Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Hati yang Melayani

Diringkas oleh: S. Setyawati

Konsep tentang kesediaan berkorban dan saling melayani dapat menolong kita memperbarui aspek kerohanian dalam kehidupan suami istri. Dietrich Bonhoeffer menulis, "Pernikahan kristiani ditandai dengan disiplin dan penyangkalan diri.... Oleh sebab itu, ajaran kristiani tidak merendahkan nilai pernikahan, tetapi justru memurnikannya."(1) Sayangnya, selama ini spritualitas kristiani dalam pernikahan tidak banyak dikembangkan. Selama berabad-abad, kerohanian kristiani dianggap hampir identik dengan "kerohanian selibat". Menurut Mary Anne McPherson Oliver, hal ini "tidak memadai dan bahkan berbahaya dalam beberapa kasus, terutama bagi suami istri." Menurut Oliver, kerohanian selibat adalah semua gaya hidup agamawi yang sama sekali tidak melibatkan hubungan seksual, yang terpenting hanyalah bertanggung jawab untuk diri sendiri dan berelasi dalam hubungan yang fleksibel serta tidak terikat."(2) Pernyataan ini terkesan memojokkan kaum selibat. Dan, gambaran mereka tentang hidup yang berfokus pada diri sendiri menyadarkan kita bahwa hal itu bertentangan dengan ajaran Kristus untuk mengutamakan kepentingan orang lain. Pada satu sisi, kita pantas menghargai keputusan seseorang yang memberi diri sepenuhnya untuk melayani Tuhan. Di sisi lain, kita juga perlu memuji mereka yang memutuskan untuk memberikan diri untuk melayani Tuhan bersama dengan mitra mereka seumur hidup, bersepakat membesarkan anak-anak yang mengasihi dan melayani Tuhan, serta sesama.

Gambar: Pasangan

Namun, mengapa ada banyak pernikahan yang mengalami kegagalan. Itu karena banyak orang tidak memasuki mahligai pernikahan dengan perspektif "melayani pasangan" dan memandang hubungan dalam pernikahan sebagai hubungan yang mementingkan diri sendiri (egois). Katleen dan Thomas Hart, penulis buku "The First Two Years of Marriage", menyebut situasi ini sebagai "misteri paskah" pernikahan, sebuah proses "mati dan bangkit kembali" yang berlangsung terus-menerus dalam kehidupan pasangan suami istri. Setiap hari, kita harus mati terhadap keinginan kita yang egois dan bangkit sebagai seorang hamba yang siap melayani. Setiap hari, kita dipanggil untuk meneladani Kristus yang menderita di kayu salib, dan kemudian dimampukan untuk bertindak oleh Kristus yang telah bangkit. Kita mati terhadap berbagai harapan, tuntutan, dan ketakutan dalam pernikahan. Kita bangkit untuk berkompromi, melayani, dan memulai dengan berani. Dengan demikian, panggilan pernikahan kristiani yang sejati merupakan sebuah tawaran dan bukan sebuah permintaan. Saat kita mengundang seseorang memasuki hubungan pernikahan, pertanyaan yang sesungguhnya bukanlah, "Maukah kamu melakukannya untukku?" melainkan, "Maukah kamu menerima apa yang hendak kuberikan?" Jika pernikahan dipandang dari perspektif ini setiap hari, berbagai kekecewaan bisa dihindari karena masing-masing pasangan sibuk memikirkan sudah sebaik apa mereka menjalankan tugas melayani pasangan.

Yang Layak

Kita perlu mengingat bahwa inisiatif melayani merupakan sebuah disiplin rohani yang hanya dapat kita lakukan dengan pertolongan Tuhan, dan hanya dapat dihidupi dengan menerapkannya kepada orang lain. Tuhan mengajarkan agar kita melayani sesama tanpa memandang apakah ia layak atau tidak, seperti yang dicontohkan oleh Rasul Yohanes dalam 1 Yohanes 3:17. Yohanes tidak memberi kriteria bahwa yang perlu kita tolong hanyalah orang-orang yang tidak berdosa. Ia malah mengajarkan bahwa apa yang mereka derita menentukan apa yang menjadi kewajiban kita. Dan, kita melakukannya atas dasar kasih ilahi, bukan penilaian atau penghakiman manusia. Kita melayani sesama yang membutuhkan karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita dan memanggil kita untuk mengasihi mereka sebagai wujud kasih kita kepada Tuhan. Kita tidak mengasihi sesama berdasarkan kelayakan, kita juga tidak berhak menentukan kelayakan sesama. Intinya, kita harus menggenapi hukum kasih: mengasihi Tuhan dan sesama.

Kita harus menaati dan melayani Tuhan. Jadi, ketika kita menaati Dia, orang yang kita layani tidak perlu memenuhi syarat apa pun untuk mendapatkan pelayanan kita. Namun, hal ini sulit diterapkan dalam pernikahan yang memiliki begitu banyak tuntutan dan harapan. Oleh karena itu, mari kita saling mengingatkan untuk senantiasa taat kepada Tuhan dan bahwa kita dipanggil untuk melayani pasangan kita. Jadi, tidak peduli bagaimana pasangan kita memperlakukan kita, tanggapilah dia dengan sikap seorang hamba.

Contoh melayani seperti seorang hamba ditunjukkan oleh Yesus ketika Ia membasuh kaki para murid-Nya (Yohanes 13:1-17). Walaupun Ia tahu bahwa murid-murid-Nya akan lari meninggalkan Dia dan bahkan ada yang akan mengkhianati-Nya, Ia tetap membasuh kaki mereka. Tuhan tidak meminta kita mengasihi orang yang layak dikasihi atau yang dapat membalas pelayanan kita. Jadi, jika Anda merasa berada dalam pernikahan yang berat sebelah karena Anda selalu memberi dan tidak pernah menerima, pakailah situasi tersebut untuk belajar lebih berorientasi pada Tuhan dan menolong Anda bertumbuh pesat secara rohani. Dalam pengajaran kristiani, melayani itu sangat penting. Dan, semua situasi yang membentuk hati seorang hamba dalam diri kita sangat berharga untuk dijalani, termasuk pernikahan yang berat sebelah.

Hati yang Melayani

Kita perlu mengingat bahwa inisiatif melayani merupakan sebuah disiplin rohani yang hanya dapat kita lakukan dengan pertolongan Tuhan, dan hanya dapat dihidupi dengan menerapkannya kepada orang lain.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Salah satu tantangan dalam karakter kristiani adalah menghidupi pengajaran Alkitab yang mementingkan sikap hati di balik sebuah tindakan. Yesus mengatakan bahwa perbuatan yang benar dapat dilakukan dengan alasan/motivasi yang salah, akibatnya kita kehilangan upah kita (Matius 6:1-4). Istri/suami mungkin saja melayani pasangannya karena ingin menunjukkan bahwa ia memegang kendali atas hubungan mereka. Seperti kutipan ini, "Orang-orang dengan kepribadian kuat cenderung menganggap hanya dirinya yang dapat memikul semua tanggung jawab dalam pernikahannya. Daripada meminta pasangannya untuk ikut ambil bagian dalam hal-hal tertentu, mereka lebih suka melakukan semuanya sendirian.... Sekalipun terlihat seperti cinta yang penuh pengorbanan, ini sebenarnya adalah hasrat untuk menjadi pihak yang lebih dominan."(3)

Konsep melayani sendiri meliputi memberi ruang bagi pasangan Anda untuk ikut ambil bagian/proaktif. Jadi, melayani berarti kita harus membasuh kaki orang lain dan mengizinkan orang lain membasuh kaki kita. Tindakan melayani pun harus didorong oleh hati yang penuh kemauan, kerelaan, dan tanpa keluhan. Inilah ciri yang harus dimiliki orang kristiani. Jika kita melayani pasangan dengan letupan kejengkelan dan menggerutu, artinya kita sedang menunjukkan jiwa martir palsu yang dimuati kesombongan, bukan sikap Kristus.

Prinsip melayani secara sukarela dalam pernikahan memberikan ruang bagi para pasangan suami istri untuk saling memahami bahwa pasangannya memiliki peran dan cara melayani yang berbeda darinya. Maka dari itu, kita harus menjaga perilaku dan hati untuk melayani pasangan kita dan memberi kesempatan kepada pasangan untuk melayani kita. Dengan demikian, kita bisa belajar menjadi pribadi yang semakin bergantung pada Tuhan dan bertambah kuat secara rohani. Pastikan bahwa kita menemukan sukacita sejati saat kita sungguh-sungguh melayani dengan hati yang benar.

Daftar Pustaka:

  • Dietrich, Bonhoeffer. 1963. "The Cost of Discipleship". New York: Macmillan. Hlm. 149.
  • Oliver. "Conjugal Spirituality". Hlm. 1.
  • Piper. "The Biblical View of Sex and Marriage". Hlm. 157.
Diringkas dari:
Judul asli buku : Sacred Married
Judul buku terjemahan : Sacred Married -- Bagaimana Seandainya Tuhan Merancang Pernikahan Lebih untuk Menguduskan Kita daripada untuk Menyenangkan Kita?
Judul bab : Jadikan Aku Seorang Hamba
Judul asli artikel : Ciri Pembeda Pernikahan Kristiani
Penulis : Gary Thomas
Penerjemah : Natasha Leung
Penerbit : Yayasan Gloria, Yogyakarta 2013
Halaman : 241 -- 248

Download Audio

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 
kategori: 

Komentar