Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs Wanita

Kekayaan dan Kedewasaan

Uang adalah sebuah aspek penting dalam hidup, dan seluruh hidup itu bersifat rohani. Pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler itu tidak benar. Kita dapat memuliakan Allah dengan uang kita dan kita dapat menikmati uang dengan ucapan syukur. Kita harus selalu mensyukuri pemeliharaan Allah.

Kita adalah makhluk jasmani rohani yang hidup dalam sebuah dunia materi. Allah menciptakan kita dengan sifat-sifat jasmani dan rohani. Tubuh kita terdiri dari materi dan ditunjang oleh materi. Materi adalah suatu aspek dasar kehidupan yang tidak mungkin diabaikan. Dunia materi sekarang ini mungkin bersifat sementara, tetapi Alkitab tidak menunjukkan bahwa materi itu sesuatu yang rendah nilainya. Jadi materi adalah satu bagian dari hidup kita yang penting, utama, dan tetap.

Gambar: uang

Apabila falsafah kita tentang dunia materi tidak seimbang dengan sifat alami kita seperti yang diciptakan Allah dan dunia seperti yang diciptakan Allah, maka akan timbul masalah-masalah serius. Alkitab memberi petunjuk yang memadai untuk mengembangkan suatu falsafah yang seimbang tentang harta kekayaan.

Uang mewakili hal-hal materi. Sebagai alat penukar dan penyimpan nilai, uang mempermudah penanganan kita akan harta kekayaan. Jadi, uang merupakan satu masalah yang mendasar dan umum bagi manusia. Dikatakan bahwa rata-rata 50 persen dari hidup kita berhubungan dengan uang. Hal ini berarti bahwa 50 persen waktu, perhatian, kekuatan mental, emosi, percakapan, keberhasilan, kegagalan, masalah kita -- 50 persen dari hidup kita. Itulah sebabnya Alkitab begitu banyak berbicara tentang uang: siapa yang menyediakannya bagi kita, bagaimana cara yang harus kita tempuh untuk mendapatkannya, dan cara yang justru tidak boleh kita tempuh untuk mendapatkannya, apa yang seharusnya kita lakukan dengannya, masalah-masalah dan kesempatan-kesempatan berkenaan dengannya, dan akhirnya -- dan yang paling penting bagaimana seharusnya sikap kita terhadap uang.

Tahap-Tahap Kebutuhan

Dr. Abraham Maslow, seorang ahli ilmu jiwa, berbicara tentang tingkat-tingkat kebutuhan yang bermula dengan tuntutan-tuntutan badaniah yang dasar, kemudian keselamatan dan keamanan, kasih dan pengakuan, dan akhirnya kesadaran akan potensi dan harga diri. Bagi orang-orang Kristen, setiap tahapan ini dipengaruhi dan diubah oleh hubungan kita dengan Allah dan Kerajaan-Nya. Kesadaran akan potensi diri akan sangat berbeda di dalam Kerajaan Allah daripada di luarnya, tetapi tahap-tahap itu masih tetap berlaku.

Maslow membuktikan bahwa tahap-tahap kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi lebih dulu sebelum seseorang dapat meningkat ke tahap yang lebih tinggi. Hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa Yesus meletakkan kesejahteraan rohani kita pada tahapan dasar: "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya" (Matius 6:33). Di sini Yesus berbicara tentang majikan kita yang utama -- apakah itu Allah atau uang -- dan dasar kepercayaan kita, sikap, serta motivasi hidup kita. Ia selanjutnya berjanji bahwa sementara kita menetapkan urutan prioritas yang tepat, semua tahap kebutuhan hidup kita akan dipenuhi. Apabila kita merasa bahwa landasan rohani yang teguh memperkuat seluruh kehidupan sudah kita temukan, kita masih harus menghadapi kenyataan analisis Maslow. Kita masih harus menjalani semua tahap kehidupan, termasuk materi. Menempatkan Kerajaan Allah dalam prioritas utama adalah langkah awal, tetapi Matius 6:33 tidak menghapuskan banyak ajaran Alkitab mengenai hal-hal materi.

Sebagian dari aspek ekonomi dalam kehidupan terutama berkenaan dengan tahap-tahap dasar Maslow, yaitu kebutuhan-kebutuhan badani dan keamanan. Pemenuhan tahap-tahap yang lebih maju mungkin bisa diperluas atau disimpangkan oleh falsafah ekonomi seseorang. Seseorang mungkin mencoba membeli kasih dan penghargaan dengan uang, yang lain mungkin merasa tidak berharga mungkin karena kegagalan ekonomi. Uang yang terkumpul mungkin disamakan dengan kesadaran akan potensi dan harga diri. Sebaliknya, kemurahan hati dapat memperlihatkan kasih dan membawa ke arah kesadaran akan potensi diri dalam melayani orang-orang lain. Akan tetapi, yang saya maksudkan di sini adalah bahwa apabila tahap-tahap kebutuhan yang pertama belum terpenuhi, kita tidak mungkin menyadari sepenuhnya potensi kita pada tahap-tahap yang lebih tinggi. Apabila aspek-aspek keuangan masih merupakan persoalan pokok kita maka kita tidak akan pernah bebas untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek hidup dan pelayanan yang lebih maju.

Mengendalikan Finansial

Allah menghendaki agar kita secara dinamis dapat mengendalikan aspek keuangan dari hidup kita, artinya agar kita merdeka. "Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka!" (Yohanes 8:36). Seorang Kristen dapat memiliki kebebasan finansial dalam arti yang murni, tetapi bukan dalam arti yang biasa digunakan untuk menunjukkan banyaknya uang. Sesungguhnya, kebebasan dalam aspek keuangan tidak banyak hubungannya dengan jumlah uang yang kita miliki, tetapi dengan sikap kita terhadap uang, penggunaan yang tepat serta berdisiplin terhadap apa yang kita miliki, dan pemahaman kita, serta ketaatan kepada ajaran-ajaran Alkitab tentang uang dan harta kekayaan. Kebebasan ini meliputi beberapa hal.

  1. Kebebasan dari kekhawatiran dan perhatian yang terus-menerus tentang kekayaan.
  2. Kebebasan dari perbudakan oleh hal-hal materi.
  3. Kebebasan untuk menggunakan harta kekayaan untuk maksud kekal.
  4. Kebebasan untuk menikmati pemeliharaan Allah tanpa diperbudak oleh materialisme.

Banyak orang Kristen yang begitu berusaha menghindari materialisme sehingga mereka tidak dapat menikmati kebebasan-kebebasan yang positif. Perasaan apa yang segera muncul pada saat Anda mendengar kata "uang"? Biasanya yang muncul ialah rasa khawatir, risau, rasa bersalah, dan keinginan untuk memiliki. Seharusnya perasaan itu diganti dengan sukacita, pujian, dan ucapan syukur! Sayang apabila kita memiliki perasaan-perasaan positif ini, sering kali kita justru cenderung menekannya. Entah bagaimana perasaan-perasaan tersebut tampaknya "materialistis" bagi kita. Kita lupa bahwa "Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati (1 Timotius 6:17). Paulus mengatakan hal itu dalam kaitan langsung dengan kekayaan. Uang adalah bagian dari "segala sesuatu" yang telah disediakan Allah bagi kita.

Kedewasaan Finansial

Salah satu tolok ukur kehidupan rohani kita adalah kedewasaan dalam hubungannya dengan uang. Yesus berkata, "Orang yang bisa dipercayai dalam hal-hal kecil, bisa dipercayai juga dalam hal-hal besar. .... Jadi, kalau mengenai kekayaan dunia ini kalian sudah tidak dapat dipercayai, siapa mau mempercayakan kepadamu kekayaan rohani?" (Lukas 16:10-11, BIS) Perkara-perkara kecil adalah harta kekayaan, harta yang sesungguhnya adalah hal-hal yang bernilai kekal. Walaupun materi adalah pemeliharaan Allah bagi kita dan harus dinikmati dan dimanfaatkan dengan ucapan syukur, tetapi materi tidak memiliki nilai tetap dan akan berlalu. Alam semesta dalam bentuknya saat ini adalah sebuah arena sementara bagi penyataan Allah. Jadi uang tidak memiliki nilai kekal maupun nilai dasar, tetapi hanya merupakan sebuah alat.

Iblis menggunakan uang dan kekayaan untuk menimbulkan ketamakan, iri hati, egoisme, cemburu, kesombongan, dan penyembahan berhala. Sebaliknya, Allah menggunakan kekayaan untuk menunjukkan kasih dan pemeliharaan-Nya yang berlimpah bagi kita. Ia ingin agar kita menggunakan uang untuk membawa kita kepada kedewasaan, yaitu untuk menyempurnakan kita dalam kasih, kemurahan hati, kerajinan, pengendalian diri, disiplin rasa syukur, dan sifat-sifat rohani lain.

Allah ingin melihat pada kedewasaan, pertumbuhan, dan kemajuan kita dalam "mencapai ... tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus." (Efesus 4:13) Seperti pada segi lain dari kehidupan, Allah tertarik akan apa yang terjadi di dalam diri kita. Ia lebih tertarik pada siapa kita daripada apa yang kita lakukan: "Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati." (1 Samuel 16:7) Jadi Dia lebih tertarik dengan bagaimana dampak proses penggunaan uang pada kita daripada apa yang kita lakukan dengan uang.

Dalam kaitannya dengan uang, Paulus ingin agar orang-orang Korintus juga "kaya dalam pelayanan kasih ini" (2 Korintus 8:7). Pusat perhatian kita cenderung kepada berapa banyak uang yang kita berikan. Dengan mudah kita lupa bahwa Allah tidak tertarik untuk mencari uang, tetapi membawa anak-anak-Nya kepada kedewasaan. Ia tertarik pada menjadi apa kita nanti.

Kebudayaan

Sebagai orang-orang Kristen, kita memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap kebudayaan masyarakat di sekitar kita. Sebenarnya tanggapan kita terhadap kebudayaan kita itu akan menentukan keefektifan kesaksian kita. Agar kesaksian kita itu tetap tulus, kita harus memperlihatkan "kepribadian yang sama sekali baru" seperti yang dikatakan Roma 12:2a, "Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu". Pada saat yang sama kita harus menjaga kepribadian yang baru itu agar selalu tampak di dalam diri kita.

Mari kita melihat sekilas tentang bagaimana tanggapan orang-orang Kristen terhadap kebudayaan, khususnya yang berkenaan dengan masalah ekonomi.

1. Penolakan.

Sering orang tidak mau ikut campur dalam kehidupan ekonomi dalam kebudayaan itu. Ini dapat menimbulkan penarikan dan isolasi diri yang mengakibatkan kita menjadi terasing dari masyarakat. Sejarah membuktikan hal ini dengan kehidupan para biarawan dan kelompok-kelompok persekutuan Kristen. Tanggapan ini tidak hanya menimbulkan konsekuensi yang serius terhadap masalah ekonomi, tetapi juga membuahkan dampak negatif di dalam berbagai bidang kehidupan.

Dalam abad ke-20 hal ini terlihat sebagai hal yang tidak produktif, baik waktu bersekolah (nilainya biasa-biasa saja), maupun di dalam pekerjaan (kerja seenaknya), hidup seenaknya, dan tidak mau melayani dengan sungguh-sungguh karena mereka hanya tertarik pada hal-hal yang "rohani". Mereka yang menanggapi kebudayaan secara demikian telah mengabaikan teladan-teladan Alkitab tentang kerajinan dan teguran, seperti perintah Paulus: "Taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus ... dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia." (Efesus 6:5-7) Bahkan para majikan dan pengusaha sering mencari jalan semudah mungkin dengan keterlibatan sesedikit mungkin.

Sebagai perbandingan, kita melihat Hizkia, yang "dalam setiap usaha yang dimulainya ..., ia mencari Allahnya. Semuanya dilakukannya dengan segenap hati, sehingga segala usahanya berhasil." (2 Tawarikh 31:21) Paulus melanjutkan hal ini di dalam 1 Korintus 10:31, "Jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah," dan dalam Kolose 3:22-24, "Dengan tulus hati karena takut akan Tuhan." Ia melanjutkan, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia .... Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya."

Apabila kita tidak menyumbangkan sesuatu bagi ekonomi kita dan tidak mau terlibat di dalam struktur modalnya, kita kehilangan hak dan kesempatan untuk memengaruhi arah masyarakat. Kita harus mau menerima tanggung jawab jika kita ingin menikmati hak-hak istimewa dalam sistem itu.

2. Penerimaan sepenuhnya, yang melibatkan identifikasi secara menyeluruh dengan dunia di sekitar kita.

Apabila aspek-aspek keuangan masih merupakan persoalan pokok kita maka kita tidak akan pernah bebas untuk memusatkan perhatian pada aspek-aspek hidup dan pelayanan yang lebih maju.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Hal ini jelas bertentangan dengan doa Yesus bahwa kita memang berada di dunia, tetapi tidak disamakan dengan dunia (Yohanes 17). Paulus mengatakan, "Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah." (Efesus 4:17-18) Sebaliknya, "hiduplah sesuai dengan kedudukanmu sebagai orang yang sudah dipanggil oleh Allah" dan "Jangan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup dalam kegelapan." (Efesus 4:1b; 5:11a, BIS).

Jika orang Kristen mengambil tanggapan seperti ini terhadap kebudayaan, maka tidak ada perbedaan yang radikal antara gaya hidup kita dengan dunia. Tanggapan ini menghilangkan pengasingan diri sebagai akibat dari penolakan, tetapi dampak keberadaannya di dunia ini menjadi kecil. Jika orang Kristen memilih untuk menyesuaikan diri dengan dunia, maka mereka tidak mungkin menjadi garam dan terang.

3. Penyesuaian yang setengah-setengah.

Maksudnya ialah dengan mengikuti ajaran Alkitab di dalam lingkungan rohani, tetapi menyesuaikan diri kepada patokan-patokan kebudayaan di bidang ekonomi. Pendekatan ini menghasilkan orang-orang Kristen yang baik pada hari Minggu, tetapi pada hari lain tidak tampak perbedaan penting dengan masyarakat sekitarnya.

Contoh untuk ini ialah pengusaha yang merasa bahwa ia harus mengompromikan patokan-patokannya supaya berhasil. Penyesuaian setengah-setengah adalah tanggapan yang paling tidak taat -- karena hal itu berarti mengetahui apa yang benar, namun tidak menerapkannya.

Orang-orang Kristen yang dengan sengaja mengompromikan keyakinan-keyakinan mereka adalah orang Kristen yang paling tidak mencerminkan Kristus; hal itu akan mengakibatkan hancurnya kepercayaan orang kepada kita dan memudarkan kesaksian kita.

Ketiga pendekatan terhadap kebudayaan ini tidaklah cocok.

Tanggapan yang benar seharusnya adalah peran serta secara kritis.

Tanggapan ini meliputi keterlibatan di dalam masyarakat dan ekonomi kita, termasuk struktur modalnya, namun tetap memperlihatkan perbedaan yang mencolok sebagai bukti bahwa kita memunyai kerangka kerja sesuai dengan prinsip-prinsip Kristen.

Peran serta kita di dalam apa yang baik memberi kita hak untuk memberi kritik dan koreksi terhadap hal-hal yang buruk. Peran serta itu memberi kita kredibilitas, penerimaan, dan keakraban. Kegiatan ekonomi kita memberi kita kesempatan yang unik untuk memperlihatkan dan menekankan pesan kristiani.

Hubungan kita dengan uang dapat merupakan sebuah demonstrasi akan kasih karunia Allah dan kehidupan ekonomi kita dapat menjadi satu alat pelayanan kepada orang lain, juga satu pelayanan bagi Kerajaan Allah.

Diambil dari:
Judul buku : Harta dan Hikmat
Judul artikel : Kekayaan dan Kedewasaan
Penulis : Jake Barnett
Penerjemah : C. Th. Enni Sasanti, SP
Penerbit : Kalam Hidup, Bandung
Halaman : 19 -- 26

Download Audio

Tipe Bahan: 
Kolom e-Wanita: 

Komentar