Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Kehidupan Lajang dari Perspektif Wanita

Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang Kehidupan lajang dari perspektif wanita. Hadir bersama kami pada saat ini Ibu Esther Tjahja Sarjana Psikologi dari Universitas Gajah Mada, yang kini sebagai staf psikologi di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang dan juga hadir bersama kami Ibu Pdt. Dr. Netty Lintang seorang gembala sidang Santapan Rohani Indonesia dan juga dosen STT Iman Jakarta. Kami percaya acara kali ini yang berjudul Kehidupan Lajang dari Prespektif Wanita akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi (PG) : Selamat datang kepada Ibu Esther dan Ibu Netty dan memang sekarang ini adalah saat yang tepat untuk membicarakan mengenai wanita lajang. Saya tidak tahu bagaimana kesan atau anggapan para ibu, tapi waktu saya misalkan ke kota di pulau Jawa maupun di pulau-pulau lain, mengunjungi gereja-gereja saya cukup prihatin melihat banyaknya wanita yang lajang terutama di gereja.

Hal-hal ini saya kira adalah hal yang perlu diperhatikan oleh gereja, sebab bagaimanapun mereka adalah bagian dari gereja yang memunyai kebutuhan tersendiri pula. Nah, mungkin pada hari ini kita bisa membicarakan topik ini dengan lebih tuntas. Yang pertama yang saya ingin tanyakan kepada Ibu Netty maupun Ibu Esther adalah kira-kira apa alasannya wanita itu hidup lajang?

Pdt. Dr. Netty Lintang (NL) : Ya ada sebagian karena mereka tidak mendapatkan jodoh yang cocok, tidak sesuai dengan selera mereka, standar level yang mereka sudah tentukan. Ada juga karena kekurangan pria terutama yng berkerohanian baik, karena pada umumnya wanita menginginkan seperti Alkitab mengajarkan, sang suamilah, prialah yang menjadi kepala rumah tangga yang memimpin, sebagai imam di dalam rumah tangga.

Jadi mereka menginginkan sekali apabila mereka menikah, mereka mendapat seorang pria yang sungguh-sungguh bisa memimpin mereka di dalam hal kerohanian.

Gunawan Santoso (GS) : Ibu Esther mungkin?
Esther Tjahja (ET) : Kalau saya lihat mungkin di kota-kota besar belakangan ini kebanyakan kaum wanita sudah berpendidikan lebih tinggi, merasa sudah sekolah berkeinginan untuk diterapkan di bidang pekerjaan. Sehingga kadang-kadang memang tidak sedikit juga ada beberapa rekan saya yang begitu mementingkan karier, pekerjaan sampai akhirnya mungkin lupa sudah lewat usia tertentu baru menyadari dia sudah terlambat untuk menikah. Tapi kalau saya mau lihat lebih jauh lagi tidak menutup kemungkinan juga kalau memang ada orang yang memang merasa terpanggil, panggilan Tuhan secara spesifik dalam kehidupannya itu untuk melajang, walaupun rasanya sedikit, kadang-kadang bisa menjadi kabur ya. Karena memang ada juga wanita yang mungkin punya pengalaman pahit, sampai usia sudah cukup matang hubungannya harus berakhir dan kurang enak, akhirnya memutuskan untuk tidak menikah. Nah, jadi kadang-kadang itu bisa menjadi sebuah keputusan karena pengalaman yang tidak enak, tapi mungkin juga karena memang panggilan Tuhan secara khusus buat wanita-wanita tertentu.
GS : Tapi yang saya tahu, Ibu Esther, juga karena kakaknya yang paling tua belum menikah, lalu adik-adiknya ini tidak berani mendahului kakaknya. Pada usia si kakak ini tambah lanjut terus. Nah, si adik ini juga tambah lanjut terus, nah ini pengaruh apa ya?
ET : Saya rasa memang budaya, budaya yang begitu kental. Memang ada beberapa teman-teman yang saya kenal juga begitu, sudah berpacaran sampai sekian tahun, tetapi akhirnya harus berakhir begtu saja karena sang pria tidak sabar menunggu dia karena setiap kali diajak menikah saya harus tunggu kakak dulu, ada yang belum menikah dan memang secara budaya dilarang, tabu untuk melangkahi kakaknya.
PG : Menurut Bu Netty dan Bu Esther, sebenarnya wanita itu merencanakan apa tidak untuk tidak menikah atau untuk hidup lajang?
NL : Kalau saya rasa yang memutuskan untuk hidup berlajang saya tidak berani bilang tidak ada, cuma tidak terlalu banyak. Pada umumnya wanita ingin menikah untuk memunyai satu keluarga, membina keluarga yang manis, yang baik saya kira pada umumnya begitu.
GS : Ada juga faktor karena orang tuanya mungkin tinggal sendiri karena pasangannya sudah meninggal. Lalu si anak tidak berani memutuskan untuk menikah, bahkan ibunya ini yang saya tahu itu agak berusaha menghalang-halangi si anak untuk menikah, karena si ibu akan merasa kehilangan.
NL : Ya ada juga sih, tapi cuma sebagian. Ada sebagian orang tua justru menginginkan supaya anaknya bisa menikah, mendapat menantu seorang pria untuk menjaga, melindungi. Bahkan ada yang mengajukan dengan satu syarat bahwa kalau mau menikah dengan anak saya kamu harus masuk rumah, tidak boleh dibawa.
PG : Kalau ada orang berkata begini, Bu Netty dan Ibu Esther, bahwa karier itu adalah musuh dari kawin, bagaimana setuju atau tidak?

ET : Tidak selalu ya, walaupun ada memang seseorang yang mungkin karena tuntutan tanggung jawab juga bisa, maksudnya karena adik-adiknya masih kecil, jadi harus dibiayai sekolahnya, orang tua sudah meninggal.

Itu karena merasa lebih bertanggung jawab akhirnya bekerja terus mementingkan kariernya sampai akhirnya memang lupa, jadi memang bermusuhan dengan kawin itu sendiri. Tetapi kalau mau diakui secara jujur saya yakin pasti keinginan yang seperti Ibu Netty katakan itu ada, walaupun dia berkarier sedemikian rupa, keinginan untuk membangun sebuah rumah tangga pasti ada di dalam hatinya.

PG : Kalau Bu Netty bagaimana sebagai hamba Tuhan?
NL : Karier saya pikir di satu sisi mungkin dikatakan "musuh dari pernikahan" ya, cuma pasti kita lihat juga karier apa. Misalnya kalau karier-karier yang biasa-biasa saja mungkin tidak terllu, tapi kalau makin seorang wanita memunyai karier yang tinggi misalnya sudah naik sampai ke pimpinan, nah itu menurut saya semakin susah.

PG : Saya melihat, Ibu Netty dan Ibu Esther, bahwa karier kalau melekat pada wanita seringkali menjadi sesuatu yang tidak terlalu pas atau nyaman. Tidak sepas dan senyaman kalau kita katakan pria itu berkarier, maksud saya begini, pria tidak pernah ada masalah yang kalau dia memunyai karier yang tinggi dan sebagainya.

Tapi saya kira wanita menghadapi karier dengan suatu perasaan yang sedikit 'ambivalen', perasaan yang sedikit tidak tahu pasti maju atau mundur. Tadi yang Ibu katakan waktu dia menanjak dalam kariernya, seolah-olah dia mungkin makin menjadi jauh dari kemungkinan dijangkau oleh pria. Atau misalkan dia akhirnya menikah, kariernya juga seringkali menjadi sesuatu yang membuat dia merasa kurang pas atau sedikit bersalah kalau misalnya si suami tidak memunyai kedudukan sebaik dia. Penghasilannya tidak sebesar dia atau nanti kalau dia memunyai karier terus dia memunyai anak, dia merasa dialah yang dituntut untuk berkorban, tidak pernah si suami merasa dia yang harus mengurangi kariernya, kebanyakan wanita yang diminta untuk mengurangi kariernya. Jadi saya mengamati karier itu sebagai sesuatu yang memunyai dua mata pedang, wanita menikmati karier tapi seolah-olah dia juga akan terjebak perasaan bersalah kalau terlalu menikmati karier.

ET : Ya itu memang dilema ya, saya bisa memahami sekali karena saya pernah juga mengalami. Maksudnya siapa yang tidak ingin bekerja seperti yang saya katakan tadi sudah sekolah, sudah punya ilmu rasanya juga orang tua yang sekarang pasti berharap sudah mengeluarkan biaya untuk anak-anaknya bahkan mereka tidak rela sesudah anaknya selesai, lulus kuliah, menikah lalu tidak bekerja.

Saya banyak mendengar orang tua mengeluh,"Wah, anak saya sudah sekolah tinggi-tinggi akhirnya tidak bekerja." Jadi terlepas dari dirinya sendiri, pasti orang tua yang membiayai punya harapan untuk anak berkarier, tapi memang sampai titik tertentu itu bisa menjadi masalah.

GS : Ya mungkin masalahnya bertambah kompleks karena kita tidak hidup sendiri di tengah-tengah masyarakat, mungkin Ibu Netty bisa memberikan pandangan khususnya di dalam jemaat ya Bu, kalau ada salah seorang jemaatnya yang tidak menikah-menikah itu biasanya terjadi rumor?

NL : Kalau dulu mungkin bisa jadi rumor, tapi saya melihat sekarang sekalipun di masyarakat Indonesia sudah makin lama makin biasa, karena banyak wanita karier yang terus terang mereka sukseslah.

Jadi mungkin ada, tapi tidak terlalu jadi masalah kalau saya lihat sekarang.

GS : Mungkin masalahnya justru di keluarga ya Bu, kalau masyarakat umum atau jemaat Ibu tidak melihat itu.
NL : Tidak terlalu melihat itu.
GS : Nah, bagaimana wanita itu sendiri menghadapi sikap masyarakat atau keluarga yang kadang-kadang curiga, mencemooh, atau menganggap aneh, Bu Esther?

ET : Sikapnya bisa lain-lain, maksudnya ada orang-orang yang rasanya bergembira saja, dia begitu menikmati dengan status lajangnya karena rasanya tidak perlu pusing dalam pengambilan keputusn untuk mau melakukan apa saja, bekerja di bidang apa, mau pergi ke mana itu rasanya tidak perlu banyak masalah dibanding orang-orang yang sudah menikah.

Sebentar-sebentar harus telepon ke rumah mengecek apa anaknya sudah minum susu atau belum. Tetapi di kalangan lain cukup banyak yang akhirnya stress juga dengan tuntutan orang tua atau keluarga, akhirnya memang cenderung menghindari pertemuan-pertemuan keluarga karena setiap kali berkumpul ada yang menikah. Ada yang ulang tahun, keluarga pasti bertanya kapan menyusul, lalu mana calonnya, itu memang hal yang sangat membuat stress ya.

PG : Jadi sebetulnya yang keluarga harus lakukan adalah tidak terlalu mempertanyakan kapan menikah, di mana calonnya, mungkin kalau bertanya sekali-sekali ya tapi jangan terlalu sering, sebab kalau terlalu sering akhirnya memberi tekanan pada si wanita itu sendiri.
ET : Tapi kadang-kadang tidak dalam bentuk pertanyaan juga, Pak Paul, kadang-kadang dalam bentuk pernyataan sepertinya empati tapi tetap menyebalkan. Misalnya kita tenang-tenang, tapi terus mereka berkata sudah jangan khawatir nanti Tuhan pasti sediakan, jadinya yang khawatir siapa, kita sendiri tidak apa-apa.
PG : Apakah Ibu Netty juga mengalami hal seperti itu dari keluarga dulu?

NL : Ya, tapi saya pikir untuk menghadapi mungkin pandangan orang kadang-kadang dari perkataan, mata, pandangan yang sinis. Saya pikir kita atau orang yang bersangkutan harus siap mental. Jadi kita jangan melihat diri kita sendiri aneh-aneh atau kekurangan sesuatu, kalau kita melihat diri kita demikian, kita salah tingkah terus.

Tapi kalau kita sudah siap, tahu apa yang harus kita hadapi, apa pun pandangan mereka ya tenang-tenang saja, saya pikir tergantung sikap kita bagaimana melihat kelajangan kita.

ET : Semakin kita berpikir mengapa orang lain menikah sedangkan saya tidak, itu makin dilihat, ditanyakan, pertanyaan seperti itu memang akhirnya akan lebih membuat pusing.

PG : Jadi kuncinya adalah jangan sampai kita menunjukkan bahwa kita melihat diri kita ada yang salah. Kalau kita memperlakukan diri kita seolah-olah ada yang salah, kemungkinan besar orang akan memperlakukan seperti itu pula, bahwa ada yang tidak benar.

Tapi kalau kita bisa berhadapan dengan orang, dengan perasaan yang nyaman dalam diri kita tidak ada yang salah, bahwa kita tidak menikah tidak apa-apa, orangpun juga akan menghormati kita dan tidak merasa sinis.

NL : Ya bukan saja kita jangan menunjukkan, maksud saya terimalah sebagaimana adanya. Kalau kita memunyai sikap yang demikian otomatis kita bisa menunjukkan, bukan maksud saya ditutup-tutup, terima sebagaimana saya, inilah saya memang pimpinan-Nya Tuhan sampai sejauh ini begini.
PG : Saya ingin bertanya yang lebih konkret misalkan orang bertanya kepada Ibu Esther, kepada Ibu Netty berapa anaknya, di mana suaminya, bagaimana perasaan Ibu dan bagaimana untuk menjawabnya?

ET : Susah ya, kadang-kadang saya suka membalikkan lagi kalau yang bertanya itu orang yang memang tidak tahu apa-apa, misalnya teman lama kemudian kita bertemu lagi dan bertanya "sudah punya anak berapa?"

Kalau rasanya situasinya tidak terlalu dibuat secara jelas, saya kadang-kadang suka mengatakan, "O.... anak saya banyak di mana-mana", karena saya banyak membimbing anak-anak atau anak-anak saya di sekolah minggu. Tapi kalau memungkinkan saya katakan memang saya belum menikah, maksudnya dia memerlukan jawaban seperti itu, bukan pertanyaan yang basa-basi. Saya katakan saja memang saya belum menikah.

GS : Bagaimana Bu Netty?
NL : Ya saya juga lihat situasi, kadang-kadang mungkin saya bisa katakan, "Suami saja belum ada bagaimana bisa punya anak," atau kadang-kadang saya katakan, "O..... belum punya", dia tanya "Berapa anak", "O ... belum punya". Kecuali kalau dia tanya terus, kalau tidak ya sampai di situ saja. Lihat-lihat keadaannya bagaimana.
GS : Saya pernah punya pengalaman dengan atasan yang kebetulan wanita lajang, kami yang menikah khususnya pria kadang-kadang melihat dia kalau memberikan suatu perintah atau permintaan agak berlebihan dibandingkan dengan yang sederajat dengan dia tapi menikah. Kesimpulan kami sementara adalah dia tidak punya anak, enak saja kerja sampai pukul 07.00, pukul 08.00 malam. Dia menuntutnya seperti itu ya tidak apa-apa, tapi kalau kita memunyai keluarga. Jadi kami menganggap dia semena-mena, karena dia tidak menikah, lalu tidak memahami perasaan kami yang menikah. Nah pendapat seperti itu bagaimana, Bu Netty?

NL : Semena-mena ini saya pikir dia mungkin tidak sadar karena kalau sampai saat ini dia belum menikah itu berarti begitu fokus, begitu konsentrasi di dalam karier. Di satu sisi mungkin bagi perusahaan senang mendapat atasan yang bisa mengatur anak buahnya.

Ya mungkin ada sebagian yang semena-mena, tapi mungkin ada sebagian yang mungkin dia tidak sadar, kesemena-menaan itu tidak disadari, saya rasa ada yang bisa begitu.

GS : Ya mungkin yang kedua itu yang lebih tepat, jadi tidak menyadari bahwa orang lain memunyai tanggung jawab yang lain. Masalahnya sekarang bagaimana wanita lajang yang punya kedudukan yang tinggi itu bersikap di tengah-tengah keluarga mereka khususnya, biasanya kalau mereka punya pendapatan yang jauh lebih baik daripada yang lain, nah, bagaimana seharusnya wanita lajang ini bersikap?

ET : Saya rasa memang intinya bukan hanya wanita lajang, sama seperti semua orang perlu belajar memahami posisi orang lain. Wanita lajang ini pun memang perlu untuk selalu mengingat bahwa orag lain mungkin bisa ada hambatan dalam arti tidak bisa seproduktif dia, orang lain bisa memunyai kesulitan karena harus membagi waktu dengan keluarganya.

Jadi kalau memang punya satu sikap yang seperti itu seharusnya ia bisa menjadi orang yang menyenangkan juga.

GS : Memang ada problem juga kadang-kadang wanita lajang ini makin lama makin sulit mendekati pria yang lain. Dia merasa kedudukannya sudah tambah tinggi otomatis pendapatannya lebih baik, lalu dia sulit untuk bergaul dan sebagainya itu, nah, sikap seperti ini sebenarnya bagaimana harus diatasi ?
NL : Ya saya pikir dia harus menyadari status kelajangannya, jangan merasa superiorlah. Kalau semasa dia sadar saya pikir itu Ok! Ok! Kalau dia tidak sadar bisa tidak seimbang.

PG : Mungkin Bu Netty dan Bu Esther pernah mendengar aksioma atau pernyataan di luar bahwa kalau wanita atau pria sama tidak menikah itu bisa jadi aneh. Saya percaya Ibu Esther dan Ibu Netty tidak merencanakan menjadi aneh, tidak melihat keanehan sampai saat ini.

Yang ingin saya tanyakan adalah pertama-tama apakah memang merupakan kebenaran dari aksioma tersebut, yang kedua adalah apa yang harus dilakukan para wanita lajang agar jangan sampai menjadi aneh?

ET : Memang pandangan itu ada benarnya juga, maksudnya dalam arti kita mungkin cukup sering menemukan orang-orang yang akhirnya dihubung-hubungkan. Saya juga punya pengalaman guru-guru di seolah dulu, kepala sekolah yang kalau sudah menyebalkan walaupun mungkin menikah pun menyebalkan, tetapi karena dia tidak menikah akhirnya orang-orang menghubungkan, memang perawan tua atau orang yang tidak menikah seperti itu.

Jadi memang yang menyebalkan terbukti juga ada. Tapi saya rasa itu mungkin lebih kepada faktor sulit menerima keadaan, itu bisa memengaruhinya, bahwa dia sendiri belum sebegitu siap untuk menerima kondisi kelajangannya sehingga begitu mudah untuk secara emosi mudah terusik kalau mungkin orang-orang sudah mulai menyinggung statusnya. Atau sekalipun orang tidak menyinggung statusnya secara langsung, tetapi dengan cara melihat seperti tadi yang dikatakan sudah mulai yakin pasti orang membicarakan saya, sehingga akhirnya memang secara emosi mudah untuk tersentuh dan akhirnya memang jadi tidak menyenangkan di hadapan orang-orang sekitarnya.

NL : Ya saya juga sependapat, adakalanya mungkin orang itu sendiri andaikata dia menikah juga bisa ada keanehan. Tapi memang biasanya kalau orang hidup sendiri, apa-apa dia sendiri, ambil keutusan sendiri.

Memang kesendirian ada kemungkinan membuat seseorang yang hidup lajang itu bisa sedikit aneh, mungkin kalau orang melihat terus terang saja karena dia sendiri tidak berpikir orang harus bagaimana, bisa menimbulkan hal-hal yang demikian saya pikir.

PG : Jadi mungkin Ibu Netty dan Ibu Esther ada saran bagi para wanita lajang yang mendengarkan kita di sini, apa yang bisa mereka lakukan untuk mengisi kebutuhan emosional. Sebab kesendirian itu adalah sesuatu yang menjadi bagian hidup yang sangat-sangat riil ya?

ET : Tetap menjalin relasi ya, saya pikir memang kadang-kadang sulit, kalau dulu pernah bersahabat akrab lalu teman akrabnya sudah menikah kadang-kadang mau tidak mau berubah karena dia haru mengurus suami dan keluarganya, sementara dia tetap sendiri.

Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dia tetap bisa menjalin relasi dengan orang-orang lain juga, jadi misalnya tetap terlibatlah di dalam kehidupan sosial mungkin pelayanan, persekutuan, hal-hal yang memang bisa membuat dia bisa mengaktualisasikan dirinya dan menjalin kehidupan sosialnya, jangan justru malah menyendiri takut dibicarakan orang atau takut dipandang remeh.

NL : Atau mungkin juga dia banyak keponakan, sayangilah mereka, ajak mereka pergi. Saya pikir ia bisa juga menikmati hidup kekeluargaan, ada kehangatan. Di samping dia memberikan kehangatan ada orang, dari sisi yang lain dia juga mendapatkan kehangatan dari orang.
PG : Kalau secara sosial bagaimana Bu Netty dan Ibu Esther, maksudnya yang tadi Bu Esther singgung misalnya menikah, kita datang sendirian, orang lain datang dengan suaminya. Bagaimana cara-cara atau mungkin ada kiat-kiat untuk menghadapi hal seperti itu?

ET : Kalau memang berpikir bahwa tidak ada yang salah dengan saya sendiri, saya rasa sebenarnya tidak apa-apa. Datang sendiri tidak ada yang salah, sama saja seperti orang yang mungkin punya suami tapi suaminya tidak bisa datang ke pesta.

Jadi sebenarnya situasinya sama karena saya datang sendiri.

PG : Jadi jangan justru dihindari, memang ada kemungkinan agak enggan sehingga menghindari untuk datang, kalau Bu Netty bagaimana ?
NL : Ya ada kalanya saya pergi seorang diri, ada kalanya saya bisa ajak teman saya untuk menemani ke undangan.
ET : Tidak harus sendiri ya?
GS : Ya memang masalah ini muncul, dipertanyakan oleh salah seorang pendengar kami yang setia. Saya rasa dengan mengikuti pembicaraan ini, pasti akan sangat bermanfaat khususnya bagi ibu yang bertanya kepada kami. Namun sebelum kita mengakhiri perbincangan ini mungkin Pak Paul akan menyampaikan suatu kesimpulan.

PG : Saya akan bacakan dari Filipi 4:11-12, "Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan, aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan, dalam seala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku."

Bersambung di Filipi 4:13, "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." Yang bisa saya simpulkan dari yang Ibu Esther dan Ibu Netty katakan adalah kita perlu menerima keadaan kita, itu yang pertama. Jangan sampai kita merasa ada masalah dengan status lajang kita. Tidak apa-apa lajang, ini adalah bagian hidup yang Tuhan berikan kepada kita sampai saat ini, tidak tahu nantinya bagaimana, yang penting sampai saat ini inilah porsi yang Tuhan telah tetapkan, terimalah tanpa harus ada merasa bersalah. Dan yang kedua adalah kita harus belajar mencukupi sebab memang kehidupan lajang memunyai juga minus dan plusnya, waktu lebih banyak, tenaga lebih banyak bisa dicurahkan tapi minusnya juga ada yang kita telah bahas. Tugas kita adalah belajar untuk mencukupinya, tidak bersungut-sungut menyalahkan siapa-siapa, atau menyalahkan Tuhan tapi belajarlah mencukupi yang kurang itu. Dan yang tadi yang telah Ibu Netty dan Ibu Esther katakan, saya kira sangatlah bermanfaat untuk kita semuanya. Saya harap semua wanita lajang yang mendengarkan kita bisa menimba manfaat dan saran-saran dari Ibu Netty dan Ibu Esther. Terima kasih atas kedatangan Ibu Netty dan Ibu Esther, Tuhan memberkati !

GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan sebuah perbincangan dengan Ibu Esther Tjahja dan Ibu Pdt. Dr. Netty Lintang tentang kehidupan lajang dari prespektif wanita. Kalau pun Anda masih punya masalah dan pertanyaan-pertanyaan kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih.

Diambil dari:

Nama Situs : Telaga
Penulis : Paul Gunadi
Alamat URL : http://www.telaga.org/audio/kehidupan_lajang_dari_perspektif_wanita
Tipe Bahan: 
kategori: 

Komentar