Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Aborsi: Masalah Etis-Rohani 1

Masalah aborsi merupakan persoalan kontroversial yang mesti dicermati dengan lemah lembut dan penuh kehati-hatian. Penyajian informasi yang tidak berimbang juga sering mengundang reaksi keras, seakan-akan semua pelaku aborsi bayi dalam janin adalah para pembunuh berdarah dingin.

Bagi para wanita muda yang hamil di luar pernikahan, pilihan aborsi acap kali merupakan keputusan yang diambil dengan penuh kebingungan, ketakutan, dan keputusasaan -- jauh berbeda dengan karakter seorang pembunuh berdarah dingin. Bagi mereka dan bagi banyak wanita lain, aborsi merupakan suatu jalan keluar yang menyakitkan, dan memang demikianlah seharusnya, karena ada hal-hal dalam hidup ini yang tak akan terselesaikan melalui proses rasionalisasi yang secanggih apa pun. Aborsi harus ditatap dengan hati nurani, bukan rasio!

Masalah Etis-Rohani, Bukan Medis

Karena praktik aborsi pada umumnya terjadi dalam suatu perawatan medis dan mengikutsertakan tenaga medis, maka ada yang beranggapan bahwa aborsi merupakan fenomena atau tindakan medis semata. Suatu asumsi yang keliru karena dilandasi dasar pemikiran yang keliru. Sebagai perbandingan, saya akan memaparkan suatu kejadian yang melibatkan tenaga medis, namun sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan medis.

Dalam upayanya memerangi obat-obatan terlarang yang masuk melalui perbatasan selatan Amerika Serikat, pemerintah AS menyelundupkan salah seorang polisinya masuk menjadi salah seorang anggota kelompok pengedar obat terlarang di Meksiko. Malang tak dapat ditolak, penyamaran polisi ini terkuak dan akhirnya ia pun dibunuh secara kejam. Sebelum ia mati, ternyata polisi ini mengalami penyiksaan yang sangat biadab dan setiap kali ia pingsan kesakitan, ia menerima suntikan dari seorang dokter agar cepat siuman. Tujuan intervensi medis ini jelas, yakni supaya polisi tersebut mencicipi setiap siksaan dan penderitaan yang ditimpakan kepadanya dalam kesadaran penuh.

Saya yakin ada di antara Anda yang akan berseru bahwa dalam contoh di atas tindakan dokter itu tidak dapat disebut perawatan medis. Betul sekali! Sesuai dengan sumpah Hipokrates, perawatan medis selalu berorientasi pada pelestarian hidup, bukan penyiksaan, apalagi penghentian hidup. Tindakan dokter tersebut bukanlah perawatan medis melainkan intervensi medis yang tujuannya bertolak belakang dengan penyembuhan, apalagi pelestarian hidup. Demikian pula dengan praktik aborsi di kalangan wanita yang hamil di luar nikah. Tindakan medis yang terlibat dalam proses aborsi seperti itu tidaklah dapat dikategorikan sebagai perawatan medis karena tidak bertujuan untuk pelestarian atau pemulihan hidup. Sebaliknya, yang terjadi adalah penghentian hidup. Nah, sekarang mungkin ada di antara Anda yang berkeberatan dengan istilah "hidup" seperti yang saya gunakan di atas. Anda mungkin mempertanyakan apakah janin yang masih belum lengkap dapat dikategorikan [sebagai makhluk] hidup.

Sebagai perbandingan saya akan menggunakan peristiwa menggemparkan yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Ternyata manusia menemukan bahwa ada tanda-tanda kehidupan di planet Mars dan penemuan ini tentu menyenangkan hati para ilmuwan. Tetapi sebelum kita terlalu bersenang hati dengan penemuan itu, coba kita perhatikan terlebih dahulu apa yang mereka maksudkan dengan "kehidupan" di Mars. Ternyata yang disebut kehidupan di Mars tidak lain dan tidak bukan adalah tumbuhan-tumbuhan sejenis lumut yang hidup di sana -- masih terlalu jauh untuk dapat dikategorikan sebagai kehidupan yang lengkap, apalagi jika dibandingkan dengan kemungkinan adanya makhluk hidup seperti manusia. Sungguhpun demikian para ilmuwan menyebut temuan itu sebagai "kehidupan". Di pihak lain, janin yang sudah memunyai sebagian anggota tubuh dan bisa ada karena ibu yang mengandungnya hidup, disebut gumpalan.

Aborsi tidaklah dapat dilihat sebagai prosedur medis belaka karena masih ada kriteria medis itu sendiri yang belum terpenuhi oleh tuntutan aborsi. Aborsi tidak dapat digumpalkan menjadi suatu terminologi medis yang hampa nilai etis-rohani, bak menghilangkan kutil dari kulit. Aborsi sarat dengan muatan etis-rohani sebab memang itulah aborsi.

Masalah Etis-Rohani, Bukan Hak Asasi

Ada hukum yang melembagakan hak asasi ibu di atas hak asasi bayi selama bayi itu belum berumur 3 bulan. Dengan kata lain, aborsi bebas dilakukan secara legal pada trimester pertama kehamilan. Dasar pertimbangan ini adalah sebelum 4 bulan, bayi dianggap belum menjadi manusia, jadi ia tidak memunyai hak asasi tersendiri. Akibatnya, hak asasi ibu melampaui hak asasi janin itu. Itulah sebabnya gerakan pendukung aborsi di Amerika Serikat memanggil dirinya propilihan. Seorang wanita bebas menentukan pilihannya sebab keputusan aborsi menyangkut tubuhnya sendiri.

Sudah tentu apabila kita mengukur manusia dari segi pertumbuhan jasmaninya saja, pada usia 4 bulan ia belumlah memiliki kematangan fungsi jasmani secanggih usia 4 tahun. Masalah akan timbul jika kita menilik dengan teliti hukum yang berlaku di Amerika Serikat. Pada trimester terakhir aborsi menjadi ilegal dan ini yang menarik, pengguguran kandungan pada bayi di atas 6 bulan merupakan tindakan pidana. Saya masih teringat akan satu kasus yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Ada sepasang remaja yang membuang bayi mereka dan mereka didakwa dengan delik pembunuhan. Dalam selang beberapa bulan, makhluk yang sama (bayi itu) menerima pelabelan yang berbeda dan mendapatkan penganugerahan hak asasi pula.

Gerakan yang menentang aborsi di Amerika Serikat menyebut dirinya prokehidupan dan kelompok ini berusaha memperjuangkan hak asasi bayi yang belum mampu menyuarakan haknya untuk hidup. Mohon perhatikan istilah-istilah legal yang digunakan. Pada usia 4 bulan seorang bayi yang diaborsi disebut "diaborsi" sedangkan pada usia 6 bulan, tindakan itu disebut "dibunuh". Saya kira pendefinisian hidup seperti ini sangat dangkal. Ironisnya, untuk lumut di Mars para ilmuwan menggembar-gemborkan, "Ada kehidupan di Mars!" Sedangkan bagi bayi yang berusia 4 bulan, ia tidak lebih dari gumpalan daging dan darah -- sama sekali bukan kehidupan -- yang tidak memiliki hak asasi. Saya khawatir dasar pertimbangan aborsi seperti ini lebih dititikberatkan pada peribahasa "Out of sight, out of mind" (Tidak terlihat, maka tidak dipikirkan).

Masalah Etis-Rohani, Bukan Psikologis

Pertimbangan memilih aborsi atau tidak kadang dialasi atas dasar psikologis. Aborsi dianggap dapat mengganggu kesehatan jiwa pelakunya. Atau kebalikannya, tidak memilih aborsi justru diidentikkan dengan [timbulnya] stres pada si calon ibu. Menurut saya, pertimbangan psikologis tidaklah seharusnya menjadi faktor penentu dalam pertimbangan aborsi. Muatan psikologis dari aborsi sangat bergantung pada kematangan jiwa si pelaku dan terutama nilai rohaninya. Walaupun aborsi sering kali membuahkan dampak psikologis yang berkepanjangan, namun masalah intinya tetaplah etis-rohani.

Mungkin ada di antara Anda yang menanyakan, bukankah aborsi justru merupakan alternatif yang lebih baik bagi seorang remaja putri daripada menanggung malu mengandung seorang bayi. Apalagi jika pacarnya menolak untuk bertanggung jawab. Mungkin ada pula yang meragukan kesiapan mental seorang remaja putri melahirkan seorang bayi di luar pernikahan. Semua ini adalah seruan keprihatinan yang sah dan sudah seharusnyalah kita memikirkan dampak-dampak ini. Keputusan untuk tidak aborsi harus mengikutsertakan faktor-faktor psikologis seperti ini. Tetapi untuk sejenak marilah kita melihat masalah ini dari sudut yang berbeda.

Salah satu ketakutan orang tua adalah hancurnya masa depan si remaja putri apabila ia dibiarkan memelihara bayi dalam rahimnya itu. Namun, apakah ketakutan itu berdasar? Apakah masa depannya sungguh akan hancur bila ia melewati 9 bulan masa kehamilan? Apakah jiwanya sungguh akan mengalami guncangan berat yang tak terbendung? Belum pasti. Yang lebih pasti adalah 9 bulan di depannya akan menjadi kurun yang sulit dan ia memerlukan bantuan untuk bisa melaluinya. Jadi, pertanyaan yang timbul ialah, apakah perbuatan menghilangkan hidup si bayi dapat dibenarkan guna memudahkan hidup si remaja putri selama 9 bulan mendatang? Mana yang lebih penting, pergumulan psikologis atau hidup seorang anak manusia?

Diambil dari:

Judul buku : Seri Psikologi Praktis: Aborsi: Masalah Etis-Rohani
Judul Artikel : Aborsi: Masalah Etis-Rohani
Penulis : Pdt. Paul Gunadi Ph.D
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2001
Halaman : 1 -- 8

"Saat Beban Kehidupan Begitu Menekan Hidupmu, Lakukanlah Ini: Datang Kepada Yesus, Tanggalkan Bebanmu dan Serahkan Kepada-Nya"

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar