan kami petunjuk di tengah simpang siurnya jalan dan banyaknya suara yang bersaing di dunia modern! Isilah kekosongan yang menyakitkan dalam kami!

Beginilah yang dipikirkan oleh banyak orang di gereja hari ini, terutama dalam gereja Injili. Beginilah cara mereka berdoa. Mereka merindukan sesuatu yang lebih nyata dalam diri mereka sendiri daripada apa yang mereka miliki saat ini. Ini juga berlaku pada orang dewasa dan remaja juga. Ya, kita mengatakan dengan sungguh, penuh harap, mungkin bahkan sedikit prihatin, jadilah Allah yang Maha Pengasih bagi kami!

Mereka yang tinggal dalam dunia psikologis ini berpikir berbeda dengan mereka yang tinggal di dunia moral. Dalam dunia psikologis, kita membutuhkan terapi; dalam dunia moral, dunia benar dan salah dan baik dan jahat, kita membutuhkan penebusan. Dalam dunia psikologis, kita ingin bahagia. Dalam dunia moral, kita ingin kudus. Di dunia yang satu, kita ingin merasa baik, tetapi di dunia yang satunya kita ingin jadi baik.

Gambar: Stefy Rompas

Allah berdiri di hadapan kita bukan sebagai Terapis atau Pengasuh. Dia berdiri di hadapan kita sebagai Allah yang benar-benar murni, yang kepada Dia kita bertanggung jawab secara moral. Dia objektif terhadap kita dan tidak kendur dalam kabut rasa dunia batiniah kita. Firman-Nya datang kepada kita dari luar diri kita karena itu adalah firman kebenaran-Nya. Itu memanggil kita untuk berdiri di hadapan Allah semesta alam, untuk mendengar perintah-Nya, yaitu kita harus mengasihi Dia dan mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Dia ada di hadapan kita bukan untuk dimanfaatkan oleh kita. Dia ada di sana bukan memohon untuk masuk ke dunia batiniah kita dan memuaskan kebutuhan terapi kita. Kita ada di hadapan-Nya untuk mendengar perintah-Nya. Dan, perintah-Nya adalah kita harus kudus, yang adalah hal yang jauh lebih besar daripada bahagia.

Benar bahwa ada manfaat psikologis dalam mengikut Kristus, dan kebahagiaan mungkin adalah hasilnya. Meskipun demikian, ini bukanlah hal mendasar mengenai apa iman Kristen itu. Ini adalah tentang Allah yang lain daripada diri kita sendiri, Dia adalah Allah yang kekal dan murah hati.

Nah, sangatlah tepat untuk menolak definisi kebahagiaan secara budaya (seperti materialisme yang berpusat pada konsumen, kebebasan seks, dan berpusat pada diri sendiri dalam segala bentuknya). Dan, sangat benar untuk menolak pemahaman bahwa kekudusan adalah bukan hal mendasar dalam kehidupan Kristen. Dan, sangatlah benar untuk menentang pemahaman bahwa Allah tidak lebih daripada seorang Santa Claus yang memenuhi kebutuhan yang kita rasakan. Keberadaan diri Allah adalah di luar kita. Dia adalah Pencipta yang seutuhnya murni, yang kepada Dia semua ciptaan akan memberi pertanggungjawaban.

Akan tetapi, dengan menjauhkan kekudusan dari kebahagiaan, kita menciptakan dikotomi yang salah.

Bahagia atau Kudus?

Saat ragu-ragu, pandanglah Redwood gereja, Puritan. Dua hal khususnya bisa membantu kita menanggapi upaya zaman ini untuk memisahkan kebahagiaan dari kekudusan dengan begitu jelas. Misalnya, Thomas Brooks (1608 -- 1680) mengarang buku 450 halaman dengan judul yang mengena: The Crown and Glory of Christianity: Or, Holiness, The Only Way To Happiness (1662). Itu adalah sebuah pembelaan besar-besaran terhadap tidak berhubungannya kebahagiaan manusia dan kekudusan yang terus-menerus terjadi, poin demi subpoin, untuk menjadikan kasus itu jelas tidak terbantahkan dari Kitab Suci.

"Kekudusan tidak beda dengan kebahagiaan, tetapi hanya lain sebutan," Brook dengan berani menulis di awal bukunya. "Kekudusan adalah kebahagiaan dalam kuncup, dan kebahagiaan adalah kekudusan yang mekar. Kebahagiaan tidak lain adalah contoh murni kekudusan." Di akhir bukunya, dia mengulangi pertanyaan poin, "Sebuah kepenuhan kekudusan yang mutlak akan menjadikan kepenuhan kebahagiaan yang mutlak. Ketika kekudusan kita sempurna, kebahagiaan kita akan sempurna; dan jika ini bisa dicapai di bumi, akan ada sedikit alasan bagi manusia untuk mendambakan berada di surga."

Atau, kita bisa memuji Matthew Henry yang hebat (1662 -- 1714), ahli Alkitab yang terkenal yang melihat hal yang sama. "Hanya mereka yang bahagia, benar-benar bahagia, adalah yang kudus, benar-benar kudus," tulisnya tentang Mazmur 1:1-3, dia bahkan menulis "kebaikan dan kekudusan bukan hanya jalan menuju kebahagiaan, tetapi adalah kebahagiaan itu sendiri."

Orang-orang Puritan mengetahui ini dengan baik. Kebahagiaan sejati pada dasarnya bukan hasil kebetulan dari kekudusan. Kebahagiaan sejati adalah kekudusan sejati.

Baru-baru ini, John Piper menghubungkan poin itu dengan penyesuaian yang bahkan lebih bagus dalam Ask Pastor John podcast (episode 13): "Kebahagiaan adalah bagian dari kekudusan," katanya. "Jika Anda berusaha untuk menjelaskan kepada saya apa artinya menjadi orang yang kudus, dengan meninggalkan kebahagiaan dalam Allah, Anda tidak bisa melakukan itu. Tidak ada kekudusan minus kebahagiaan dalam Allah. Kebahagiaan dalam Allah adalah -- saya akan ambil risiko -- esensi dari kekudusan."

Namun, apakah Kitab Suci mendukung pernyataan seperti itu tentang betapa eratnya kekudusan terjalin dengan kebahagiaan?

Kekudusan Bahagia yang Sejati

Mazmur dengan luar biasa menjelaskan di sini. Pemazmur sering menulis diberkatilah -- dan dengan diberkatilah, itu mengartikan mereka yang benar-benar bahagia. Jadi, siapa yang diberkati, yang benar-benar bahagia?

Yang benar-benar bahagia adalah mereka yang, sebagian, benar-benar kudus, dan ini adalah tema yang dibawa di seluruh Mazmur di tempat-tempat seperti Mazmur 1:1-2; 19:8; 32:8-11; 34:8-14; 40:4; 106:3; 112:1; 119:1-2, 22-24, 69-70, 143-144; 128:1-6.

Akan tetapi, bukan saja kekudusan dan kebahagiaan (atau diberkati) digabungkan dalam Mazmur; mereka dikaitkan bersama dalam Amsal, dan sangat erat dikaitkan oleh Yesus dalam Ucapan Bahagia-Nya (Matius 5:2-12).

Dan, setiap kemungkinan sebelumnya tentang mendapatkan kekudusan bahagia sejati adalah kenyataan yang sangat besar bahwa dosa kita pastilah permanen dan selamanya dihilangkan di hadapan Allah yang kudus. Kenyataan yang indah tentang pembenaran dalam Kristus, hanya oleh iman, menjembatani kekudusan bahagia dari Pemazmur dan pengampunan kita dalam Kristus, hanya oleh iman (Mazmur 32:1-2; Roma 4:7-8).

Betapa pun tidak sempurnanya, orang Kristen mencicipi kekudusan bahagia saat kita tinggal dalam kesatuan dengan Kristus. Dalam Dia, kita mendapatkan koneksi organik yang tidak terpisahkan antara ketaatan dan sukacita kita, antara pengejaran kita akan kekudusan yang sejati dengan pengalaman kita akan kebahagiaan yang sejati (Yohanes 15:1-17).

Allah yang Kudus-Bahagia

Gambar: Quote Terry Bridges

Jadi, dalam inti keberadaan kita, kita tidak mau bahagia atau kudus. Kita ingin bahagia kudus, seperti Allah. Allah adalah sumber sukacita dan kesukaan; Dia adalah Allah yang bahagia, puas dengan kesukaan diri-Nya sendiri yang kekal, dan kebahagiaan ini adalah bagian dari kemuliaan-Nya (1 Timotius 1:11). Dan, Allah kita yang mulia, pada saat yang bersamaan, adalah kobaran mengagumkan dari kekudusan yang tidak tercemar, ditentang oleh semua kebejatan manusia (1 Timotius 1:8-10).

Karena itu, apa yang telah disatukan oleh Allah, jangan dipisahkan oleh teolog.

Pilihan yang Kita Hadapi Hari Ini

Kenyataannya, pengejaran kita untuk kebahagiaan digerakkan oleh keinginan utama, sebuah keinginan yang sama kunonya dengan laki-laki dan perempuan pertama, sebuah keinginan yang sudah ada lebih dahulu sebelum postmodernisme, modernisme, pencerahan, dan Freud.

Sama seperti generasi sebelumnya, kita menghadapi pilihan kuno yang sama, dan itu bukanlah pilihan antara kebahagiaan dan kekudusan, tetapi antara dua pengejaran kebahagiaan yang berbeda (yang satu jahat, yang satunya kudus).

Pengejaran 1 adalah pengejaran kebahagiaan yang dijanjikan oleh rasa aman dan kenyamanan dan berhala palsu dunia kita, tetapi ternyata merupakan kebohongan palsu yang mendukakan.

Pengejaran 2 adalah kebahagiaan sejati yang ada dalam Allah, kesukaan sejati dalam Dia, harta kekal, dan tidak berakhir akan kemuliaan dan kekudusan-Nya di atas segala yang lain.

Jadi, di situlah kuncinya. Peperangan untuk kebahagiaan kudus yang benar ini adalah peperangan rohani setiap hari agar iman memilih kebahagiaan yang benar.

Kembali ke episode podcast yang sama, Piper dengan baik menyimpulkan peperangan-iman setiap hari akan kekudusan-bahagia: "Ketika kita mengatakan Allah paling dimuliakan dalam Anda ketika Anda paling puas dalam Dia, maka kita mengatakan esensi peperangan dari kekudusan, atau pengudusan, adalah peperangan untuk menjadi puas dalam Allah."

Pernyataan itu mengandung kebenaran yang sangat penting yang patut direnungkan secara mendalam. (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : desiringGod.org
Alamat situs : http://www.desiringgod.org/articles/are-you-chasing-happiness-or-holiness
Judul asli artikel : Are You Chasing Happiness or Holiness?
Penulis artikel : Tony Reinke

Komentar